Murka Sang Rangda
Cerita tentang Calon Arang sangat terkenal di Bali. Pertunjukan Calon Arang biasa diadakan di banjar-banjar pada malam-malam tertentu. Kisah ini juga dibukukan oleh penulis, antara lain PAT dan Toeti Heraty. Kini, izinkan tiyang menuliskan kisah Calon Arang versi tiyang.

Perlahan Ratna mendorong pintu. Jarang ia masuk kamar ini. Kamar ibunya. Ratna mengerjapkan mata beberapa kali supaya bisa melihat di keremangan. Hari hampir gelap. Kamar ibunya tak berubah. Ratna hapal betul isinya.
Dipan besar membujur dengan kepala dipan di sisi Utara. Sebuah dipan kecil beralaskan tikar, menempel di dinding Barat. Tempat favorit ibunya, duduk menghadap ke arah Utara sambil membaca lontar. Di sisi Barat juga, terletak sebuah lemari. Di dalam lemari itu, di bagian tengah, di bawah tumpukan kain-kain panjang, lontar itu disimpan.
“Ratna,” Bahula berbisik mesra di telinga Ratna. Mereka usai bercinta. Mereka berbaring berpelukan. Bahula mengusap-usap anak-anak rambut di kening istrinya. Mengusap keringatnya.
Ratna tersenyum menatap suaminya. Ratna merasa benar-benar bahagia. Tak disangka dia akhirnya menemukan jodohnya. Tak hanya tampan dan berilmu, suaminya juga mencintainya. Mereka sudah menikah sekitar dua purnama lamanya. Tiap malam mereka habiskan untuk bercinta. Suaminya memperlakukannya dengan sangat lembut. Tiap kali, Ratna merasa jiwanya melayang ke langit ketujuh.
Ratna sangat mencintai suaminya. Bahula memperhatikan hal-hal kecil untuk menyenangkan Ratna. Ia memuji masakan istrinya. Ia antusias mendengarkan cerita istrinya. Setiap malam, usai bercinta, Bahula meminta istrinya bercerita. Ratna suka sekali mengenang dan bercerita tentang masa kecilnya. Tentang binatang-binatang peliharaannya. Tentang ibunya. Juga bibi-bibinya. Yang dipanggilnya bibi adalah empat murid kesayangan ibunya.
“Bibi Larung paling asyik. Dia paling sering menemaniku bermain,” cerita Ratna.
“Biyang sering membaca lontar di kamarnya,” jawab Ratna saat suaminya bertanya tentang kenangannya bersama ibunya.
“Aku suka menemaninya sambil bermain anak-anakan dari jerami buatan Bibi Larung,” Ratna meneruskan ceritanya.
“Apa isi lontar itu?” tanya Bahula ingin tahu.
“Aku tidak ingat, Bli. Itu sudah lama sekali,” jawab Ratna berbohong.
Ini pertama kali dia berbohong kepada suaminya. Dia sempat melihat binar mata suaminya yang tak biasa saat bertanya tentang lontar itu. Ratna berhenti bercerita. Ia menyusup di pelukan suaminya untuk menyembunyikan wajahnya.
“Ratna!”
Ratna kaget. Dia melihat ibunya di keremangan kamar. Duduk di dipan kecilnya. Kapan ibunya pulang? Ratna pucat pasi. Tangannya mendadak dingin dan berkeringat. Ibunya pasti marah besar karena dia masuk kamarnya tanpa izin.
“Ada yang mengambil lontar Biyang,” kata Calon Arang dingin. “Suamimu dan gurunya ingin membunuh Biyang.”
Ratna menunduk tanpa suara. Air matanya menetes.
“Pengkhianat kau, Bahula!" Dalam hati Ratna mengutuk suaminya.
Amarah berkobar dalam dadanya. Dia mencurigai suaminya sejak suaminya bertanya tentang lontar itu. Saat ibunya pergi, tak lama kemudian suaminya pamit pergi ke padepokan gurunya.
Tadi, Ratna ingin memastikan bahwa lontar itu masih di tempatnya. Ia ingin memastikan bahwa kecurigaan terhadap suaminya hanyalah khayalan belaka. Ternyata dia salah!
Malam itu Bahula tidak pulang. Malam itu hati Ratna membeku.
