Beragama di Tiongkok

“Apakah di Tiongkok, negeri yang menganut paham ideologi komunis, terdapat kebebasan untuk menjalankan ajaran agama bagi warganya?”.
“Benarkah pemberitaan di berbagai media massa bahwa Pemerintah komunis Tiongkok melarang warganya untuk beragama?”,
“Apakah di Tiongkok terdapat rumah-rumah ibadah seperti masjid, gereja ataupun vihara yang bisa dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluknya?”.
Di atas adalah beberapa pertanyaan yang muncul di benak saya ketika pertama kali menjejakkan kaki di Beijing, Tiongkok pada 2011. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu aktual hingga kini dan mewakili keingintahuan masyarakat awam di luar Tiongkok. Maklum Tiongkok adalah negeri yang menganut paham ideologi komunis paling kuat di dunia. Sangat wajar apabila banyak pihak yang mengira bahwa di Tiongkok tidak terdapat kehidupan beragama.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul karena keterbatasan informasi di ruang publik mengenai kehidupan beragama di negeri panda tersebut. Informasi yang ramai di ruang publik justru diwarnai pemberitaan mengenai terjadinya represi terhadap warga minoritas muslim di Tiongkok seperti yang terjadi pada muslim etnis Uyghur di Xinjiang.
Karena itu, saat pertama tibadi Beijing, sebagai seorang muslim tentu saja salah satu pertanyaan pertama yang diajukan kepada teman-teman masyarakat Indonesia yang sudah terlebih dahulu tinggal Beijing adalah dimana bisa melaksanakan sholat Jumat di masjid pada setiap minggunya.
“Ada beberapa masjid di sekitar KBRI yang bisa dikunjungi untuk sholat Jumat. Tidak terlalu jauh, hanya sekitar 15-20 menit berkendaraan. Tapi kalau ingin sholat atau Jumatan di masjid besar dan tertua di Beijing bisa mendatangi masjid Niujie atau Dongsi,” begitu informasi tabf saya dapat. Belakangan saya mengetahui bahwa di Beijing sendiri terdapat ratusan masjid.
Informasi keberadaan masjid dan aktivitasnya merupakan sebuah fakta menarik yang membuka pemahaman mengenai terdapatnya praktek kehidupan beragama di Tiongkok, salah satunya adalah kebebasan menjalankan syariat Islam bagi kaum muslim.
Untuk mengetahui praktek kehidupan beragama di Tiongkok, saya memulainya antara lain dengan kunjungan ke beberapa masjid yang berada di Beijing. Saya juga membaca referensi sejarah Tiongkok, salah satu negara yang memiliki peradaban tertua di Asia yaitu sejak 3.500 tahun lalu.
Dengan sejarah peradaban yang sedemikian panjang, tidak mengherankan apabila Tiongkok memiliki sejarah panjang dalam hal kepercayaan dan menjadi tempat dari asal muasal berbagai tradisi agama-filsafat di dunia. Sejalan dengan hal itu, Tiongkok juga dianggap sebagai sebuah negara dengan sejarah humanis dan sekuler yang Panjang sejak zaman Konghucu.
Konghucu dan Tao, ditambah Buddha, yang disebut "tiga pengajaran", memiliki pengaruh siginifikan dalam pembentukan budaya Tionghoa. Unsur-unsur dari tiga sistem kepercayaan tersebut masuk ke dalam agama tradisional atau populer (Yao, Xinzhong. Chinese Religion: A Contextual Approach. Bloomsbury Academic, 2011).
Dalam kaitannya dengan sistem kepercayaan tersebut, terdapat pandangan bahwa penggunaan istilah “agama” kurang cocok, dan menganggap sebutan "praktik kebudayaan", "sistem berpikir" atau "filsafat" sebagai istilah yang lebih cocok (Rodney L. Taylor. Proposition and Praxis: The Dilemma of Neo-Confucian Syncretism, 1982). Lebih jauh terdapat perdebatan mengenai apa yang harus disebut agama dan yang harus disebut beragama di Tiongkok.
Namun terlepas dari perbedaan pandangan antara “agama”, “praktik kebudayaan”, ataupun “sistem berpikir”, kebebasan melaksanakan ajaran agama di Tiongkok sejatinya dijamin oleh negara.
Konstitusi Tiongkok pasal 36 menyebutkan “Warga negara TIongkok mempunyai kebebasan beragama. Instansi negara, kelompok masyarakat, dan perorangan tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama atau tidak menganut agama. Tidak boleh mendiskriminasi warga negara yang menganut agama dan yang tidak menganut agama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal (zhengchang de zongjiao huodong). Siapapun tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, dan merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama. Kelompok keagamaan dan urusan keagamaan tidak boleh dikontrol oleh kekuatan dari luar negeri”.
Seperti kata Mao dalam pidato yang disampaikan pada 27 Februari 1957, “Tentang Penanganan yang Benar Konflik Internal Rakyat” (Guanyu Zhengque Chuli Renmin Neibu Maodun de Wenti), menyatakan, “Kita tidak boleh […] memusnahkan agama, tidak boleh memaksa orang-orang untuk tidak menganut agama, […] juga tidak boleh memaksa orang-orang untuk memercayai Marxisme.”
Sebagai bagian dari pelaksanaan Konstitusi, dibawah pemimpin yang paling terkini, organisasi-organisasi keagamaan di Tiongkok lebih diberi otonomi. Pemerintah menghormati kebebasan beragama sebagai prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk melaksanakan ajaran agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum.
