YANG TAK TERLIHAT

YANG TAK TERLIHAT
sumber gambar : shutterstock.com

Aku selalu menantimu di bangku panjang itu. Ya, hanya duduk menantimu disitu sambil memberi makan burung gereja, burung dara, ayam, bahkan kucing liar yang lewat di depanku.

Menunggu di bangku itu, hingga saatnya kau datang dan duduk menemaniku, bercerita bagaimana hari berlalu, bercerita tentang waktu yang selalu mengejarmu.

Entah perasaanku saja atau memang demikian, tiap hari bangku itu seperti bertambah panjang satu milimeter. Awalnya kita yang duduk berdampingan, merapatkan diri saat angin dingin berhembus, lama kelamaan semakin berjarak. Bangku ini yang awalnya cuma kita berdua, kini telah menjadi favorit bagi semua usia. Ada seorang tunawisma yang selalu datang tidur, disusul sepasang pemain catur. Seorang penjual balon menambah meriah bangku itu, ibu-ibu yang memberi makan anaknya, kucing liar yang mengasah kukunya, seorang pengamat burung, intel yang sedang mengintai, dan banyak lagi orang yang duduk di antara kita.

Bangku ini terus memanjang, dan setelah dua puluh tahun kau telah berjarak sepanjang lapangan bola. Kita memang masih mempunyai tempat di sana, sebagai penghormatan bahwa kita lah yang pertama kali duduk berlama-lama di bangku itu, bercerita bagaimana hari berlalu, bercerita tentang waktu yang selalu mengejarmu.

Di bangku itu, awalnya kita mengobrol dengan seru, kadang saling berbisik, kadang hanya ingin saling meniup telinga. Kemudian kau mulai mengambil jarak, tapi tetap datang untuk bercerita. Mungkin memang hanya itu inginmu, dan aku tak berani beringsut menyatakan inginku. Mungkin ingin itu tetap, tapi banyak hal yang memaksa kita berjarak. Sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang kau sebut perasaan. Lalu mulai datang orang ketiga, si tunawisma yang begitu saja merebahkan diri di antara kita. Terlelap di bangku yang nyaman itu saking lelahnya. Tak ada yang salah, toh kita sendiri yang menciptakan jarak.

Begitu pun kita masih bercakap di bangku itu. Tapi kali ini tak bisa lagi saling berbisik, hanya berbicara sewajarnya. Ya, sewajarnya orang bercerita, tak ada lagi rahasia karena hadir orang ketiga. Dan bangku itu memang memanjang, makin lebar jarak di antara kita, makin banyak orang ke empat, ke lima, dan seterusnya.

Awalnya kita bisa bercakap dari hati ke hati, kemudian hanya bisa bertukar surat singkat melalui seorang anak pemain skateboard yang mondar-mandir di depan kita. Anak itu sampai bisa membeli sepeda dari upah untuk menyampaikan pesan kita.

Bangku itu terus bertambah panjang. Kita terus datang untuk bercerita. Pengunjung makin ramai duduk diatasnya. Pemda mulai menarik pajak duduk. Pengusaha hiburan mulai memasang layar tancap di depan memutar rangkaian film Warkop DKI dan berbagai petualangan Oma Irama.

Dan kita tetap datang untuk bercerita. Tetap karena ingin. Tapi tak bisa beranjak karena perasaan.

Dan dua puluh tahun telah berlalu, kita duduk di bangku itu, bercerita bagaimana hari berlalu, bercerita tentang waktu yang selalu mengejarmu. Kali ini menggunakan aplikasi yang tertanam di telepon genggam kita. Dulu kita masih tersenyum dan merengut, saling memandang ekspresi wajah kita. Kini kita tak bisa lagi saling memandang wajah, hanya mengirim rangkaian emoticon atau sticker untuk menyampaikan perasaan.

Sampai sekarang bangku itu terus memanjang, ingin itu masih tetap ada, hanya telah hadir banyak orang diantaranya. Orang-orang yang mungkin juga tidak peduli dengan perasaan kita, dan perasaan-perasaan yang membuat kita harus berjarak.

“Lalu kenapa sang gadis tidak menghampiri saja dan mengajaknya pergi, daripada berlama-lama duduk di bangku bodoh yang terus memanjang itu ?”

Sang pendongeng menutup buku tentang hikayat bangku terpanjang.

“Nak, jika nanti kau sudah besar, kau akan tahu berbagai hal yang tak kelihatan, bisa membatasi ruang gerak kita. Dan ingat, penulis cerita ini percaya bahwa bumi itu datar hingga bangku ini bisa terus memanjang hingga ujung dunia.”

“Memangnya bumi itu datar ?”

Si pendongeng hanya tersenyum.

“Itu akan kuceritakan pada kesempatan lain.”

Anak itu kegirangan, berlari keluar sambil menyambar jaket dan syalnya. Salju turun tipis-tipis. Sang pendongeng merapikan buku-buku kemudian mengunci pintu. Berjalan keluar dimana seorang gadis telah menunggu, untuk mendengar cerita tentang bagaimana hari berlalu, bagaimana waktu terus mengejarnya, hingga sampai di ujung persimpangan dan mereka harus berpisah.

Dan itu telah berjalan selama dua puluh tahun.

 

Merak – Bakauheni, 19 Mei 2021

Bandar Lampung, 22 Mei 2021

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.