Jerit kegirangan tiga saudara laki-lakiku sungguh sangat mengundang. Mengajakku untuk ikutan dengan apapun yang tengah mereka lakukan. Mereka; abangku (6 tahun), adik pertama (4 tahun), dan si bungsu (2 tahun); sedang asik main kuda-kudaan imajiner.
Sebagai kudanya adalah bingkai jendela di tembok. Duduk paling depan menempel ke kaso jendela terlihat si bungsu. Di belakangnya, adik nomor satu. Paling belakang adalah abangku.
Aku sudah tak tahan hendak bergabung sebetulnya, dan sudah hampir beranjak mendekati mereka ketika kudengar Ibu bersuara. Suara Ibu yang menyebut namaku seperti menggamit lenganku, sehingga menahan langkah kakiku.
"Biarin aja anak laki-laki seperti itu. Nina kan anak perempuan, jangan ikut-ikutan," ujar Ibu yang kesal dengan kelakuan tiga anak laki-lakinya.
Aku, 5 tahun, adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga batih kami. Anak nomor dua. Ucapan Ibu itu adalah ucapan berbasis gender pertamanya yang ditujukan padaku yang kuingat. Sebuah upaya untuk menahan anaknya yang kebetulan perempuan, untuk tak menempuh bahaya bersama para saudara laki-lakinya. Cara seperti itu, berbasis gender, untungnya tak sering dilakukan Ibu untuk mengekangku.
"Kalau jatuh, biar rasa nanti kalau tangannya patah. Urus sendiri," gerundel ibu dengan kesebalan tingkat dewa.
Aku tak ingat lagi, bagaimana caranya sampai Ibu akhirnya berhasil membuat tiga saudara laki-laki kandungku yang badung itu, untuk turun dari bingkai jendela.
“Main monyet-monyetan, yuk!” ajak Ibu kemudian untuk mengalihkan perhatian anak-anaknya dari jendela yang sebenarnya tak bersalah itu.
Mereka kemudian beramai-ramai digiring Ibu ke kamar. Suara celoteh gembira mereka teredam ketika pintu kamar ditutup. Meyakinkan diriku bahwa mereka dan Ibu sudah asik bermain dan semoga tak lagi memperhatikanku.
Permainan monyet-monyetan—kalau tidak salah namanya demikian—adalah permainan favorit kami. Dimainkan oleh kami bersama Ibu, atau kakaknya Ibu yang kami panggil Ibu Titi. Cara bermainnya…, ah, biarkan aku mencoba menggambarkannya ya. Semoga dapat kalian pahami.
Dalam permainan ini, Ibu memposisikan diri di tempat tidur dengan berbaring pada punggungnya. Kaki beliau ditekuk pada bagian dengkul. Lalu, anak yang mendapat giliran menjadi monyet berdiri beralaskan kaki Ibu. Dada menempel pada tulang kering Ibu, tangan merangkul betis beliau dengan sangat erat. Ya, pastikan peganganmu erat supaya tak terjatuh nantinya. Karena, seat belt tak tersedia dalam permainan yang lumayan berbahaya ini lho!
Lalu, tibalah saat yang seru! Ibu pelan-pelan mengangkat kakinya. Kami pun terangkat, dengan posisi kepala di bawah dan kaki di udara. Rasa berada di awang-awang bagai terbang, adalah sensasi yang kami dapatkan dan itu rasanya bukan main!
Tak heran bahwa gelak tawa selalu mengumandang seru di tengah permainan itu. Dikeluarkan baik oleh anak yang sedang menjadi monyet-monyetan, atau mereka yang sedang menunggu giliran tapi ikut menjadi tegang hanya dengan melihatnya.
“Sudah!!! Sudah!!! Gantian!!!” kami yang belum dapat kesempatan akan berteriak dengan semangat seperti itu.
“Aku!!! Giliran aku!!!” berebut kami minta giliran.
Hari itu, aku yang tetap berada diluar kamar, mengawasi pintu kamar dengan mata elangku. Juga memasang telinga kelelawarku, jaga-jaga kalau saja tiba-tiba Ibu atau siapapun keluar dari kamar untuk mencariku.
Aku sendiri sebenarnya sempat tergoda sangat untuk bergabung dengan mereka, karena dapat merasakan juga keseruan bermain monyet-monyetan. Tapi, untungnya, atau sayangnya, jendela itu lebih menarik. Ia seperti melambaikan tangannya memanggilku. Mengajak dan mempersilahkanku untuk bermain kuda-kudaan, seperti yang dilakukan oleh tiga saudara laki-lakiku tadi.
“Ayo, nona kecil, tunggu apa lagi? Panjatlah bingkaiku segera,” begitu mungkin si jendela di tembok berkata.
Godaan si jendela pun menang di hatiku! Kupanjat kotak metal berisi peralatan kemontiran milik Ayah yang berada di bawah jendela. Supaya bisa mencapai bingkai jendela. Jendela itu tak terlalu tinggi sebenarnya, tapi buatku yang masih 5 tahun, wuih, tinggi banget! Maka, aku menjadikan kotak besi itu sebagai tumpuanku, untuk melompat agar dapat mencapai bingkai jendela. Dan, lalu, main kuda-kudaan. Sederhana, kan, prosesnya?
