Online Shop, Kurir, dan Culture Lag
Jangan cuma bisa belanja doang, tapi cari tau prosedur dan ketentuannya.

Online Shop dan Culture Lag
Tempo hari, terjadi lagi konflik antara kurir dengan konsumen online shop. Kali ini si kurir bukan ditodong dengan pistol, melainkan mendapat hardikkan bernada “blok, goblok, goblok”, bahkan tidak terhitung berapa kali si emak-emak dalam video tersebut menyebut kata “goblok”. Jika dilihat dari video tersebut nampaknya permasalahannya adalah permasalahan yang sering terjadi, barang yang datang tidak sesuai dengan yang dipesan oleh konsumen.
Sebenarnya banyak kejadian seperti dua kasus tersebut namun kasus yang lainnya tidak ditakdirkan untuk viral. Yang jadi permasalahan dalam kasus pertama (bapak-bapak nodong pistol) dan kasus yang kedua (emak-emak teriak goblok) adalah konsumen membuka barang yang masih dikemas sebelum membayar barang tersebut, karena si konsumen membeli barang tersebut dengan metode pembayaran Cash On Delivery (COD). Tujuan si konsumen membuka barang terlebih dahulu biasanya untuk mengecek apakah barang itu sesuai dengan pesanannya atau tidak. Nah, yang akan menjadi masalah yaitu ketika pesanannya tidak sesuai.
Padahal, Standar Operasional Prosedur (SOP) transaksi COD tidak seperti itu. Seharusnya ketika barang datang, konsumen terlebih dahulu membayar kepada kurir, lalu konsumen berhak untuk membuka barang itu. Persoalan barangnya sesuai atau tidak itu bukan urusan kurir, karena dalam transaksi tersebut kurir berperan hanya sebagai pihak ketiga atau perantara. Namun sayangnya masih banyak konsumen online shop yang belum mengerti prosedur transaksi COD. Banyak kejadian di mana konsumen ingin terlebih dahulu membuka barang sebelum membayar, hal itu semata-mata untuk mengecek barangnya sesuai atau tidak.
Di paragraf kedua dalam tulisan ini saya mengatakan bahwa masih banyak kejadian seperti dua kasus yang viral ini karena saya sering mendengar cerita teman dekat saya yang berprofesi sebagai kurir. Ironis namun ada lucunya juga ketika mendengar semua cerita yang dia alami, mulai dari konsumen yang menjengkelkan, konsumen yang bersembunyi karena tidak mau menerima barang (entah apa alasannya), dan konsumen yang bertingkah seperti dua kasus tersebut. Setelah tahu seluk beluk profesi kurir dari dia, sejak saat itu juga saya selalu rispek kepada abang-abang kurir.
Semenjak sering mendengar cerita teman saya, di dalam pikiran saya terbesit sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Masalah yang memang lumrah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Fenomena ini disebut dengan istilah culture lag, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa mengandung arti kesenjangan budaya, kemacetan budaya, ketimpangan budaya, dan ketertinggalan budaya, namun saya lebih suka mengartikan sebagai kemacetan budaya.
Dari sekian banyak definisi tentang culture lag, menurut saya definisi yang mudah dimengerti yaitu “culture lag adalah kondisi yang terjadi di mana unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang bersamaan dan menyeluruh, salah satu kebudayaan berkembang, namun kebudayaan lainnya tertinggal”. Ada juga definisi yang menjelaskan culture lag sebagai ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan akibat terjadinya perubahan serta pergeseran kebudayaan. Culture lag muncul ketika adanya perbedaan taraf kemajuan antara berbagai daerah dalam suatu kebudayaan.
Masyarakat yang mengalami culture lag membutuhkan waktu yang lama untuk mengejar ketertinggalan teknologi karena perubahan masyarakat tersebut lag (lamban). Hal ini disebabkan oleh ketertinggalan dalam penggunaan teknologi yang menyebabkan masyarakat tertentu sulit beradaptasi.
