Kelereng dan Ikan ( Kisah Aba-2)
“Kita Sudah melawan dengan sebaik-baiknya,sehormat-hormatnya.Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri,bersuka karena usahanya sendiri,dan maju karena pengalamannya sendiri.”

KELERENG & IKAN ( KISAH ABA-2)
Aku terlahir dengan bawaan tulang belakang yang lemah sehingga perkembangan motorikku jauh terlambat dibanding anak-anak lainnya. Kata Umi, Usia 9 bulan Aku belum bisa duduk sendiri dan bila didudukkan orang lain badanku akan melengkung condong ke satu arah dan bertahan dengan posisi sama sepanjang waktu tanpa bisa aku gerakkan sama sekali.
Kondisi ini tentu saja memprihatinkan Umi dan Aba, beragam usaha pengobatan telah dilakukan namun belum kelihatan hasilnya. Hingga suatu hari sahabat dekat Aba,Pak Lamseng ( yang dikemudian hari setelah Aba meninggal kami panggil Papi) memberitahu Aba bahwa ada obat dari German yang cocok untuk penyakitku tapi harganya luar biasa mahal . Demi kesembuhan anaknya, Aba berusaha rutin membeli obat itu. Maka prioritas utama hasil mengajar private Bahasa Inggris di 3 rumah khusus dialokasikan untuk obat itu,satu botol per minggu jadi ada 4 botol setiap bulannya. Aku masih ingat deretan botol kosong coklat yang telah aku minum, sengaja dipajang di sekeliling dinding kamar mandi , toilet dan mushola. Dari amben ( bale-bale) yang biasa Aba duduk saat minum kopi, jejeran botol kosong akan terlihat jelas.
Pernah kutanyakan kenapa gak dibuang aja botol kosong itu, Aba bilang setiap liat botol itu perasaanya senang karena sudah membelinya. Setelah cukup dewasa Aku mencoba mencerna kata-katanya, mungkin itu cara Aba selebrasi untuk dirinya bahwa dalam kondisi keuangan yang minim Aba berhasil membeli obat mahal itu. Deretan botol kosong itu juga bukti perjuangan keras seorang ayah demi kesembuhan anaknya.
Alhamdulilah perjuangan itu gak sia- sia, perlahan motorikku berkembang. Akhirnya Aku bisa berdiri, berjalan dan berlari meskipun masih lemah. Obat mahal itu diteruskan hingga Aku SD dengan dosis yang berkurang.
Dari ke-tiga tempat mengajar itu, salah satunya adalah rumah Bu Tina, Istri seorang konglomerat Tionghoa. Anak pertamanya dulu private dengan Aba sebelum melanjutkan sekolah di Amerika. Lalu sekarang kedua adiknya private dengan Aba karena dipersiapkan untuk sekolah di luar negeri juga. Aba sering bercerita tentang rumah orang-orang kaya tempat Aba mengajar, Aku akan menyimak sepenuh hati sambil membayangkannya dengan membuat gambaran sendiri dalam benakku. Dari cerita Aba itu Aku bisa tau kehidupan orang kaya , bukan sebatas dongeng dari buku yang Aku baca.
Suatu hari saat Aku kelas 2 SD, sepulang dari rumah Bu Tina, Aba bercerita bahwa Bu Tina baru saja membeli seekor ikan yang sangat besar. Ikan itu mempunyai sisik dengan banyak warna: hijau,merah, kuning dan perak. Kata Aba harga ikan itu berjuta kali lebih mahal dari ikan biasa. Untuk cerita ikan ini, Aku tidak bisa membayangkannya karena memang belum pernah melihat ataupun membaca buku tentang ikan seperti itu sehingga Aku menyebutnya ikan ajaib . Maka setiap pulang mengajar Aku akan minta Aba menceritakan lagi dan lagi tentang ikan itu, meskipun cerita Aba nyaris sama tapi Aku tidak pernah bosan mendengarkannya, malah membuatku semakin penasaran.