***
Pikiran Bahula menerawang. Keinginannya akan segera jadi kenyataan. Menjadi empu sakti mandraguna. Bersama gurunya dia akan memusnahkan Calon Arang, mertuanya.
Dia mengawini Ratna Manggali hanya untuk mendapatkan rahasia kesaktian Calon Arang. Ternyata istrinya cantik dan lembut. Tiap malam ia tak melewatkan kemolekan istrinya. Ratna juga begitu penurut. Tidak seperti ibunya yang galak, ganas, dan berilmu hitam. Menyebarkan penyakit dan kematian di Desa Girah. Hanya karena tak ada pemuda melamar Ratna. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga, begitu kata orang. Tak ada yang berani memperistri Ratna. Tak ada yang berani dengan Calon Arang.
“Bagus, Bahula,” sambut Empu Baradah. Senyuman tipis menghiasi wajah Empu Baradah saat menerima lontar itu dari Bahula. Bergegas Empu Baradah masuk ke ruang semadinya.
Terkesima Empu Baradah membaca lontar berisi ilmu Calon Arang. Belum pernah dia mengetahui ilmu yang begitu kuat seperti itu. Pantas tak ada yang pernah mengalahkan Calon Arang. Namun tak lama lagi, dia dan Bahula akan mengalahkannya. Namanya akan masyur seantero Kerajaan Daha. Bahkan mungkin sampai ke kerajaan-kerajaan lain. Dia akan menuliskan ilmu penangkal yang dibacanya di lontar Calon Arang.
“KELUAR KAU, BAHULA! Juga gurumu itu. BARADAH! KELUAR KALIAN!”
Terdengar teriakan marah seorang perempuan dari luar padepokan Empu Baradah. Empu Baradah dan Bahula kaget dan saling menatap. Calon Arang! Demikian keduanya langsung menebak pemilik suara itu. Keduanya sedang menyusun rencana serangan terhadap Calon Arang. Ini hari ketiga setelah Empu Baradah membaca lontar milik Calon Arang. Tak disangka Calon Arang segera datang menantang mereka.
“Ayo, Bahula. Ingat apa yang sudah kita pelajari dari lontar itu. Jangan lupa atau nyawamu bakal melayang!” Empu Baradah mengajak Bahula bergegas keluar.
Calon Arang berdiri di luar berkacak pinggang. Rambutnya hitam lebat panjang terurai. Kain hitam membalut tubuhnya. Ia tampak langsing. Tak ada yang mampu menebak umurnya.
Calon Arang melotot marah ke arah kedua laki-laki itu.
“BAHULA, KAU PENGKHIANAT! Bermanis-manis kau datang melamar Ratna. Ternyata kau hanya empu busuk! Tak layak kau jadi suami Ratna. Tak layak kau jadi menantu Calon Arang!”
Bahula kaget mendengar teriakan Calon Arang. Kedoknya terbongkar.
“Hahaha. Hai Calon Arang! Di mana matamu saat itu? Harusnya kau menyadarinya dari awal. Mana ada yang mau jadi menantumu? Mana ada yang mau dengan Ratna?” Bahula menjawab sambil tertawa-tawa. Bahula tak ingin terlihat lemah di hadapan Calon Arang.
“KURANG AJAR KAU, BAHULA! Tak pantas kau menghina Ratna. Dia begitu mencintaimu,” raung Calon Arang.
“Ratna? Dia hanyalah seorang perempuan lemah.” Bahula mengejek.
“AAAAAAKKHHH!!!” Bahula berteriak kesakitan.
Ejekannya hanya bertahan kurang dari sedetik. Tiba-tiba Bahula terpental ke belakang. Dia menjerit dan memegang dadanya. Empu Baradah terkaget-kaget melihat murid kesayangannya terluka. Sedari tadi dia waspada dengan serangan Calon Arang. Ternyata dia tak mampu menebaknya. Begitu cepat, begitu mengerikan. Calon Arang menyeringai kejam. Dia masih di posisinya semula. Empu Baradah gentar.
“PENGKHIANAT KAU, BAHULA,” teriak Calon Arang. Dia menyerang Bahula untuk kedua kalinya. Kali ini Empu Baradah sudah siap. Dia menyerang Calon Arang. Calon Arang mengelak. Bahula luput dari serangan.
