Nilai Matematika Saya 2 dan Itu Tidak Apa-apa

Ketika anak melakukan kesalahan, memaki adalah pilihan buruk. Pola komunikasi positif adalah kuncinya.

Nilai Matematika Saya 2 dan Itu Tidak Apa-apa
Ranking terakhir? Tak masalah (sumber: unsplash.com)

Ibu saya seperti kesurupan demit, ketika ia memarahi saya karena nilai ulangan matematika saya melingkar indah; 2 berwarna merah. Saat itu kelas 3 SD, saya finis di ranking 30 dari 30 siswa.

Itulah kesalahan pertama yang saya lakukan; mendapat ranking terakhir di kelas.

Selepas dimarahi, saya belajar matematika dengan penuh tekanan karena takut akan dimarahi lagi. Alhamdulillah, setelah itu nilai saya berubah menjadi 0 besar.

Kadang, orang tua saya marah ketika saya melakukan kesalahan-kesalahan yang demi apapun sungguh tidak disengaja. Memacahkan piring dari dinasti Ming yang sudah jelas itu imitasi, menghilangkan uang bergambar Sukarno-Hatta, dan hampir saja membakar rumah karena menjatuhkan lilin ke kasur.

Tindakan orang tua memarah-marahi anaknya yang melakukan kesalahan seperti ini amat lestari di Indonesia dan sudah menjadi tradisi turun-temurun sebagaimana tradisi suku-suku tradisonal yang ada di Indonesia.

Hal itu terbukti ketika saya sudah kuliah, adik keponakan saya yang kelas 2 SD didamprat ibunya karena menumpahkan sabun cuci ke karpet. Ketika dibentak untuk membersihkan karpet itu, ia malah menangis tersedu-sedu. Di depannya karpet masih belepotan sabun.

(sumber: unsplash.com) ​​​​​

Karena pernah berada di posisi itu, saya dekati adik keponakan saya yang masih tersedu. Saya bantu dia untuk melewati kesalahannya dengan terhormat. “Ayo, bersihkan sabunnya, biar karpetnya wangi”. Tak beberapa lama, ia berhasil membersihkan karpet itu.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa marah-marah tidak menyelesaikan masalah, justru malah menambahnya. Seperti halnya saya yang makin bodoh ketika dimarahi atau adik keponakan saya yang hanya menangis meratapi karpet ketika didamprat.

Kejadian ini dijelaskan oleh Sidney Shrauger dan Saul Rosenberg dalam Journal of Personality yang mengatakan bahwa performa kita akan menjadi jelek saat kita menerima masukan bahwa kita gagal dalam suatu hal. Itu baru masukan, apalagi dampratan. Bukan hanya menurunkan performa, tapi juga berpengaruh pada pikis si anak.

Kesalahan Adalah Produk dari Keadaan

Lantas, bagaimana cara orang tua menghadapi anak yang melakukan kesalahan? Yaitu dengan menerapkan pola komunikasi positif. Orang tua harus mengubah pola komunikasi yang sudah usang; memarah-marahi anak ketika mereka melakukan kesalahan.

Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People menyebutkan bahwa dalam kehidupan terkadang kesalahan adalah produk dari keadaan. Bukan karena ketidakmampuan kita dalam suatu hal. Pada dasarnya, kesalahan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

(sumber: unsplash.com)

Kita tidak bisa mengubah keyakinan bahwa kita semua, pun orang tua, pasti pernah melakukan kesalahan.

Dalam menghadapi anak yang melakukan kesalahan, agaknya kita perlu belajar kisah pilot Bob Hoover. Saat itu ia sedang terbang membawa 2 orang penumpang dalam pesawatnya. Tak lama berada di udara, terjadi kejanggalan yang membuatnya terpaksa melakukan pendaratan darurat. Sedikit saja ia telat melakukan pendaratan darurat, pesawat itu bisa meledak dan hancur berkeping-keping.

