Cari Alasan

Cari alasaan itu sungguh sulit. Begitu ketemu satu alasan saja, belum tentu itu adalah alasan yang baik meski kelihatannya oke hehe…

Cari Alasan
Jemu. Kadang, ah tidak, bukan kadang, bahkan sering, begitulah perasaan saya kala jam pelajaran sekolah, masa masih duduk di sekolah dasar dulu. Akibatnya, saya jadi sering merasa iri pada teman-teman nonmuslim, karena mereka bisa menjadi manusia bebas selama berlangsungnya pelajaran agam Islam. Mereka kan boleh keluar kelas dan tak mengikuti pelajaran tersebut karena agama mereka bukan Islam. Selama dua jam pelajaran itu mereka boleh main, jajan di kantin, bengong di halaman sekolah, dan seterusnya. Sesukanya.
 
Selain itu, saya juga iri dengan teman-teman yang diperkenankan tak mengikuti pelajaran olahraga. Pelajaran olahraga sejatinya sih asyik. Tapi, pemikiran bahwa bila dalam jam pelajaran sekolah kita bisa tak mengikutinya dan menjadi bebas, adalah godaan sekali.
 
Sayangnya, yang tak ikut pelajaran olahraga adalah mereka yang sakit. Yang tak cukup sehat secara fisik. Saya sendiri rupanya terlalu sehat untuk mendapatkan alasan sakit agar boleh tak mengikuti pelajaran olahraga. Kalau saya sampai sakit, biasanya terkapar di rumah sehigga tak masuk sekolah sama sekali.
 
Saat sudah duduk di kelas 5 saya mulai melihat segelintir anak perempuan teman sekelas yang tampak sehat tapi beberapa kali mereka tak mengikuti pelajaran olahraga. Salah satunya adalah anak perempuan berbadan bingsor, yang akan saya sebut sebagai Pipit. Kepadanya satu kali tak tahan saya untuk bertanya, sebab mengapa dia bisa bolos secara resmi dan terang-terangan saat pelajaran olahraga.
 
"Karena saya sedang berhalangan," jawab Pipit.
 
Wow... begitu saja!? –pikir saya tanpa merasa perlu minta penjelasan lebih jauh tentang makna berhalangan itu.
 
"Lalu, bagaimana guru tahu?" tanya saya.
 
"Tinggal bilang saja," jelas Pipit.
 
"Guru percaya?” Pipit mengangguk. “Nggak dicek?" saya mencecarnya.
 
"Iya, nggak dicek lagi".
 
Nggak perlu dengan surat keterangan dari orang tua?"
 
"Nggak...".
 
Wah, asyik!!!
 
Maka, minggu depannya saat tiba jam olahraga, saya melapor ke guru.
 
"Bu, saya sedang berhalangan".
 
"Wah, kamu sudah halangan juga ya?" respon Bu Guru dengan wajah sangat terkejut. Matanya membelalak besar.
 
Tahukah Anda? Saya pun juga ikut merasa terkejut, akibat melihat reaksi dari Bu Guru. Dan, tiba-tiba terasa ada sesuatu yang salah. Disusul dengan perasaan menyesal. Sepertinya, ini bohong yang seharusnya tak saya lakukan. Karena timbul perasaan tak nyaman, maka bolos yang saya idam-idamkan itu tiba-tiba terasa tak lagi menarik. Wajah saya terasa hangat. Mungkin terlihat merah padam. Tapi, saya tahu bahwa saya berada di point of no return. Tak bisa batal.
 
“Baiklah,” kata Bu Guru singkat sebelum melangkah ke teman-teman yang sudah berkumpul di halaman sekolah.
 
Selama dua jam pelajaran tidak ngapa-ngapain tersebut ternyata tak terasa menyenangkan. Bahkan, saya lebih merasa tersiksa. Saya juga merasa bersalah. Dan, ada perasaan yang berbisik bahwa sepertinya Bu Guru tahu saya berbohong, yang mungkin dia baca dari ekspresi terkejut saya tadi. Sepertinya, beliau juga paham bahwa saya tak mengerti makna kata berhalangan. Tapi, beliau tak berkata apa-apa. Ah, baik sekali Bu Guru yang terkenal galak dan to the point itu...
 
Entah bagaimana saya kemudian memahami makna ‘berhalangan’ itu. Bisa jadi saya langsung mengerti karena melihat reaksi Bu Guru yang heran atas pernyatan bahwa saya sedang berhalangan. Bisa jadi juga karena hal lain yang entah apa. Yang pasti, sejak itu saya tak pernah lagi melapor bahwa saya berhalangan untuk tak ikut olahraga.
 
Sampai ketika kelas 2 SMP. Di masa ketika saya sudah menstruasi, tentunya. Di mana saya sudah benar-benar berhak untuk bilang “sedang berhalangan” agar tak perlu melakukan urusan apapun   =^.^=
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.