Setiap hari, siang dan malam, Aku makin terobsesi dengan ikan ini. Makin Aku mencoba membayangkan,makin Aku gelisah karena Aku sama sekali tidak bisa membuat gambaran ikan itu di kepalaku. Cerita Aba tidak lagi memuaskanku, Aku ingin melihat langsung ikan ajaib itu. Lalu Aku merengek dan merayu Aba agar Aku boleh ikut saat beliau mengajar,tapi Aba tidak mengizinkan. Mungkin sikap professional beliau saat bekerja tidak mau orang terganggu dengan anaknya. Hanya sekali Aba pernah membawaku ke tempat beliau mengajar yaitu di rumah Bu Lusi, dan itupun saat anaknya Bu Lusi ulang tahun, bukan saat Aba mengajar. Aku tidak menyerah dan terus memaksa Aba ikut ke rumah Bu Tina.
“Sekaliiii…. aja Ba, pingin banget liat ikan itu. Kenapa sih gak boleh ?”
“Jangan, Bu Tina ini beda dengan Bu Lusi,” jawab Aba tanpa pernah mau menjelaskan bedanya di mana.
“Ya , Aba kasih tau ke Bu Tina. Aja Cuma liat doang gak akan ganggu Aba ngajar. Ayolah Ba….beneran sekali aja.”
Meskipun Aku menangis,Aba tetap tidak berubah pikiran. Hal ini membuatku makin tidak tenang, ditambah lagi ada satu keinginanku yang lain dan terus menghantui pikiran : pingin punya Kelereng Atom !
Awal tahun 80 an, muncul jenis kelereng baru. Warnanya putih susu sehingga disebut kelereng susu, meskipun di tempatku disebut kelereng atom. Ada guratan garis lengkung abstrak di bagian luarnya dengan kombinasi warna beragam sehingga membuat kelereng ini harganya jauh lebih mahal daripada kelereng biasa ( kelereng rakyat) yang hanya kombinasi tiga warna. Karena lebih mahal maka 1 kelereng atom ini nilainya sama dengan 4 kelereng biasa. Setiap main kelereng Aku langganan kalah, padahal kekayaan seorang anak di masa itu rasanya tergantung berapa banyak kelereng yang dia punya.
Menurutku penyebab Aku selalu kalah karena Aku tidak punya kelereng jagoan, yang biasa disebut “gaco”. Kelereng rakyat jarang sekali ampuh untuk dijadikan gaco karena sering terdapat cacat dengan bentuk yang tak selalu bulat sempurna atau terdapat gelembung udara di dalamnya. Padahal saat bermain gaco ini sangat penting untuk membidik kelereng lain dan Aku sangat yakin bila aku punya kelereng atom itu sebagai gaco pasti Aku akan menang. Tapi Aku sungkan minta dibelikan kelereng itu, berat banget ngomongnya dengan Aba.
Maka jiwa ragaku tidak bisa tenang . Ingin punya kelereng atom dan ingin melihat ikan. Aku gak bisa mikir yang lain selain kedua hal itu. Akhirnya Aku ketemu ide bagaimana caranya Aku bisa mendapatkan keduanya, aku harus sakit !
Ada kebiasaan unik Aba, setiap kali anak-anaknya sakit Ia akan membelikan apapun keinginan anaknya, mungkin biar semangat agar lekas sembuh. Maka kami sering berharap sakit bila ingin sesuatu sebagai cara menghindari rasa sungkan.
Aku mencari cara agar segera sakit. Sengaja hujan-hujanan berkali-kali tapi belum berhasil sakit. Makan yang sangat pedas, asam bahkan kadang cenderung basi tidak juga menunjukkan hasil. Aku hampir putus asa, hingga diujung keputus-asaan itu aakhirnya Aku berhasil juga sakit, Aku demam tinggi. Mungkin karena terlalu memikirkan kelereng dan ikan, pisikisku terganggu juga.
