Merebut Tanah Kelahiran

Kebijakan eksplorasi pertambangan oleh pemerintah untuk PT.Inco tbk pada tahun 1968, menyebabkan konflik agrari terhadap komunitas adat Karunsi’e sejak tahun 1970-an. PT. Inco merubah Namanya menjadi PT. Vale Indonesia tbk. Pada tahun 2012.

Merebut Tanah Kelahiran
Merebut Tanah Kelahiran

Pelanggaran yang dibuat oleh PT. Vale membuat masyarakat adat Karunesi’e, susah untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari dan kehilangan tempat tinggal. seperti persawahan, perkebunan, dan pemukiman. Masuknya wilayah pemukiman masyarakat adat Karunesi’e dalam wilayah konsensi PT. Vale. Mengakibatkan rusaknya pranata social masyarakat adat Karunsi’e.

Masyarakat Karunsi’e bermukim di kampung Dongi, lokasinya berada di wilayah timur Tanah Luwu, kampung itu dihuni oleh kelompok masyarakat adat dari suku Karunesi’e atau To Karunesi’e. Masyarakat Karunesi’e juga bermukim di dua kampung, yaitu kampung Sinongko dan kampung Pae-pae.

Adanya regulasi otonomi daerah dan terjadinya pemekaran, sehingga tanah Luwu terbagi menjadi 4 kabupaten, yaitu kabupaten Luwu (induk), kota Palopo, Luwu Utara, dan kab Luwu Timur.

Nama Dongi terkenal pada tahun 2002, Ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok mahasiswa berbondong-bondong melakukan aksi penolakan terhadap PT.Inco. tapi sayangnya aksi itu tidak membuahkan hasil

Posisi kampung Dongi yang berada persis di pinggiran kota Soroako dan berada di tengah aktivitas penambangang PT.Vale. seolah-olah kehadiran kampung itu tidak dikehendaki ada. Bahkan rumah pertama di kampung Dongi terletak di pinggiran lapangan golf milik PT. Vale.

Banyaknya sumber kekayaan alam dan keberagaman suku dan komunitas, menjadi asset berharga bagi mayarakat Luwu. Para sejarawan dan budayawan menganggap Tana Luwu itu sebagai bangsa, karena masyarakat yang hidup di Tanah Luwu beragam suku dan Bahasa. Sehingga layak dikategorikan sebagai bangsa. Salah satu karya sastra terbesar di dunia yaitu La Galigo.

Tapi sayangnya sumber kekayaan itu, justru dirampas oleh para perusahaan tanpa memikirikan dampak pada masyarakat adat, baik sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan. PT Vale salah satu bisnis yang bergerak pada sektor pertambangan, yang sudah beraktifitas pada tahun 1970 pada sektor pertambangan Nikel, di kabupaten Luwu.

Selain perusahaan asing, perusahaan dalam negri pun ikut mengincar sumber kekayaan itu dalam sektor pertambangan seperti, PT. PUL, PT. Masmindo, dan PT. Arebama Kalla. Semua perusahaan itu sudah mendapatkan izin eksplorasi tambang dari pemerintah.

Di sektor perkebunan ada PTPN XIV dan PT. PANPLY, yang mengincar wilayah Tanah Luwu untuk dikelola menjadi lahan sawit. Hadirnya para investor ini akan mengakibatkan konflik dengan pemerintah tentang tata batas Kawasan hutang lindung atau konsevasi.

Konflik ini akan semakin besar, karena dari data yang diketahui, jumlah perusahaan yang ingin melakukan investasi di Tanah Luwu semakin bertambah. Sepertinya pemerintah daerah menyalah artikan peraturan otonomi daerah.

Menurut Moh. Haifan dalam tulisannya “ otonomisasi suatu masyarakat, yaitu masyarakat yang berada di dalam territorial tertentu yang semula tidak mempunyai otonomi menjadi memiliki otonomi. Tujuan dari pemberian otonomi itu adalah : 1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; 2. Pengembangan kehidupan demokrasi; 3 distribusi pelayanan public yang semakin baik, merata, dan adil; 4 penghormatan terhadap budaya local dan 5. Perhatian atas potensi dan keanekaragaman daerah”

Pentingnya otonomi daerah bukan hanya sebatas, penyerahan sebagian kekusaan atau kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi sebagai bukti pengakuan pemerintah daerah kepada eksistensi masyarakat atau desentralisasi demokarasi.

HUKUM ADAT

Masyarakat adat Karunsi’e masih menggunakan system hukum adat, yang sudah dijalankan sejak leluhur mereka, Ketika ada salah seorang masyrakat karunesi’e melanggar gau (adat) maka akan dikenakan sanksi adat sesuai pelanggaran yang dilakukan.