Berdasarkan prinsip tersebut, Pemerintah Tiongkok secara resmi dan secara institusional mengakui lima doktrin agama: Buddha, Tao, Islam, Protestan, dan Katolik. Secara demografis diperkirakan sekitar 73% penduduk Tiongkok mempraktikan beberapa jenis agama asli Tionghoa dan Tao, 15% adalah Buddha, 11% adalah Kristen, dan 1% adalah Islam.
Selanjutnya, meskipun kebebasan beragama di Tiongkok dijamin Konstitusi, namun terdapat kata-kata kunci yang harus dipatuhi yaitu “aktivitas keagamaan yang normal”. Sepanjang dalam koridor “normal”, negara menjamin kebebasan warga negara Tiongkok untuk menganut agama apapun atau tidak menganut agama apapun. Pemerintah Tiongkok juga menjamin tak ada (si)apapun yang boleh memaksa warga negara Tiongkok untuk keluar dari atau masuk ke agama manapun.
Kegiatan keagamaan dalam koridor “normal” bisa diartikan sebagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh badan-badan keagamaan yang memiliki persetujuan resmi pemerintah yaitu Buddha, Tao, Islam, Protestan dan Katolik.
Adapun agama-agama lain seperti Falun Gong atau saksi-saksi Yehuwa tidak dilindungi oleh konstitusi karena tidak diizinkan secara hukum. Demikian pula halnya dengan kelompok agama yang tidak terdaftar oleh pemerintah, seperti Katolik Roma yang merupakan bagian dari gereja bawah tanah atau gereja rumah Protestan, tidak dilindungi oleh konstitusi.
Selanjutnya dalam memahami phrase “larangan agama merintangi sistem pendidikan negara” kiranya dapat ditafsirkan sebagai larangan untuk mengajarkan agama kepada peserta didik. Artinya adalah bahwa pengajaran agama atau dakwah tidak diperbolehkan untuk mempengaruhi seseorang mengikuti agama tertentu karena dianggap sebagai bentuk menghambat kegiatan pendidikan negara.
Hal lain yang kiranya menjadi catatan dalam memandang kebebasan beragama di Tiongkok adalah pengecualian terhadap anggota Partai Komunis Tiongkok (PKT). Meski secara eksplisit Konstitusi Tiongkok mengijinkan kebebasan beragama, namun bagi anggota Anggota PKT dilarang untuk memeluk agama apapun. Jika ketahuan memeluk agama, maka dia akan dihukum.
Mengutip pernyataan Wang Zuoan, Direktur Administrasi Negara untuk Urusan Agama "Anggota partai harus bersikap tegas terhadap atheis Marxis, mematuhi peraturan Partai dan berpegang pada iman Partai ... mereka tidak diizinkan untuk mencari nilai dan kepercayaan terhadap agama." (Indian Times pada 20 Juli 2017).
Pernyataan Wang tersebut diperkuat oleh pejabat pemerintah lainnya yang mengatakan bahwa persatuan dan nilai-nilai partai berdasarkan materialisme dialektika partai bisa rusak saat pejabatnya memiliki keyakinan agama.
Dari pernyataan Wang kita mengetahui bahwa PKT pada dasarnya menjunjung toleransi terhadap agama namun melarang hampir 90 juta anggota partainya untuk memeluk agama karena khawatir agama dapat digunakan kekuatan asing untuk menyusup ke Tiongkok dan menjadi ancaman bagi keamanan negara.
Kembali kepada kebebasan beragama di Tiongkok seperti yang diamanahkan Konstitusi, Pemerintah Tiongkok memberikan perhatian terhadap tempat-tempat ibadah seperti masjid. Statistik menunjukkan bahwa saat ini terdapat sekitar 35.000 masjid di seluruh Tiongkok dibandingkan 33.500 kuil (The New York Times, A Crackdown on Islam Is Spreading Across China, 21 September 2019).
Bukan hanya memberikan perhatian pada rumah ibadah, Pemerintah Tiongkok juga memberikan libur saat Idul Fitri dan Idul Adha, memberikan kebebasan pajak hewan yang disembelih untuk perayaan kedua kegiatan keagamaan tersebut, termasuk memberikan kebebasan pajak bagi tanah yang digunakan untuk membangun masjid.
Sementara itu, untuk tempat-tempat dimana terdapat pemukiman warga muslim, diterapkan sistim otonomi regional pada semua tingkat seperti yang dilakukan di Xinjiang Uyghur Autonomous Region (1955) dan Ningxia Hui Autonomous Region (1958).
Semua fakta tersebut di atas memperlihatkan bahwa Islam diterima di Tiongkok dan diberlakukan dengan baik oleh Pemerintah. Bukti bahwa Pemerintah Tiongkok tidak alergi terhadap agama dan tidak memaksa warga negaranya menganut ateisme.
Pemerintah Tiongkok percaya diri bahwa jumlah warga negara yang menganut agama tertentu tidak akan semakin banyak jumlahnya. Pengalaman di banyak negara yang pemerintahannya didasarkan pada agama tertentu malah berantakan dan kerap terjadi perang saudara.
Sementara Tiongkok yang “kafir” justru maju pesat dan kini menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pemerintah Tiongkok tidak khawatir soal ancaman agama karena merujuk pepatah Tiongkok, “qian ke tong shen”: jika kau punya uang, dewa pun bisa kau ajak bincang-bincang.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.