Saat Aba nanya Aku ingin apa, dengan cepat Aku menjawab ingin kelereng atom dan ingin lihat ikan.
“ Dua minggu lagi Aba gajian, nanti Aba belikan kelerengnya . Tapi kalau ke rumah Bu Tina, jangan yah.”
“ Pokoknya pengen liat ikan…janji Ba, Aja gak ganggu Aba ,” Aku terus ngeyel sambil menangis.
Esoknya Aku ngambek tidak mau makan sama sekali, akhirnya pertahanan Aba runtuh juga.
“ Nanti Aba izin dulu yah ke Bu Tina, tunggu sampai Bu Tina jawab boleh baru kita kesana.”
Ajaib, demamku langsung sembuh begitu mendengar janji Aba itu.
Meskipun masih 2 minggu lagi perasaanku sudah sangat bahagia. Esok sorenya Aku mengajak Aba ke toko kelereng, ingin menunjukkan kelereng yang Aku maksud. Toko itu milik teman sekelasku, Lenny. Sampai di toko, Ayahnya Lenny bilang bahwa kelereng atom tinggal tersisa 1 kotak saja karena memang lagi banyak diminati. Aku panik hampir menangis karena pasti 2 minggu lagi bakalan habis. Lalu Aba mendekati Ayah Lenny, Aku bisa mendengar jelas ucapannya meskipun disampaikan dengan suara pelan cenderung berbisik.
“Ko, bisa tolong disimpan buat anak saya, nanti 2 minggu lagi selesai ngajar saya ambil.”
Ayah Lenny yang baik hati, tidak bertanya apapun mengapa harus menunggu 2 minggu lagi.
“Oh, bisa-bisa nanti saya simpankan. Memang lama lagi baru akan ada nunggu kiriman dari Jakarta, sekarang banyak yang nyari ini Pak.”
“Tapi Ko saya itu nanti selesai ngajarnya malem, jadi saya ambil besoknya saja.”
“Gak apa- apa kalau mau diambil malam Pak, tinggal pencet bel aja. Kan rumah saya di sini juga .”
Aku bernafas lega mendengar kesepakatan itu, jadi begitu nanti mendapat gaji dari Bu Tina Aba malam itu juga akan mengambil kelereng itu. Pulang dari toko saat di goncengan motor Aba rasanya Aku ingin teriak saking gembiranya. Kedua keinginanku sebentar lagi terwujud.
Setiap 2 hari sekali Aku minta dianter Aba ke toko Lenny,memastikan kelereng itu masih ada, dan Aba mau saja mengikuti keinginan anaknya. Ayah Lenny juga luar biasa baik, tiap kali Aku datang Ia akan mengambil kotak kelereng itu dari lacinya dan menunjukkannya padaku.Aku lega ia masih menyimpannya.
Aba mengajar di rumah Bu Tina setiap malam Selasa dan Kamis. Di akhir Minggu kedua malam Selasa, akhirnya Bu Tina mengizinkanku ke sana. Betapa Aku menantikan hari ini, akhirnya bisa melihat ikan ajaib. Waktu rasanya berputar sangat lambat,dadaku berdebar keras, dag dig dug tiap kali membayangkan akan melihat ikan ajaib itu.
Aku bersiap dari siang hari. Padahal baru setelah magrib kita berangkat. Aba mengajar dari jam 7 sampai jam 9 malam. Aku mengenakan sendal jepit dan satu-satunya baju bagus yang aku punya, baju lebaran tahun lalu.
Di goncengan motor, Aba kembali mengingatkanku beberapa hal yang sudah sering diulang Aba sebelumnya : Gak boleh ganggu Aba ngajar, gak boleh minta apapun termasuk makanan dan gak boleh pegang apapun yang ada di rumah itu.