Tingginya lompatanku sepertinya sangat luar biasa. Sampai-sampai aku mendapatkan diriku mendarat di sisi luar jendela. Aku jatuh tertelungkup, dengan satu tangan terposisi secara aneh di bawah badanku.
Aku tak ingat apakah ada rasa sakit atau tidak, tapi aku ingat sekali bahwa aku tak dapat menggerakan badanku sama sekali. Aku tak dapat bangkit dari keterpurukanku ini. Ketakutan bahwa tanganku patah, seperti 'kutukan' Ibu tadi; dikalahkan oleh ketakutan dimarahi Ibu karena melanggar larangannya. Jadi, aku memutuskan untuk diam saja, dan tak bersuara. Supaya Ibu tak tahu apa yang telah kulakukan dan apa yang telah terjadi padaku.
Aku tak ingat bagaimana aku ditemukan dan siapa yang menemukanku—bagian ini kemudian Ibu yang menceritakannya padaku. Ingatanku langsung melompat bahwa aku berada di dalam jip Willy's dinas Ayah. Dibawa ke dokter, lalu ke CBZ (Centrale Burgerlijke Hospitaal, yang sekarang disebut RSCM) di mana tanganku yang ternyata benar patah, di-gips.
Hari sudah gelap, tapi Ayah masih tetap memakai pakaian dinasnya. Mungkin, nanti setelah selesai mengurusku, beliau harus kembali ke tugasnya. Pada masa itu Ayah masih militer aktif di TNI-AU (dahulu disebut AURI), dengan tugas spesifik di radio komunikasi. Saat aku melompat ke jendela sampai jatuh, beliau sedang tugas dengan kewaspadaan tinggi.
Masa itu, 1966, Jakarta, kota di mana aku dilahirkan dan dibesarkan, sedang marak dengan berbagai demonstrasi mahasiswa. Ayah sedang bertugas di lapangan, tidak di kantornya, jadi, entah bagaimana sulitnya, atau bagaimana akhirnya Ibu berhasil menghubungi Ayah; tak dapat kubayangkan. Duh, dosa besar ya aku ini…
Tentang bagaimana aku ditemukan, cerita dari Ibu adalah, saat seru-serunya mengakomodasi anak-anak laki-lakinya main monyet-monyetan, Ibu tiba-tiba sadar bahwa aku tidak ada di antara mereka. Ibu sampai memasang telinganya untuk mendeteksi keberadaanku, tapi bahkan suaraku di luar tak terdengar. Akibatnya, Ibu lalu keluar kamar, dan menemukanku diam tertelungkup di luar jendela. Dikhawatirkan aku pingsan, tapi ternyata kesadaranku sangat penuh. Tertidur pun tidak.
Akibat lompatan maut itu, satu tanganku patah di daerah siku. Aku tak ingat tanganku sebelah mana yang patah. Mungkin, ingatanku ini menjadi kacau akibat kejadian berikutnya, yang terjadi kira-kira seminggu kemudian.
Pada hari tertentu itu, aku dengan tangan patahku yang tergendong di bagian muka, berada di tempat tidur. Tempat tidurku yang terbuat dari kayu, mirip dengan tempat tidur bayi. Berdiri tegak di atas kaki yang tinggi, dan dikelilingi oleh ‘kerangkeng’. Abangku yang berada di luar tempat tidur, menemaniku sambil bermain denganku.
Permainannya adalah pergi ke kebun binatang. Ide yang mungkin muncul karena antara Abang dan aku terhalang oleh jeruji-jeruji kayu macam kerangkeng. Meskipun aku yang terkurung, tapi ceritanya adalah Abang yang menjadi monyet di kebun binatang. Lumayan aneh, tapi imajinasi anak-anak memang tiada batas kan ya...
Sang monyet diberi makan oleh pengunjung. Makanannya cukup potongan kertas hahaha... Asik kami memainkan permainan seru itu, sampai kemudian aku ingin pipis. Tapi, bagaimana caranya untuk aku pergi ke kamar mandi? Kuminta tolong Abang agar membantuku turun dan keluar dari kerangkeng tinggi yang disebut sebagai tempat tidur itu.
"Aku nggak ngerti caranya," Abang menjawab dengan sedih.
Tak tahan, aku lalu memutuskan untuk membantu diriku sendiri. Kupanjat susunan jeruji tempat tidurku, dan dari puncaknya tanpa ragu aku melompat langsung ke bawah.
Walhasil, selama tiga atau empat bulan dalam hidupku yang masih sangat muda itu, aku tak dapat melakukan banyak hal secara mandiri termasuk makan. Sebab, dua lengan kecilku—ya, dua-duanya, kiri dan kanan—selama itu berada dalam kondisi terbalut gips keras. =^.^=