Ada beberapa cara masyarakat Karunsi’e memutuskan hukum antara lain : Mendowen tukuni (mengganjal tombak). Pengganjal tangkai tombak itu diikat dengan seutas tali lalu tali itu dibakar sambil mengucapkan mantra, kalau pengganjal tombak itu tertancap maka orang itu dianggap tidak bersalah.

Pinali (di asingkan), hukum ini berlaku bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran berat atau melawan perintah adat, jadi harus di asingkan atau di usir dari kampung.

Pinu wai (penundaan waktu), Ketika informasi dan data belum lengkap untuk menjadi keputusan hukum maka sidang akan ditunda, untuk mencari informasi dan data yang lengkap agar bisa menentukan siapa yang salah dan benar,

Di nenda (membayar dengan denda), sanksi ini diberikan bergantung tingkat kesalahan yang dilakukan. Dan yang paling berat adalah hukuman Pina Pate (di bunuh), hukum ini berlaku Ketika salah satu masyarakat melakukan pembunuhan, maka si pelaku akan dihukum mati oleh algojo (pongkiari).

Hukum adat sudah diakui di dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 18B ayat (2), tapi sepertinya pemerintah masih menghiraukan pentingnya pasal itu.

KONFLIK

Pada tahun 1968 PT. Inco sudah mulai masuk ke wilayah kampung Dongi, Kontrak Karya (KK) nya pun sudah disetujui oleh Presiden Soeharto, tetapi pereksplorasi itu belum memliki perizinan dari pihak masyarakat Karunsi’e.

Hasil dari pengeksplorasian di Sorowako itu di kirim ke pusat penelitian INCO di Port Colborne pada tahun 1970, dengan sampel biji besih seberat 50 ton. Pada tahun 1973, PT Inco mulai membuka lowongan pekerjaan, 10.000 untuk pekerja Indonesia, 1000 untuk pekerja asal luar negri.

para pekerja ini mulai membangun prasarana pertambangan, mulai dari pabrik pengelolahan, askses jalan, kota, Pelabuhan, bandara dan infrastruktur yang diperlukan di Sorowako. Di tahun yang sama, proses eksplorasi di tanah adat Karunsi’e sudah disepakati.

PT. Inco melakukan perpanjangan kontrak karya (KK) kedua pada 15 Januari 1996 yang berlaku 1 April 2008–28 Desember 2025, dan mendapatkan Hak perluasan lahan tambang. Dengan luas wilayah konsesi 218.528 Ha dengan perincian 118.387 Ha di Sulawesi Selatan, 63.506 Ha di Sulawesi Tenggara, dan 36.635 Ha di Sulawesi Tengah.

Konsep pembangunan di era Orde Baru yang condong ke percepatan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan social capital, memaksa masyarakat Karunsi’e harus meninggalkan tempat tinggalnya.

Tahun 2000, masyarakat Karunsi’e berusaha membangun Kembali wilayahnya yang telah di ambil dan dirusak oleh PT. Inco. dengan membangun tempat tinggal mereka di sekitar lapangan Golf milik PT. Inco. Tapi proses pengembalian tanah adat, mereka mengalami intimidasi

Husain menceritakan yang dia alami, katanya “ bapak jangan tinggal disini, karena ini, karena ini adalah tanahnya PT. Inco (PT. Vale), sebagai orang bodoh saya mengatakan tidak pernah melihat PT. Inco membawa tanahnya datang kesini dan menempelkan ditanah adat kami disini…”

Pihak perusahaan mengakatan telah membeli lahan ini, Husain bertanya “siapa yang menjual ? dan kepada siapa uangnya diberikan ? kemudian mana buktinya ? sampai sekarang belum pernah diperlihatkan.”

Bapak ini dengan semangatnya menceritakan yang dialaminya pada saat itu, Ketika ditanyai masyarakat Karunsi’e punya tanah, sertifikat tanahnya dimana ? Husain menjawab “minta maaf pak kalau saya yang berumur 60 tahun ini tidak mengenal yang Namanya sertifikat,… sertifikat kami adalah orang mati”

“sertifikat adat kami adalah kuburan, tanaman tahunan, sawah, bekas kampung, situs-situs lain seperti kuburan batu (tasima), itulah sertifikat kami, tidak ada yang tulis seperti pemerintah” kata Husain.

Jawaban dari Husain, menunjukkan klaim kepemilikan tanah mereka berbasis sejarah, Husain menyampaikan mereka sudah ada sebelum pihak PT. Inco melakukan kegiatan eksplorasi dan pertambangan di wilayah adat karunsi’e

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.