Sesampai di rumah Bu Tina hatiku menciut, rumahnya besar sekali. Gerbang rumahnya sangat tinggi sehingga menutupi rumah itu dari luar. Halamannya luas dengan banyak mobil truk parkir berderet. Baru saja sedikit melewati gerbang, terdengar gonggongan anjing yang terus – menerus tak berhenti, anjingnya hampir seukuran aku besarnya suaranya juga terdengar menggelegar,.Aba belum pernah cerita tentang Anjing raksasa ini, Aku ketakutan luar biasa dan mengenggam erat tangan Aba.
“ Anjingnya diikat, jangan takut. Kalau belum kenal memang anjing akan begitu, makanya dijadikan penjaga rumah,” Aba menenangkanku.
Mendengar ribut suara gonggongan anjing, akhirnya Bu Tina dan kedua anaknya ;satu laki-laki dan satu perempuan,keluar dari pintu rumah. Pertama kali melihat Bu Tina perasaanku langsung tidak enak. Sorot matanya tajam dan merendahkan, mirip dengan anaknya yang perempuan.
Aku dan Aba masuk ke ruang tamu, ada banyak kursi besar di situ. Aba sekali lagi berbisik mengulang pesannya ,Aku mengangguk sebagai tanda Aku memahaminya, lalu Aba masuk ke ruang tengah diikuti kedua anak Bu Tina. Tinggallah aku berdua Bu Tina di ruangan itu.
Matanya seperti menelanjangiku, Aku tidak berani mengangkat wajahku,tanganku dingin takut dengan tatapannya. Ia menyuruhku mengikutinya ke satu ruangan.
“ Kamu boleh liat ikannya, tapi gak boleh pegang apapun yang ada di sini, gak boleh juga duduk di kursi. Kalau mau duduk nanti di situ aja, ngerti kamu ?” Bu Tina menunjuk lantai tempat aku diizinkan duduk. Lantainya bermotif dan berwarna, beda dengan lantai rumahku yang serba hitam.
Aku tidak berani bersuara , hanya mengangguk tanda mengerti dengan pandangan tetap menekuri lantai. Setelah itu ia pergi meninggalkanku sendiri. Setelah suara langkahnya menjauh dan tidak terdengar lagi ,barulah aku berani menyapu pandanganku ke ruangan itu.
Aku gemetar, di dekat tembok itu ada kolam renang kaca yang sangat besar berdiri dengan tiang-tiang kokoh yang lebih tinggi dariku, di dalamnya ada ikan ajaib itu !
Ukuran ikan itu lebih dari serentangan kedua tanganku. Warna sisiknya biru bukan hijau seperti yang Aba bilang, lalu ada kuning keemasan , merah, perak dan ada sedikit putihnya. Di kolam renang ikan itu juga banyak batu warna-warni dengan disinari cahaya lampu yang juga beragam warna. Cantik banget, jauh lebih cantik daripada yang Aba ceritakan.
Sebenarnya Aku sangat ingin mendekati kolam kaca itu , ingin tau bagaimana rasanya dinginkah atau panaskah, aku ingin mengetuk-ngetuknya dan ingin tau apakah ikan itu akan mendengar ketukan jariku. Tapi Aku tidak berani , teringat pesan Aba dan Bu Tina untuk tidak boleh menyentuh apapun. Aku tetap berdiri di tempat awal aku ditinggalkan dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari ikan ajaib itu. Aku ingin merekam semua keindahan itu dengan tak melewati seinchi pun apa yang ada dalam kolam renang ikan itu.
Dari tempat Aku berdiri, Aba bisa melihatku dari tempatnya mengajar. Aku tau mata Aba terus mengawasiku. Aku juga mendengar suara Aba dan kedua anak itu. Biasanya Aba mengajar menggunakan buku Lado English Series karangan Robert Lado, tapi buku itu hanya untuk mengikuti topik unitnya saja, Aba lebih banyak memancing dengan latihan percakapan, makanya menurut salah satu teman Aba , murid-muridnya Aba jauh lebih cepat bisa bicara Bahasa Inggris dengan metode percakapan itu.
