Created by The Poor, Stolen by The Rich

“Itu kenapa sih rame-rame Citayam Fashion Week. Norak. Mending kalau bajunya bagus. Ini kumel, lusuh, bikin macet lagi,” komentar teman-teman saya di Whatsapp Group tentang keramaian yang membuat riuh Stasiun Dukuh Atas dan sekitarnya malam itu.
Tidak salah memang. Apa yang ditampilkan di Citayam Fashion Week memang sepintas tidak bisa masuk ke selera fashion kelas menengah hingga atas. Karena memang semangatnya adalah semangat anak-anak pinggiran. Citayam adalah sebuah daerah yang bahkan di peta Depok sekalipun letaknya ada di pinggiran.
Sumber gambar: detik https://news.detik.com/foto-news/d-6192186/potret-kawula-muda-ibu-kota-saat-terbius-haradukuh-citayam
Waktu masih kuliah di industri budaya IKJ, hal-hal semacam ini disebut sub culture. Ia ada dan jadi eksis karena menyimbolkan perlawanan terhadap kemapanan. Ibukota yang selalu ditampilkan rapih, mahal, dan berkelas dirasuki anak-anak pinggiran adalah sebuah pemandangan tidak wajar.
Tapi tak banyak yang menyadari, memang seperti itulah sebenarnya spirit dari Jakarta. Menurut situs BPK Jakarta, kota ini dipadati 11 juta orang pada siang hari, dan anjlok jadi 8 juta saja pada malam hari. Ke mana 3 juta sisanya?
Mereka yang tinggal di pinggiran, jauh dari kesan elit dan mewah. Saat ditelusuri, rumahnya beratap seng dan ada di pojokan. Tapi sebenarnya merekalah nyawa dari kota ini.
Adanya Citayam Fashion Week menjadi saluran bagi mimpi anak-anak pinggiran untuk bisa ikut dianggap bagian dari peradaban. Mereka membuktikan event ini bisa mendapat sorotan luar biasa, melebihi Indonesia Fashion Week atau Jakarta Fashion Week sekalipun. Modalnya? Fashion murah meriah yang bisa dipesan di toko online, kebanyakan tanpa brand.
Spirit ini mirip dengan yang terjadi di Jepang, yang kemudian memunculkan istilah Haradukuh, pelesetan fenomena Harajuku yang juga sebuah sub culture di dekat stasiun HR Harajuku. Event ini juga dipelopori anak-anak muda anti mainstream dengan selera fashion yang ganjil. Haradukuh adalah gabungan dari kata Harajuku dan Dukuh Atas, stasiun yang menjadi pusat kegiatan ini di Indonesia.
Dengan sorotan dari media sosial kekinian seperti tik tok, sosok seperti Jeje Slebew, Bonge, Roy, dan kawan-kawannya berlanjut mendapat perhatian media mainstream. Setelah terbukti ramai dan mendapat sorotan, barulah kemudian selebriti dan fashionista papan atas berusaha mencuri perhatian, bahkan sekelas pejabat negara seperti presiden, gubernur Jawa Barat, dan Gubernur DKI pun ikut berkomentar, setelah sebelumnya banyak dicibir orang.
Dari awalnya diejek, mereka berhasil membuktikan Citayam Fashion Week bisa menjadi sesuatu yang keren. Malah banyak yang jadi pembelanya mati-matian saat event ini ditutup paksa oleh pemerintah daerah.
Bahkan nama Citayam Fashion Week sempat didaftarkan untuk Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sesuatu yang sudah mengingkari semangatnya sendiri sehingga menimbulkan kecaman dari banyak pihak. Dari sinilah kemudian semangat sub culture yang anti mainstream diingkari. Sesuatu yang awalnya dari semangat kolaborasi dan adu kreatif tanpa memusingkan nilai uangnya, lalu dimasuki uang ratusan juta. Brand-brand yang awalnya menjaga jarak, dilaporkan berusaha mendekati figur-figur yang eksis di sana untuk mencoba produk mereka dan menjadi endorser gratisan.
Kini setelah Citayam Fashion Week dilarang, apakah akan muncul lagi fenomena sub culture lainnya? Bisa jadi, kalau memang momennya tepat dan tempatnya juga bisa memfasilitasi. Tapi setidaknya kita belajar kalau tidak ada brand yang bisa panjang umur kalau sudah mengkhianati spirit awalnya sendiri.
Ungkapan itu jadi begitu populer dan mengena, "Created by the poors, stolen by the rich..." Sebuah ungkapan yang awalnya berasal dari dunia sepakbola, kini jadi merasuk ke dunia fashion.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.