Mereka Memanggilku Buk

Kisah seorang perempuan tua yang rekan kerjanya seusia keponakannya.

Mereka Memanggilku Buk
Image: Pixabay

Aku sebenarnya jengah. Di usiaku sekarang ini, aku menjadi buruh. Sekitar setengah tahun lalu, aku mengisi sebuah lowongan pekerjaan, yang requirementnya tanpa standar pendidikan, usia dan gender. Syaratmya hanya ada dua: disiplin dan pekerja keras. Itu, kan, aku bangetDi sisi lain, aku sangat beruntung. Betapa tidak?

Bayangkan Anda adalah seorang perempuan, yang hampir lima belas tahun berhenti dari pekerjaan. Anda mementingkan kebersamaan 24/7 dengan si putri tunggal. Anda memuja berlebihan soal golden years dalam parenting. Sayangnya Anda naif tidak menjaga networking, sehingga ketika Anda ingin kembali bekerja, Anda kelimpungan. Anda juga masih membatasi diri dengan waktu dan tempat bersama si tunggal. Padahal jelas-jelas itu artinya lebih dari jatah golden years! Yang ada ya itu, tadi: jadi buruh sak kecekele. Bekerja apa saja yang ada, yang penting halal, walaupun upahnya di bawah standar. Yang penting uang ngalir dulu.

DI tempat kerja, tak tanggung-tanggung, kolegaku rata-rata sebaya keponakanku! Awalnya, keberadaanku sepertinya ‘mengganggu’ tim kerja yang ada. Aku staf paling tua. Hanya lebih muda beberapa bulan dibandingkan mantan bos kecil kami, dan bos besar kami sepertinya malah lebih muda dariku.

Sering aku menghibur diri dan menganggap bahwa aku sedang magang menjadi pengelola bisnis, bahkan magang jadi owner. Haha. Not bad, ya, pikiran menghiburnya. Dengan kejelianku meilihat pola dalam kejadian sehari-hari, di sini aku belajar banyak hal tentang bisnis. Aku pernah beberapa kali merintis usaha, dengan beberapa kali ganti, namun aku belum pernah beneran punya anak buah. Semuanya masih kukerjakan sendiri. Mengelola usaha lebih besar, dengan staf setengah lusin, menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Setidaknya aku nangkep berbagai karakter orang, yang pastinya bermanfaat memperkaya tokoh rekaanku di tulisan. Hahaha.

Yang jelas terjadi, aku menjadi liyan, sangat berbeda dengan staf lain. Selera musik, berbeda. Topik pembicaraan, berbeda. Cara kerja, berbeda. Padahal sebenarnya tidak masalah, ya? Aku pengen seperti si Robert de Niro dalam film Intern (2015), seorang senior (bahkan pensiunan) yang kembali bekerja di perusahaan bersama orang-orang yang jauh lebih muda, dan itu asik-asik saja.

Tidak hanya aku yang jengah, awalnya teman-teman sekerjaku juga jengah berhadapan denganku. Itu bisa kurasakan. Mereka terdengar sungkan ketika berbicara denganku. Di awal dulu, aku menghindari pemakaian bahasa Jawa, karena ketika aku memakainya, mereka merespons dalam bahasa Jawa halus, yang justru bikin gatal di telinga. Bukan kenapa, tetapi aku lebih suka dianggap setara, karena posisiku sama dengan mereka. Aku bukan supervisor mereka. Tetapi, sebagai orang Jawa yang baik, mereka tetep sungkan. Hahaha.

Ewuh, Buk,” begitu mereka mengaku.

Ewuh ini salah satu kata yang sering banget dipakai di sini. Ewuh itu kurang lebih artinya enggak enak, sungkan, enggak sopan, dan segala enggak enak hati lainnya.

Mereka tetap memanggilku Buk. Padahal aku berharap mereka memberiku nick name. Setidaknya supaya sapaan Buk itu enggak dipakai. Tapi ternyata harapanku sia-sia. Hahaha.

Hanya saja, setelah lewat tiga bulan, nada suara dalam sapaan Buk itu berubah, menjauh dari ewuh. Kadang aku mendengar nada manja. Mungkin karena aku kadang membawakan camilan aneh-aneh (hasil eksperimenku di rumah) untuk dicicip. Mungkin mereka jadi menganggapku sebagai salah satu bibi mereka. Kadang aku jadi ember yang baik alias pendengar tanpa ngebocorin.

“Wah, aku sudah janji enggak cerita ….” Begitu jawabku ketika suatu shift malam ditanya dua staf lain yang kepo dengan staf perempuan yang sebelumnya terlihat tersedu-sedu curhat ke aku di pojokan dapur. Tampang kesal dan speechless langsung melanda si penanya. Haha. Maaf, ya, Mas, aku emang sudah janji untuk enggak cerita ke siapa-siapa.

“Kalo shift bareng Ibu, rasanya lebih tenang. Kalo sama yang lain rasanya kemrungsung,” tiba-tiba ada yang memberi pengakuan begitu. Giliran aku yang bengong. Masak, iya? Apa gara-gara aku sering tapping? Tapping ini istilah untuk menyebut metode EFT (emotional freedom technique), yang kupelajari dan kupraktekkan hampir setahun ini.

Sebagai yang paling tua, aku memang memilih bekerja dalam diam. Aku tidak banyak berkomentar tentang kinerja staf lain. Buat apa? Toh jobdesku tidak menyebut soal itu. Hobiku justru cari-cari pekerjaan jika kerjaan utamaku sudah selesai. Alasanku bukan karena aku workaholic sebenarnya, tetapi kalo aku diam enggak ngapa-ngapain, aku bakalan ngantuk dan bisa tertidur dalam posisi duduk sekalipun. Itu bahaya, bukan?

“Maaf, Buk, belum kubereskan,” ujar salah satu staf sambil nyengir melambaikan tangan pamit ngacir pulang. Yang dia maksud adalah work station masih bertaburan tepung dan berantakan yang dia belum bereskan. Dia tahu persis aku itu clean freak, tapi dia nyerah enggak mau ngikut standarku. Hahaha. Ia memilih pulang karena tahu aku kerja shift berikutnya, alias pasti kubereskan. Orang mungkin akan menganggapnya enggak sopan atau kurang ajar. Buatku enggak masalah. Kalaupun dia sudah bersihkan, aku bakalan cari-cari kerjaan lain, kok. Ada buanyak hal yang bisa dikerjakan jika kita jeli.

Hubungan kerja dan team work kami lama-lama membaik dan solid. Beberapa kali aku meluangkan waktu untuk join mereka hang out di luar jam kerja, yang tidak lewat jam malamku. Selera kami tetap berbeda. Kami kadang berbahasa Jawa, dan tidak lagi membuat telingaku gatal. Mereka tetap memanggilku dengan sapaan Buk, yang thankfully sudah menjauh dari nuansa ewuh. (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.