Sedang asyik Aku melihat ikan ajaib itu, anak laki-laki Bu Tina yang ramah mendekatiku.
“ Mau liat lebih dekat ? Ayo kesini,” ajaknya.
“Ke kolam renang ikan itu?”
“Hahahaha , ini bukan kolam renang ikan. Namanya aquarium, aquarium yah bukan kolam renang ikan hahahaha,” Ia tertawa geli.
“ Nggak ah, terima kasih. Dari sini juga keliatan kok,” Aku menolak meskipun hatku berteriak sangat ingin tapi Aku gak mau melanggar janji Aba.
“ Atau mau coba ngasih makan ? Liat deh gimana rakusnya dia.”
Aku melihat ke arah Aba, persis Aba juga sedang melihatku, jadi makin membuatku tidak berani beranjak.
Anak laki-laki itu mengambil jaring bertongkat panjang dan memasukkannya dalam satu tempat yang ternyata tempat makanan ikan, setelah itu dimasukkan ke aquarium. Ternyata ikan itu makanannya ikan-ikan kecil, Aku semakin takjub melihat cara ikan ajaib itu makan yang dengan sekali membuka lebar mulutnya semua ikan kecil itu ludes tak bersisa.
Selama 2 jam itu Aku betul-betul berdiri dan sesekali duduk di lantai tempat yang sama dari awal, Aku ingin membuktikan pada Aba bahwa Aku patuh dengan janjiku dan berharap Aba jadi mau mengajakku lagi. Malam itu di goncengan motor, Aku tak henti – henti menceritakan detail ikan ajaib itu pada Aba seolah-olah Aba belum pernah melihatnya. Aba hanya tertawa, bahagia atas kebahagiaan anaknya. Malamnya Aku tidak bisa tidur, gak sabar menunggu matahari terbit agar aku bisa menceritakan ke teman-teman sekolah, mereka pasti belum ada yang pernah melihat ikan ajaib itu. Perasaan bangga menyelinap,Aku merasa menjadi anak terkeren di dunia !
Satu keinginanku melihat ikan ajaib sudah dipenuhi Aba. Tinggal satu lagi kelereng atom. Rabu setelah magrib, Aba berangkat ke rumah Bu Tina. Sesuai rancana, selepas menerima gaji Aba akan langsung menebus kelereng malam itu juga.
Aku sudah menunggu di ruang tamu sejak jam 8. Perkiraan Aba akan sampai di rumah tidak jauh dari pukul 9 :30.
Setiap bunyi kendaraan Aku akan membuka pintu rumah, bersiap menyambut Aba dan kelereng itu. Bolak- balik berulang Aku melakukan itu, tapi hingga pukul 10 malam Aba belum pulang juga.
Seluruh perasaan berkecamuk. Takut kelereng itu sudah gak ada dibeli orang, takut Aba lupa beli, takut Aba kenapa-napa di jalan.
Menjelang pukul setengah sebelas, Aku mendengar suara motor Aba. Berlari ku buka pintu depan, lega sekali melihat Aba sudah sampai selamat. Kelegaan hanya sesaat, berganti panik karena Aku tidak melihat ada gantungan kresek yang berisi kelereng sama sekali di motor Aba.
“Mana kelerengnya Ba, ?” tanyaku sambil mengikuti Aba yang memasukkan motornya ke ruang tamu.
Aba diam, tidak menjawab.
“Tadi Aba gak jadi ke Toko Lenny ? Tokonya tutup ?”
Aku memberondong pertanyaan, Aba hanya diam tak sekalipun menjawab.
Aku terus bertanya hingga akhirnya menangis, namun Aba tetap diam.
Aku sangat marah pada Aba . Jahat sekali Aba tega berbohong padaku. Aku berlari keluar rumah menuju semak- semak rimbun . Di sana Aku jongkok menangis tersedu – sedu. Aku berharap Aba menyusul, membujukku pulang dan ternyata Aba menyembunyikan kotak kelereng itu di suatu tempat.
