Ajarlah Aku Mengerti

Merawat keluarga harmonis dengan saling membelajarkan diri untuk saling mengerti, memahami, dan memiliki kecerdasan sosial menuju masyarakat madani.

Ajarlah Aku Mengerti

            Dua tahun sudah lamanya gerak manusia serba terbatas. Pembatasan ruang gerak atau aktivitas manusia ini ‘terpaksa’ dijalani gara-gara pandemi covid-19. Bagi keluarga yang memiliki rumah besar tentu tak seberapa masalah, akan tetapi bagi mereka yang kurang beruntung dengan ruang gerak sempit di rumah yang kecil tentu beda situasinya. Berdesakan tidak hanya waktu mereka tidur melainkan dalam aktivitas sehari-hari seperti di ruang kerja orangtua karena WFH (Work From Home), ruang belajar anak karena SFH (School From Home), belum lagi jika ada 2 atau 3 anak yang masih duduk di bangku SD atau SMP.

            Bisa dibayangkan suasana gerak yang sumpek, sesak dan mungkin juga berisik tentu tak terhindarkan lagi. Sirkulasi udara, tiupan angin segar dan sinar matahari tidaklah menjadi bagian dalam hidup mereka sehari-hari. Mau diatur bagaimanapun modelnya agaknya sulit untuk tempat yang sempit, ketemu dan ketemu lagi (apalagi kalau ada hal-hal yang kurang menyenangkan) membuat psikologis keluarga menjadi terganggu. Bagaimana hendak menghadirkan kenyamanan, bisa bernaung di bawah atap yang sama untuk menghindari hujan dan teriknya sengatan matahari saja sudah untung. Sampai kapan situasi pelik ini berakhir, tak seorang pun yang tahu, yang jelas himbauan untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah apabila tidak amat sangat penting atau mendesak masih terus dikumandangkan.

            Berarti mau tak mau dan suka tak suka warga harus patuh. Bisa pembaca bayangkan kalau di antara mereka ada salah satunya yang terpapar virus covid-19, kemana ia harus menjalani isoman (isolasi mandiri). Tragis dan miris penulis membayangkan, sambil terus memanjatkan doa dan menjaga diri baik-baik kiranya Tuhan berbelas kasihan untuk terus memberikan kesehatan dan rejeki yang cukup kepada seluruh rakyat Indonesia. Hanya rasa syukurlah yang membuat hati ini damai,  saling menaruh pengertian satu sama lain agar tidak menambah beratnya beban hidup. Bahkan menurut hemat penulis, tidak cukup hanya saling mengerti namun, saling memahami dan bersinergi dalam satu keluarga.

Mengacu Pada Teori B. Bloom

            Siapa beliau, nama lengkapnya adalah Benjamin Samuel Bloom, seorang psikolog pendidikan dari Amerika Serikat. Ia sangat terkenal dengan teorinya Taksonomi Bloom, bahwa ada 6 tingkatan Piramida Bloom’s Taxonomy. Tentu saja di sini tidak semuanya penulis membahasnya. Ada tingkatan/jenjang (hirarkikal) untuk seseorang bisa mencapai tingkat paham, yakni harus didahului dengan mengenal dan mengingat untuk mengerti barulah seseorang itu paham (understanding).

            Saling memahami saja belum cukup untuk mengatasi masalah di atas. Masing-masing individu hendaknya bertindak pro-aktif demi keselamatan seluruh keluarga, seperti: menaruh kepedulian satu sama lain, menerapkan protokol kesehatan secara ketat walau berada di rumah, menjaga kesehatan dengan cara apapun, misalnya rajin olah raga, asupan makanan sehat ditambah dengan vitamin-vitamin yang diperlukan untuk menjaga stamina tubuh, cukup waktu istirahat, dan sebagainya. Saling menjaga, ‘aku menjaga kamu dan kamu menjaga aku’. Pendeknya bertindaklah sebaik mungkin, perlakukan keluarga Anda dengan saling peduli dan melayani, tanamkan rasa kasih sayang satu sama lain, niscaya tidak menambah rasa ‘sumpek’ di hati.

            Kini kesehatan adalah hal yang diutamakan, sebab kalau ada salah seorang anggota keluarga yang mengalami sakit, tentu seluruh keluarga menjadi repot, bingung dan pasti sedih. Oleh karena itu, marilah kita jaga kesehatan, kebersihan masing-masing sehingga dapat beraktivitas sehari-hari dengan baik. Pandemi covid-19 telah mengajarkan kita untuk berperilaku tertib dan saling menjaga diri; bukan untuk saling curiga melainkan menumbuhkembangkan kebiasaan berperilaku baik dengan cara mendidik yang dimulai dari antar anggota keluarga se rumah.

            Kalau dulunya satu sama lain sukanya saling menyalahkan, contoh: suami dengan mudah mengomel kepada isterinya ketika rumah nampak berantakan, kini menjadi tidak lagi karena menyaksikan sendiri kesibukan sehari-hari si isteri dalam mengelola rumah tangga. Atau sebaliknya, isteri yang tidak paham bahwa pekerjaan kantor yang dibawa pulang ke rumah gara-gara WFH juga numpuk dan semua harus dikerjakan dengan menggunakan teknologi. Kecanggihan teknologi memang kita akui sangat bermanfaat, akan tetapi bagi mereka yang belum paham segala seluk beluk penggunaannya tentu akan mengalami kesulitan ketika mengoperasikannya.

            ‘Berjuta’ kendala yang harus diatasi dan dicari atau ditemukan solusinya, jadi hadirkanlah rasa damai di tengah keluarga agar pikiran dan suasana hati yang sejuk ada di tengah-tengah keluarga. Ayah, ibu dan anak hendaknya saling membelajarkan diri untuk menggapai keluarga harmonis. Suatu bentuk keluarga yang menjadi dambaan bagi setiap orang. Adapun yang menjadi pertanyaan, adalah bagaimana caranya agar keluarga tetap harmonis? Berikut penulis mencoba menuliskannya secara sederhana, antara lain: (1) Ciptakan saling pengertian jika terjadi perbedaan pendapat; (2) Tumbuhkan rasa saling pengertian dan percaya satu sama lain; (3) Komunikasikan keinginan/kemauan masing-masing individu; (4) Kendalikan ego dan bertindaklah aktif untuk mengambil inisiatif dalam hal-hal baik; (5) Sediakan atau luangkan waktu bersama keluarga dan biasakan memberikan pujan; (6) Tidak membanding-bandingkan antara satu sama lain di tengah keluarga; dan (7) Siap untuk bermusyawarah.

            Ajarlah aku mengerti atau lebih tepatnya memahami, karena aku sadar bahwa kita sedang berada di tengah segala keterbatasan. Hendaknya keluarga dapat memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan keterampilan berinteraksi sedini mungkin kepada anak. Membahas tentang keluarga tentu tidak cukup pena ini untuk menuliskannya, karena berawal dari keluarga inilah pendidikan itu dimulai dan dari kumpulan keluarga itu terbentuklah masyarakat.  Hidup di masyarakat inilah masing-masing kita harus memiliki kecerdasan sosial, saling menjaga, saling menghargai, menaruh rasa empati dan simpati menuju masyarakat madani.

 

Jakarta, 8 Maret 2022

Salam penulis: E. Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia – [email protected]

             

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.