Setelah ditelisik, ternyata kesalahan terdapat pada teknisi muda yang keliru mengisi bahan bakar pesawat, mengakibatkan mesin pesawat F-15 itu rusak dan 3 nyawa bisa saja melayang hanya karena si teknisi salah mengisi bahan bakar.

Sang pilot, Bob Hoover bisa saja memaki, memarahi, bahkan memecat teknisi itu. Tapi ia memilih untuk tidak melakukannya. Keputusannya bijak, karena ia sadar bahwa marah dan memaki tidak akan menyelesaikan masalah. Memecat teknisi muda itu tidak akan membuat pesawat  F-15-nya yang tadinya rusak menjadi benar kembali.

Hoover hanya berkata “ Aku yakin, kamu tidak akan melakukan kesalahan ini lagi. Sekarang, perbaki pesawat F-15 milikku”.

Taruhan sang pilot bukan hanya sekadar nilai jelek atau ranking terakhir di kelas. Taruhannya nyawa. Namun, situasi itu tak membuatnya melampiaskan emosi kepada si teknisi muda. Di titik ini, ia mengetahui bahwa kesalahan adalah produk dari keadaan.

Orang tua sebaiknya menerapkan apa yang dilakukan Hoover. Berpikir bijak dalam menghadapi kesalahan anak. Mereka harus menghapus pola komunikasi yang menempatkan orang tua sebagai dewa yang selalu benar dan tak pernah melakukan kesalahan sepanjang hidupnya.

(sumber: unsplash.com)

Ketika anak mendapat ranking terbawah di kelasnya, daripada mengatakan “Kamu ranking jelek. Masa nilai matematika cuma 2!”coba gunakan “Kamu sudah berusaha keras, besok belajar lebih giat lagi ya”.

Atau ketika si anak memecahkan piring, daripada mengatakan “Kamu ini gimana sih? Mecahin piring segala” coba gunakan “Yuk bersihin piring pecahnya, nanti kalo nggak dibersihin bisa kena kaki, lho”.

Ah, betapa indahnya hidup jika orang tua menerapkan komunikasi semacam ini.

Saya besar dalam pola komunikasi yang menempatkan orang tua  sebagai dewa dan rasanya sungguh tidak enak. Tentu ketika dewasa, saya tidak akan menerapkan pola komunikasi yang seharusnya sudah tidak ada semenjak Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Sayangnya pola komunikasi ini masih ada hingga sekarang.

Namun, satu hal yang patut digarisbawahi, bahwa kita sebagai orang tua juga tidak bijak ketika menempatkan anak sebagai dewa. Semua kesalahan anak diselesaikan orang tua. Hal itu akan membuat anak manja dan tidak memiliki kemampuan problem solving.

Ketika anak melakukan kesalahan, beri ia solusi bagaimana cara memecahkan masalah itu. Dan biarkan si anak memecahkannya sendiri.

(sumber: unsplash.com)

Perubahan komunikasi ini akan sangat efektif agar si anak memiliki kemampuan problem solving di masa depan. Ketika mereka besar dan dihadapai sebuah masalah (perusahaan hampir bangkrut misalnya). Mereka akan berkata “Kita selesaikan masalah perusahaan ini bersama”, bukan malah berkata “’Gara-gara si A perusahaan kita jadi bangkrut!”.

Dosen saya di Fakultas Komunikasi, Prof. Deddy Mulyana mengatakan dalam buku yang menjadi pegangan utama mahasiswa komunikasi, yaitu Ilmu Komuikasi: Suatu Pengantar. Tertulis di prinsip komunikasi nomor 12, bahwa komunikasi bukanlah panasea (obat mujarab) untuk memecahkan segala permasalahan.

Akan tetapi, ketika anak melakukan kesalahan, komunikasi adalah panasea. Obat yang sangat mujarab.

Alwijo. Januari 2021

​​​​

​​

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.