Dengan raungan dan geraman marah, Calon Arang berubah wujud. Sosoknya menjadi tinggi besar. Rambutnya lebat panjang terurai hingga tanah. Matanya besar melotot. Kuku-kukunya runcing berbisa. Lidahnya panjang menjulur keluar. Taringnya panjang berkilat tajam. Ini pertama kali Empu Baradah dan Bahula melihat makhluk yang begitu mengerikan. Rangda.
Akibat kesakitan dan ketakutan, Bahula lupa dengan rencana serangan bersama gurunya. Beberapa kali Empu Baradah memandangnya, memberinya kode, namun Bahula menggeleng lemah. Bahula merasa tak siap. Dalam wujud rangda, Calon Arang menyerang Empu Baradah. Meskipun Empu Baradah menangkisnya, serangan rangda membuatnya terpental sejauh lima langkah.
Kini, ketika posisinya lebih dekat dengan muridnya. Empu Baradah langsung membisikkan mantra untuk mengalahkan Calon Arang. Bahula mengangguk. Tanpa ragu keduanya langsung menyerang sang rangda. Meskipun rangda membalas serangan itu, namun kedua empu itu menggunakan gerakan dan mantra dari lontar Calon Arang. Rangda meraung keras dan terjerembab jatuh.
“RATNAAA!!!!!!!!!!” Terdengar jeritan seorang perempuan berlari mendekat.
Tiba-tiba beberapa perempuan sudah ada di tempat pertarungan. Empu Baradah dan Bahula terkejut melihat mereka. Siapa mereka? Calon Arang? Calon Arang langsung memeluk sang rangda. Calon Arang bersimpuh di tanah dan menyandarkan kepala rangda di pangkuannya. Mencoba tetap memeluknya. Keempat murid Calon Arang menangis meraung-raung meratapi sang rangda yang terluka parah.
“RATNAAA!!!!!!!!!!!!!” raung Calon Arang.
Rangda yang merintih kesakitan perlahan berganti wujud. Kembali ke wujud semula.
“Maafkan tiyang, Biyang,” Ratna berbisik lirih. Dari mulutnya keluar darah segar.
Empu Baradah dan Bahula terbengong-bengong menyaksikan Calon Arang memeluk Ratna Manggali. Jadi, mereka tadi bertarung dengan Ratna? Agak ragu Bahula mendekat.
“Ratna? Engkaukah itu?” Bahula masih tidak yakin.
“Pergi, kau pengkhianat,” kata Ratna geram. Usai mengusir suaminya, Ratna memuntahkan darah segar lagi.
“Ratna, apa yang kau lakukan? Biyang sudah larang kau gunakan ilmu itu. Kau tak boleh mati. Biyang yang harusnya mati.”
“Maafkan tiyang, Biyang,” Ratna kembali berbisik lirih. Matanya menutup. Napasnya perlahan berhenti.
“Ratna, kau tidak boleh mati.”
“TIDAAAAAK!!!!!”
Melihat anaknya mengembuskan napas terakhir, Calon Arang meraung marah. Wujudnya berubah menjadi rangda. Rangda jelmaan Calon Arang terlihat lebih keji. Mata besarnya seakan menyala menatap Empu Baradah dan Bahula yang mematung membisu. Keduanya diam dalam ketakutan. Tak yakin mampu menang jika sang rangda menyerang.
Dalam wujud sebagai rangda, Calon Arang menggendong putrinya yang sudah tak bernyawa. Sang rangda melangkah gontai, pergi diikuti empat muridnya yang terisak-isak di belakangnya.
Empu Baradah dan Bahula saling pandang. Rasa bersalah menyesak di dada keduanya. (rase)
Badung, 20 Maret 2011
Biyang: sebutan Ibu (untuk kalangan kasta tinggi) dalam Bahasa Bali
Tiyang: saya dalam Bahasa Bali halus
Bli: panggilan kepada kakak laki-laki atau suami
Banyak kisah menyebut Calon Arang sebagai janda tukang teluh dari Desa Girah. Namun, tak kurang yang mengaitkannya sebagai Ratu Mahendradatta, ibunda Raja Airlangga.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.