Antara Aku, Ibuk, dan Kembang Melati

Kisah ini dimulai saat Bapak memasuki usia pensiun dulu, Bapak dan Ibuk memilih tinggal di rumah yang memang sudah disiapkan untuk menghabiskan hari tua, di kabupaten. Sementara, kami anak-anaknya, tetap menempati rumah tempat kami semua dibesarkan, untuk melanjutkan pendidikan.
Ketika rumah kabupaten itu dibangun, aku minta khusus kepada Ibuk untuk dibolehkan menanam melati di antara bunga kesukaannya. Ibuk bukan penggemar berat melati, aku yang menyukainya. Melati itu ditanam di tengah taman halaman depan, di pinggir teras tepat di bawah jendela kamar depan, dan di halaman belakang, dekat tembok yang berbatasan dengan kantor pos di sebelah kiri rumah.
Senin sampai Sabtu, Ibuk yang merawat melatiku. Sabtu sore kami ramai-ramai pulang ke rumah kabupaten, layaknya anak kos yang pulang kampung. Minggu atau saat libur saja, aku bisa ikut menyiram dan merawat semua bunga yang ditanam di halaman, termasuk si melati.
Saat yang paling menyenangkan bagi orang yang menanam bunga, adalah saat kuncupnya mulai berkembang. Tanaman Ibuk banyak jenis dan jumlahnya, jadi ketika berbunga, warna-warninya terlihat sekali dan beberapa di antaranya seperti kenanga, melati, cempaka, dan sedap malam, menebarkan harumnya.
Selama lima tahun Ibuk dan Bapak tinggal di situ, entah sudah berapa kali melatiku berbunga. Setiap kali berbunga, Ibu akan memetik kuntum-kuntum itu dan meletakkannya di satu wadah. Saat pulang di akhir pekan, melati itu biasanya kubawa sebagian ke dalam kamar, sebagai pengharum ruangan saja.
Suatu hari menjelang Idul Adha Ibuk sakit, buang-buang air dan lemas, suhu badannya agak naik. Kali ini keluhannya adalah masalah pencernaan, bukan asmanya. Dokter puskesmas kesayangan Ibuk juga sudah datang memeriksa lalu memberi obat. Terakhir kali sakit, beberapa bulan sebelumnya, Ibuk memang sempat dirawat di RS. Kali ini Ibuk pilih di rumah saja, karena tidak seberat saat itu, menurutnya. Ibuk juga memiliki riwayat asma yang berat, tetapi sesakit apa pun Ibuk tak pernah mengeluh. Kadang malah tetap berusaha menjalankan tugasnya sehari-hari di rumah.
Malam itu, aku dan salah satu Mas bergantian menjaga Ibuk. Sebelum tidur, Ibuk sempat bertanya, “Jadinya, mau pilih kuliah di mana?”
Aku cuma terdiam, tak sampai hati lagi menyampaikan keinginan memilih tempat kuliah yang jauh.
"Ora usah adoh-adoh, yo, neng Bandung wae. Ngancani Mbakyumu, mbantu momong adik,” Ibuk memandang ke arahku.
Aku tertunduk makin dalam, tak sanggup menatap wajah Ibuk, makin tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Keinginan menggebu-gebu terbang jauh melanglang buana itu seperti mulai goyah mendengar ucapan Ibuk.
"Yo wis, sana bobok, kamu pasti capek dari tadi bersihin badan Ibuk sama baju-baju yang kena kotoran," Ibuk memegang tanganku, sementara leherku masih terasa tercekat.
Entah sudah berapa lama berusaha, ternyata aku sulit memejamkan mata. Sambil tiduran miring, kupandangi Ibuk yang terbaring di ranjang per tua dari zaman Belanda, yang kami dapat dari Mbah Uwek, orang tua Ibuk. Sore tadi, Ibuk terpaksa kami pindah ke kamar ini, karena kamarnya kami bersihkan.
Lamat-lamat aku mencium wangi yang masuk ke kamar. Tiba-tiba Ibuk terbangun, aku ikut bangun dan langsung duduk. Ternyata Ibuk haus, minta minum.
"Buk, memang melatinya berbunga?" tanyaku setelah meletakkan gelas ke meja.
Ibuk menggeleng lemah, “Koyone ora. Lha, ngopo?”
"Nggak, perasaan tadi nyium bau melati," jawabku singkat.
"Mungkin bau melati yang waktu itu Ibuk panen, sebelum Kamu pulang ke sini." Ibuk kembali berbaring dan memejamkan mata.
Aku beranjak membuka tirai jendela, melihat pohon melati di bawah jendela kamar. Bersih, bahkan kuncup pun tak ada. Pandanganku beralih ke rimbunan perdu di halaman depan. Agak gelap, karena memang sudah hampir jam 10 malam. Perlahan kubuka pintu kamar dan melangkah ke ruang keluarga.