Tapi Aba tidak datang menyusulku.
Cukup lama Aku disitu, gigitan nyamuk mulai terasa di sekujur tubuh. Suara jangkrik dan kodok membuatku takut.
Aku pulang dengan langkah gontai. Ada Aba berdiri di depan rumah menungguku. Melihat Aba hanya berdiam mematung di situ tanpa menyusulku membuatku semakin marah dan kecewa.
Aku melewati Aba tanpa berkata apa pun. Baru selang sehari lalu Aku merasa menjadi orang paling bahagia, malam ini Aku berubah jadi yang merasa paling teraniaya.
Semua rekaman cerita indah ikan ajaib kemarin dan bagaimana usaha Aba mewujudkannya langsung sirna.
Esok paginya aku mogok sekolah. Semaleman menangis dan hampir tidak tidur telah membuat kepalaku berat. Saat melewati Aba yang sedang duduk di amben dengan kopinya,Aku tidak mau melihat wajahnya. Aba juga diam, sama sekali tidak berusaha menyapaku. Biasanya sebelum mandi,Aba akan memutar-mutar handuknya dan bercanda dengan cara berpura-pura memukulku dengan handuk itu. Hari itu Aba tidak melakukannya. Sikap diam Aba yang tidak memberikan penjelasan apapun semakin membuatku marah .
Selepas Aba berangkat mengajar, Umi memanggilku.
“Tau gak tadi malam kenapa Aba terlambat pulang,?” Tanya Umi.
Aku mengangkat kedua bahuku tanpa melihat Umi sama sekali, bersikap tak perduli. Marahku sudah mengalahkan segalanya.
“Pulang dari rumah Bu Tina, Aba sengaja cari jalan berputar- putar yang jauh agar bisa cari jawaban untukAja sebelum sampai rumah.”
“Kenapa Aba gak langsung ke Toko Lenny, kenapa Aba gak ambil kelerengnya, Aba sudah janji, Aja nungguin sudah lama tapi Aba bohong,” tangisku pecah lagi.
“Karena Bu Tina gak mau bayar gaji Aba ,!” tak sabar Umi memotong tangisku.
“Lah kenapa, kan tadi malam memang harusnya gajian,” Aku mulai mengangkat pandanganku yang sedari tadi menekuri lantai.
“Ikan Bu Tina mati besok paginya setelah Aja liat malam harinya, dan Bu Tina bilang ikan itu mati gara-gara Aja.”
“Gak mungkin, dia bohong. Aba liat kok Aja gak bergeser dari tempat pertama masuk. Anaknya ngajak liat dari dekatpun Aja gak mau. Gimana bisa gara-gara diliatin doang ikannya bisa mati?”
“ Aba sudah menyampaikan begitu tapi Bu Tina tetap menuduhnya Aja yang bikin ikan itu mati karena sebelum Aja lihat ikan itu baik-baik aja. Ikan itu harganya sangat mahal, Aba disuruh ganti.”
Tangisku atas kekecewaan dengan Aba berganti judul menjadi kemarahan dengan Bu Tina. Umi melanjutkan lagi omongannya yang makin membuat perasaanku hancur.
“ Kata Bu Tina ,Aba gak mungkin punya uang buat ganti ikan itu , harga 100 motor butut Aba gak akan cukup untuk bayar 1 ikan itu. Bahkan 10 tahun gaji Aba ngajar di situ pun gak akan cukup.”
“ Aba jangan mau bayar Mi, dia bohong. Gak mungkin Mi ikannya mati gara-gara Aja liat.”
“Bu Tina tetap memaksa Aba ganti dan mengancam Aba, Akhirnya Aba setuju mencicilnya dengan cara 10 bulan mengajar di situ tanpa gaji dan tadi malam itu Bu Tina langsung memotong cicilan pertamanya, Aba sudah memohon untuk minta sedikit gajinya secukup harga kelereng agar bisa langsung ke Toko Lenny, tapi Bu Tina tetap tidak mau. Itulah kenapa tadi malam Aba lama pulang dan hanya diam, Aba gak tau gimana caranya nyampaikannya ke Aja karena pasti Aja akan ngerasa bersalah.”
