Nyepi Kali Ini

NYEPI KALI INI
Sebelum kata lockdown familiar di telinga dan kita merasakan bagaimana kondisi saat mengisolasi diri sendiri, saya sudah mengenal situasi dan kondisi yang sama seperti saat ini.
Saya terlahir dari keluarga muslim. Jangan meragukan kemusliman saya, sebab dari darah Bapak dan Ibu saya adalah muslim yang taat. Saya lahir dan tumbuh besar di pulau Lombok, terbiasa hidup dan bersosialisasi dengan berbagai macam suku dan agama. Lombok jaman saya kecil adalah Lombok yang multikultur.
Ini kisah masa kecil saya.
Haaaii, pasukan BTN KEKALIK, ijinkan Icil berbagi kisah kita. Sekitar tahun 1983 orang tua saya sudah tinggal di lingkungan perumahan yang saat itu baru ada segelintir kompleks di kota Mataram.
Dan kisaran 1987 adalah masa kejayaan kami generasi bocah saat itu. Bahkan saat itu kami hanya bertetangga beberapa kepala keluarga. Kebetulan di perumahan itu orang tua saya tinggal dengan banyak teman sekantornya dari perusahaan yang sama. Kebayang 'kan, bagaimana hebohnya? Saya tidak akan bercerita kehebohan itu, tetapi saya akan bercerita tentang kepingan lain. Tentang keberagaman kami yang menjadi dasar hidup saya hingga dewasa.
Saya terbiasa mendengarkan lagu haleluya dari rumah tetangga Nasrani kami yang tepat berada di sebelah rumah, terlebih saat minggu pagi akan banyak sekali anak-anak datang dengan pakaian yang sangat indah karena mereka sekolah Minggu. Ada kekaguman di benak saya, kapan saya bisa berpakaian indah seperti mereka? Dan yang paling membahagiakan adalah saat tetangga Nasrani kami datang membawa sepiring kue yang sama yang mereka hidangkan saat sekolah Minggu di rumahnya.
Kebayang 'kan, bagaimana saya berebut kue enak itu bersama saudara di rumah? Dan setiap Minggu kami akan menantikan momen rebutan kue ini.
Cerita untuk teman Hindu tak kalah seru. Saat hari raya Nyepi tiba, beberapa tetangga akan mematikan lampu, berdiam diri di dalam rumah dalam gelap, dan tidak menjalankan aktivitas seperti biasanya. Dan ini sangat menyenangkan, tak ada ingar-bingar bahkan televisipun tidak kami nyalakan. Malam gelap kami nikmati dengan sunyi, cuma ada beberapa warga yang bertugas ronda menjaga keamanan kompleks dan itu biasanya adalah para Bapak yang beragama selain Hindu, termasuk Bapak saya akan bertugas dalam hening.
Sehari semalam kami berada dalam kesunyian, seolah semua beristirahat dalam dalam damai. Alam bersinergi tanpa ada campur tangan manusia, di mana semua berjalan sendiri, terpisah namun damai.
Perenungan ini saya dapatkan saat saya sudah dewasa, dulu yang saya tahu adalah kami ikut merayakan Nyepi karena kami harus menghormati teman Hindu seperti mereka yang ikut menghormati kami saat tiba bulan Ramadhan. Tak ada acara makan es mambo di jalan, tak ada makan tebu siang hari di luar rumah, tak ada ritual memetik jambu atau mangga siang hari karena merekapun harus ikut puasa bila keluar rumah.
Setelah semalaman berdiam diri dalam gelap, sepi dan sunyi. Mengistirahatkan raga dan pikiran dari soal duniawi, tanpa juga menggangu alam dengan segala aktivitas seperti berkendaraan, menyalakan api, bekerja dan juga keluar rumah. Tiba saatnya teman Hindu kami membuka pintu rumah dengan senyum dan segala hidangan khas hari raya Nyepi ada dodol yang dibungkus daun klobot, ada kue kaliadem—yang sampai saat ini masih saya ingat buatan Tante Ketut adalah yang terenak, ada tape ketan dan jaje tujak, ada tempani kacang hijau—ini pun buatan Tante Ketut yang paling empuk, ada kue sarang semut dan permen yang selalu menjadi incara saya bila berkunjung ke rumah tante Made. Ada sapa hangat dari kami saat berkunjung dan mengucapkan, "selamat Nyepi, ya" dan ritual cium tangan untuk para Tante dan Om.
Sederhana dan indah, semua terekam dalam ingatan saya hingga membekas di hati.
Saya tumbuh menjadi perempuan yang marah dengan apapun yang berbau rasis, bahkan saat saya menjadi seorang ibu dengan dua anak gadis. Akan ada teriakan bila anak saya terlambat sholat, terlambat mandi, tak membaca doa sebelum makan, bahkan saya selalu cerewet bertanya sudah membaca doa bila akan tidur. Dan jangan heran, saya tak segan akan marah bila mereka berbicara dengan nada rasis kepada teman yang beragama lain.
Duo kriwil terbiasa mendengar sapa hangat saya kepada sahabat Nasrani setiap hari Minggu bila mereka akan berangkat ke Gereja.
Kami tak pernah bosan mengagumi semua ornamen indah yang terbuat dari janur bila tetangga Hindu kami merayakan Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Bahkan sampai saat ini saya sangat mengagumi bagaimana wanita Bali bisa sangat cantik dan anggun dalam kebaya dan kain dengan membawa banyak sekali sesaji untuk persembahan bila akan ada perayaan.
Dan satu hal yang tak pernah bisa saya pungkiri bagaimana saya sangat mencintai apapun yang berbau Imlek dan Cina. Ini bahkan menjadi bahan candaan dalam keluarga bahwa saya adalah aktivis HAM yang gagal ketika saya berdebat soal apapun yang berbau rasis. Hingga saya tak pernah takut bila ada yang menjauhi saya karena sikap saya ini.
Pesan yang selalu saya dengungkan pada anak gadis saya adalah bahwa kamu tak akan pernah sanggup untuk merubah keyakinanmu dengan apapun termasuk dengan kamu berbuat baik dan saling mengasihi dengan teman yang berbeda keyakinan. Tetapi ada toleransi yang terbalut ketulusan saat kita juga tulus pada mereka. Silakan bergaul dengan siapapun, berbagi kasih dan kebaikan dengan siapaun karena semua bermuara pada hati.
Hari ini kembali saya menulis tentang Nyepi, dan teringat semua kenangan masa kecil. Dalam kamar duo kriwil tertawa, saat mendengar kisah saya selalu menyembunyikan dodol di kantong, menaruh permen di plastik dan membawanya pulang. Kisah yang selalu mereka dengar dan selalu berhasil membuatnya tertawa.
"Kapan kita pergi kerumah Ninik Ketut dan Made, Bunda?"
Pertanyaan yang membuat hati saya bergetar, Nyepi kali ini benar-benar sepi karena virus yang membuat kami harus benar-benar di rumah. Nyepi kali ini dirayakan seluruh dunia, dengan pemahaman yang sama bahwa alam butuh istirahat sejenak dari campur tangan manusia. Nyepi kali ini adalah renungan bagi seluruh umat bahwa manusia perlu berhenti menjadi sombong, dan merasa menjadi yang terbaik. Bahwa kita selalu saling membutuhkan dan tak akan pernah bisa sendiri.
Untuk kalian sahabat sejiwaku, dari hati yang terdalam, Icil dan keluarga mengucapkan selamat hari Nyepi. Semoga damai untuk kita semua.
Peluk sahabatku walau suasana berbeda Nyepi kali ini tetap memiliki arti.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.