Bapak dan Mas nomor 3, yang bergantian jaga denganku, masih tiduran sambil menonton siaran TV. Bau melati makin wangi, bergegas aku mengalihkan langkah ke arah pintu belakang dan menuju sumur yang bagian atasnya ditutup dan dijadikan semacam meja serbaguna. Biasanya kalau Ibuk panen melati, wadah berisi melati itu diletakkan atas sumur. Kucari melati di situ dan di dapur, tetap saja tak ada. Melihat ke pohon yang di dekat tembok samping juga gelap, tak terlihat ada yang mekar. Akhirnya aku masuk lagi sambil mengunci pintu belakang.
"Nggoleki opo?" Bapak bangkit dari tidurannya.
"Memang melatinya ada yang mekar, Pak?" tanyaku.
"Opo, iyo? Bapak malah nggak tahu," jawab Bapak.
"Kok, aku dari tadi nyium bau melati terus. Bapak sama Mas nyium, nggak?" aku masih penasaran.
Mas yang sejak kecil jadi anak pramuka mulai mengeluarkan jurusnya, langsung mengendus-enduskan hidung, "Hmm, iyo sih. Kaya ada wangi-wangi."
"Coba besok dilihat yang di halaman depan, kembang opo ora?" Bapak beranjak pindah duduk di kursi makan, sambil minum teh tubruknya.
"Ibuk, bobok?" Mas nomer 3 ini akhirnya ikutan duduk sambil ngemil pisang rebus di meja.
"Tadi sempet bangun, minum, terus bobok lagi," jawabku sambil bertukar tempat, langsung rebahan di depan televisi. Mas nomor 3 beranjak masuk ke kamar, dan menemani Ibuk di sana. Tak lama, Mas nomor 1 keluar dari kamar tengah, setelah menemani anak-anaknya tidur. Mbakyu ipar tak terlihat lagi, mungkin sudah kelelahan, ikut tidur bersama anak-anaknya.
Malam itu kami sempat bergantian menemani Ibuk. Lewat tengah malam, Ibuk sempat terbangun sebentar dan bertanya, "Tadi siapa yang datang?" Aku menjawab tak ada siapa-siapa. Ibuk menatap lama ke pintu kamar dalam diam, lalu kembali memejamkan mata.
Tak pernah menyangka percakapan semalam itu menjadi percakapan terakhir antara Ibuk dan diriku. Meski kali ini kondisi Ibuk justru terlihat lebih ringan dari sakit setelah Idul Fitri dan Ibuk menolak untuk dirawat, namun Allah berkehendak lain. Esok paginya menjelang pukul 6 pagi, tepat sehari setelah Idul Adha tahun 1992, Ibuk berpulang. Prosesnya tak lama dan mudah, aku ikut menemani di saat-saat terakhirnya sampai Ibuk benar-benar pergi.
Sepekan setelah kepergian Ibuk, rumah di kabupaten itu mulai dibereskan. Tenda dibongkar, kursi plastik mulai diangkut, sanak saudara mulai kembali ke rumah masing-masing, rumah mulai sepi. Halaman mulai disapu dan semua tanaman di halaman depan jadi terlihat lagi. Sesaat aku langsung teringat dengan pohon melati di tengah taman. Kuhampiri dan perhatikan, tak ada bunga di atasnya, hanya hijau daun yang subur memenuhi seluruh cabangnya. Pun dengan pohon di halaman belakang, semuanya hijau tanpa ada putih bunganya.
Tak ada yang merasakan bau melati sewangi itu, di malam sebelum kepergian Ibuk, selain aku sendiri. Sampai hari ini aku sendiri tidak pernah tahu apakah memang bau melati itu ada atau hanya perasaanku saja. Yang pasti, setiap kali melihat melati yang bermekaran dan mewangi, kangenku pada Ibuk terobati.
Seperti pagi ini, melati yang kutanam sendiri, bermekaran di halaman. Tak sebanyak melati yang dulu Ibuk tanam untukku di kampung halaman, namun wanginya cukup mengharumkan teras dan ruang tamu rumahku yang mungil. Sambil menyiraminya, kunikmati hangat cahaya matahari, bersama kenangan tentang perempuan sederhana penuh cinta yang telah pergi sekian lama namun masih terasa menemani hingga saat ini, bersama harum melati.
Catatan:
1. Ora usah adoh-adoh, yo, neng Bandung wae: jangan jauh-jauh, ya, ke Bandung aja.
2. Ngancani Mbakyumu, mbantu momong adik: Menemani Mbakyumu, bantu ngasuh adik (panggilan untuk ponakan yang masih bayi).
3. Koyone ora. Lha, ngopo?: Kayanya nggak. Lha, ada apa?
4. Nggoleki opo?: mencari apa?
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.