Ya Allah, makin Umi ngomong semakin Aku merasa bersalah yang teramat berat. Terbayang wajah Aba saat berhadapan dengan Bu Tina yang jahat, bagaimana dia berusaha membela anaknya yang dia yakin tidak bersalah, bagaimana dia memohon sedikit diberikan uang seharga kelereng, bagaimana ia berputar lama dengan motornya mencari kata-kata yang bisa menenangkan anaknya . Ia tidak memikirkan gajinya yang tidak akan dibayar 10 bulan ke depan yang pasti akan sangat berpengaruh bagi keluarga kami, ia hanya fokus memikirkan perasaan anaknya yang tidak tau diri ini. Aku tak berhenti mengutuk diriku karena gara-gara keinginanku memaksa melihat ikan itu Aba diperlakukan dengan jahat sekali.
Tak sabar Aku tunggu Aba pulang siang itu. Saat ia datang Aku memeluknya, tangisku tanpa kata, sudah cukup membuat Aba mengerti bahwa Aku sudah tau dan Aku menyesal dengan sikapku. Aba masih diam, hanya tangannya yang mengusap rambut kepalaku.
“Jangan mau ganti Ba, kita gak salah. Aba kan liat Aja cuma liat dari jauh gak mungkin ikannya bisa mati Ba. Bu Tina jahat, dasar penjahat.”
“ Orang akan memutuskan sesuatu sesuai kadar dirinya, jangan pakai takaran kita,pasti gak akan sama. Biarkan dia senang dengan caranya yang begitu, kita juga bisa senang dengan cara kita membayar kesenangan dia. Selesai 10 bulan, Aba tidak akan mengajar di situ lagi.”
Tak sepenuhnya Aku faham maksud kata-kata Aba itu, Aku hanya merasa makin kagum dengan Abaku,cara Aba menyelesaikannya dengan bermartabat.
Sore harinya Aba mengajakku jalan-jalan, dan ternyata menuju ke Toko Lenny. Sampai di sana Aba bilang ke Ayah Lenny akan mengambil kotak kelereng itu 3 hari lagi. Ayah Lenny yang sangat baik itu tetap tidak bertanya apapun, sambil tetap tersenyum ia bilang akan menyimpannya 3 hari lagi. Sungguh, Aku sudah tidak bernafsu sama sekali lagi dengan kelereng itu, Aku sampaikan pada Aba untuk tidak usah membelinya, tapi Aba bilang tetap akan beli karena itu janji Aba waktu Aku sakit.
Di atas motor Aku menangis lagi, sedih dengan perlakuan Bu Tina, sedih dengan sikapku sebelumnya pada Aba dan sedih dengan usaha Aba menyenangkan anaknya. Aba mengusap tanganku yang melingkar di perutnya. Sore itu menjelang senja, langit mencatat perjuangan seorang ayah yang meski hatinya berdarah tetap berjuang untuk anaknya.
3 hari kemudian Aba menepati janjinya menebus kelereng itu dengan uang entah dari mana dan setelah itu Aku tetap selalu kalah bermain kelereng meskipun telah menggunakan kelereng atom yang penuh drama.
10 bulan kemudian,Aba juga menepati ucapannya untuk tidak mengajar lagi di rumah Bu Tina meskipun dia memohon-mohon dan menjanjikan akan menaikkan gaji Aba 2x lipat.
Aku membayangkan Abaku berkata seperti Nyai Ontosoroh:
“Kita Sudah melawan dengan sebaik-baiknya,sehormat-hormatnya.
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri,bersuka karena usahanya sendiri,dan maju karena pengalamannya sendiri.” ( Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer).
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.