Terlarang Meminjam

Terlarang Meminjam
Image by Anh Le from Pixabay
Aku suka warna-warni. Belakangan, warna ungu adalah favoritku. Tapi, aku sering memilih warna jambon, lebih karena iseng berhubung warna tersebut sering dipandang rendah. Dianggap sebagai warna yang norak. Sementara, menurut seorang bekas teman serumah, bila tak harus bepikir, aku ada kecenderungan untuk memilih warna coklat atau merah. Entah mengapa warna coklat, aku juga tak paham. Aku bahkan tak menyadari kecenderungan itu. Tapi, kalau merah mungkin karena dalam keluargaku dulu, aku dibesarkan untuk menguasai barang-barang berwarna merah.
 
Kami bersaudara empat orang. Aku anak nomor dua yang satu-satunya perempuan. Dugaanku, orang tuaku menganggap bahwa merah adalah warna yang cocok untuk perempuan. Maka itu, barang-barang untukku biasanya, dan sebisanya, dipilihkan yang cenderung berwarna merah atau kemerahan.
 
Abangku selalu mendapat barang warna biru. Adik laki-laki yang pas di bawahku ditentukan hijau, dan si bontot yang tentunya juga laki-laki selalu dipilihkan warna kuning. Sampai-sampai om kami, abang dari Ayah, juga memegang patokan itu. Beliau yang sering bertugas ke luar negeri, pernah membawa empat buah celana panjang anak-anak sebagai oleh-oleh untuk kami, para keponakannya. Bahan jeans, merek yang terkenal itu lho, Levis—akhir 1960-an merek ini masih langka lho di Indonesia! Motifnya garis-garis tak seragam, dan masing-masing celana memiliki warna dasar tersendiri. Ya, betul! Biru, merah, hijau, dan kuning.
 
Dulu ada set kursi teras mini untuk kami yang masih anak-anak. Seperti yang bisa kalian duga, warnanya sesuai dengan warna yang peruntukkan kami tersebut. Kami diajar disiplin untuk tidak duduk di warna yang bukan milik kami. Itu adalah tindakan terlarang.
 
Tak hanya 'kedudukan' demikian yang disediakan untuk kami masing-masing. Perlengkapan harian pun demikian pula. Sikat gigi sudah pasti harus punya sendiri, yang kalau tak salah warnanya diusahakan sesuai dengan pakem warna anak-anak di keluarga batih kami saat itu. Dengan wanti-wanti, jangan sampai salah pakai. Sengaja atau tidak.
 
"Sikat gigi nggak boleh pakai punya orang lain meski saudara," demikian wejangan Ibu dan Ayah selalu.
 
Sikat gigi mudah dipahami bila terlarang saling pakai. Meski sudah dicuci baik-baik. Tapi, buat Ibu dan Ayahku, tak cukup sampai di situ. Pakaian dalam kami juga harus dimiliki masing-masing. Masih jelas teringat di ingatanku celana-celana dalam anak laki-laki yang berinisial agar tak terjadi salah pakai. Awalnya, memakai benang sulam Ibu menandai dengan membuat huruf awal nama anak-anak lelakinya, di masing-masing celana dalam mereka. Lama-lama, cukup dilakukan dengan spidol anti-air.
 
Celana dalamku saja yang tidak bernama, bentuknya lain sendiri, kan. Bercorak pula, berbeda dengan celana dalam anak laki-laki yang putih membosankan. Singlet pun juga diperlakukan dengan cara yang sama oleh Ibu. Diberi inisial. Kecuali yang punyaku. Entah kenapa, Ibu pasti memilih bentuk singlet yang sedikit berbeda untukku. Yang bagian tepian atas dan lengannya bergelombang. Kalau dipikir sekarang, mungkin itu upaya Ibu untuk mengurangi kerjanya dalam hal menamakan pakaian dalam ya hahaha...
 
Sisir dan/atau sikat rambut serta handuk juga termasuk golongan barang pribadi yang tak boleh dipakai oleh yang bukan pemiliknya. Dilarang memakai sisir saudara sekandung. Kalau sisir rusak, lapor pada Ibu untuk dapat penggantinya. Handuk, meski yang sudah dicuci, tidak diperkenankan juga bagi kami untuk memakai punya sekandung. Kalau dalam kondisi darurat? Apapun itu daruratnya?
 
"Pakai punya Ayah atau Ibu, tapi yang masih bersih. Dan, laporan ya! Laporannya setelah diambil juga nggak apa-apa, nggak perlu sebelumnya," kerap Ibu berkata.
 
Sekali lagi, pakai handuk sekandung adalah terlarang ya!
 
Kalau mau pinjam sisir Ibu, diizinkan juga, tapi dengan rada sebal. Sebab, sikat atau sisir rambut itu bagi Ibu rupanya rada tipis bedanya—atau persamaannya?—dengan sikat gigi. Demikian menurut Ibuku.
 
Pakaian pun masing-masing harus punya sendiri-sendiri. Tiga sekandungku yang laki-laki pada suatu masa ketika kanak-kanak, terutama bila lebaran, mempunyai baju kembaran. Apabila baju-baju tersebut dibeli dari keluarga lain yang berteman dengan keluarga kami, atau teman arisan Ibu, maka saat lebaran bisa terlihat sejumlah anak laki-laki yang berpakaian serupa berseliweran di kompleks perumahan kami.
 
Masuk masa remaja, mulailah pilihan-pilihan pakaian disesuaikan dengan selera masing-masing. Mulai pula terjadi tradisi pinjam meminjam baju. Sesuatu yang sebetulnya tak diperkenankan oleh orang tua kami. Ibu dan Ayah cuma menghela nafas saja melihat kami saling meminjam baju dengan riang gembira.
 
Awalnya, dengan sopan kami minta ijin untuk meminjam sehelai baju kepada pemiliknya. Ijin diberikan. Selanjutnya, dengan bebas kami menganggap bahwa ijin memakai baju tersebut berlaku sah selamanya. Kali berikut, tinggal main pakai saja. Tanpa pula pemberitahuan kepada pemiliknya. Bisa kejadian pada suatu hari salah satu dari kami hendak memakai baju tertentu, tapi tak berhasil menemukannya di mana pun. Sampai di kampus, tahu-tahu si pemilik baju bertemu dengan sekandungnya yang dengan gayanya memakai baju yang tadi dicari, baju yang dulu memang sudah pernah dipinjamkannya. Dapat dipastikan terjadilah perang Kurusetra—di rumah tentunya.
 
"Karena itulah makanya Ibu dan Ayah melarang kalian saling pinjam baju!!!" Ibu pun ikutan menjadi geram.  =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.