Contoh konkretnya adalah dua kasus viral tersebut. Di mana suatu masyarakat sudah mengetahui ada teknologi yang dapat menunjang belanja online dan dapat melakukan kegiatan tersebut, namun masyarakat itu tidak mengetahui prosedur dan ketentuan transaksi dalam kegiatan belanja online, dan hal tersebut menimbulkan permasalahan sosial. Ini artinya informasi atau pengetahuan yang diterima oleh masyarakat tersebut tidak menyeluruh. Hal ini membuat perubahan budaya dalam masyarakat menjadi lamban.
Culture lag tidak mengenal daerah
Karena teman saya bertugas mengirim paket di daerah gunung (jauh dari perkotaan) di daerah Kabupaten Bogor, saya pikir fenomena culture lag yang dihadapi oleh teman saya itu wajar, karena dia berinteraksi dengan masyarakat deerah gunung yang saya kira (maaf) masih lamban perkembangan dalam teknologinya. Namun, perkiraan saya itu langsung dapat dipatahkan dengan melihat banyaknya paket yang harus dikirim setiap harinya ke daerah tersebut. Saya lupa berapa jumlah paket yang dia kirim setiap harinya, tapi menurut saya itu banyak sekali. Dengan banyaknya paket yang harus dikirim ke daerah tersebut menandakan tingginya tingkat konsumtifitas masyarakat daerah tersebut dalam belanja online. Dengan fakta tersebut berarti masyarakat di daerah teman saya bertugas itu sudah mulai melek teknologi.
Culture lag tidak mengenal daerah ataupun wilayah. Fenomena ini bisa dialami oleh semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Masyarakat di daerah perkotaan belum tentu tidak akan mengalami culture lag dan masyarakat di desa tidak selalu mengalami culture lag. Ada pun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya culture lag di antaranya yaitu; kurangnya kemampuan daya berpikir diri dengan perkembangan sosial, hambatan-hambatan terhadap perkembangan umum, heterogenitas masyarakat, adanya kesiapan beberapa golongan menerima perubahan tetapi golongan lain belum siap, kurangnya kontak dengan material masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, dan kurang mendapatkan informasi yang menyeluruh.
Suka duka seorang kurir
Teman saya menjalani profesi sebagai kurir (kalo tidak salah) sejak tahun 2019, artinya sudah selama kurang lebih dua tahun saya mendengarkan keluh kesah dia (walaupun tidak sering). Tidak semuanya dia ceritakan kepada saya, tetapi saya mengetahui cerita-cerita dia melalui status WhatsApp-nya. Sesekali dia memperlihatkan screenshoot chat dengan konsumen yang menimbulkan tawa, tak jarang juga dia membuat status untuk meluapkan kejengkelannya terhadap konsumen.
Jika sedang beruntung, dia sesekali mendapatkan uang tip dari konsumen, biasanya konsumen yang seperti ini adalah horang-horang kayah. Ketika bulan ramadhan kemarin pun dia selalu ditawari untuk buka puasa oleh konsumen, walaupun ada yang hanya basa-basi dan ada yang memang benar-benar mau memberi.
Dukanya yaitu ketika dia harus menghadapi konsumen yang bertingkah menjengkelkan seperti video viral emak-emak teriak goblok. Di saat seperti itulah momen diujinya kesabaran seorang kurir. Jika sudah berada dalam situasi tersebut serba salah memang, mau membentak balik tetapi reputasi perusahaan yang menjadi taruhan. Cara terbaik menghadapainya adalah melakukan pendekatan persuasif dan memberi pemahaman tentang prosedur yang sebenarnya.
Pesan untuk konsumen online shop
Tolong hargai abang-abang kurir yang mengantarkan barang anda. Jika ada kesalahan dalam bentuk apapun, toh dapat dibicarakan dengan baik, tidak perlu pakai emosi. Kurir hanya sebagai perantara antara anda dengan penjual, jika ada kesalahan dalam produknya silakan hubungi penjual, bukan menyalahkan kurir dan menggampangkan kurir.
Jangan cuma bisa belanja doang, tapi cari tau prosedur dan ketentuannya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.