Kenapa Menulis? Enggak Banget! (Bag.1)

Kenapa Menulis? Enggak Banget! (Bag.1)

 

 

Kenapa Menulis? Enggak Banget!


Ada beberapa keresahan sejak 2017 lalu. Dalam kondisi sudah menikah, punya dua putra putri. Aktivitas hanya rumah, pabrik. Keluarga, kerjaan. Begitu terus dari 2011. Enam tahun kemudian akhirnya saya bertemu dengan si Sanbo.

Waktu kuliah, cukup banyak kegitan dijalani. Jurnalis di jurusan, komunitas film indie, membina Pramuka, dan bermain musik sampai jadi enam album (yang tidak dijual). Agenda padat di usia 20-an. Pantas juga makan dengan tinggi nasi menggunung tapi di badan jadi otot semua. Begitu masuk usia 30-an, semua kegiatan soft skill tadi berhenti.

Sanbo pun menyapa.

"Gila, ya, dulu perasaan waktu terpakai padat. Sekarang hanya dua kegiatan: rumah, pabrik."
"Betul," saya mengiyakan sambil topang dagu.
"Berapa umur lu sekarang?"
"Tiga puluhan awal."
"Masih bisa top gear tuh."
"Sangat bisa."
"Terus, apa dong?"
"Itulah. Apa ya? Tapi jangan sekadar nambah kegiatan juga, kudu nambah pemasukan kalau bisa."
"Yang sekarang kurang?"
"Cukup sih, tapi persiapan pensiun aja. Biar ada sesuatu yang dikerjakan dan menghasilkan."
"Bisnis gimana?"
"Kudu yang bisa dua kaki. Kerja iya, sampingan iya."
"Perasaan dulu di 20-an giat banget dengan ucapan, 'Kudu jadi entrepeneur!', inget gak?"

Sabon tertawa meledek.

"Hehe, iya. Sekarang realistis ajalah. Lagian, kerjaan juga udah pas ini. Sesuai passion."
"Inget-inget lagi skill lu apaan?"

Saya dipicu berpikir.

"Bikin musik, ngedit video, film pendek, video iklan, Pramuka, nulis."
"Mana yang ada kans jadi duit?"
"Musik, gak bakalan kayaknya. Industri aja tutup. Video, skill pas-pasan aja. Pramuka jelas gak ada duitnya. Mungkin nulis..."
"Nah...!"
"Track record nulis lumayan kan? Dari kapan?"
"Mulai giat sih pas ngampus."
"Udah 17 tahun terlatih. Saatnya jualan!"
"Bakal laku gak ya?"
"Ya mana tahu kalau belum dicoba." Sabon angkat bahu 
"Okelah, tapi nulis bareng aja dulu. Cek ombak."
"Good idea!"

Saya akhirnya mencari alumni Pramuka yang mau nulis bareng. Didapatlah tiga orang. Usianya di atas saya semua.

Empat orang, berlatar belakang Pramuka semua, berbicara tentang cinta. Akhirnya lahirlah antologi pertama saya: Tunas Cinta, antara Aku, Kamu, Dia, dan Beliau. Terbit tahun 2017.

Dicetak terbatas. Hanya 150 eksemplar. Dijual ke anggota grup WA yang satu almamater semua, berlatar belakang Pramuka semua. Buku ludes. Kami pun bagi-bagi profit.

"Eh, ada juga yang minat ya."
"Nice move! What's next?" tantang Sabon.
"Saatnya solo."
"That's my man!"

Akhirnya memberanikan diri menulis novel. Sendirian. Menumpahkan semua yang ada di kepala. Otak kanan bekerja keras. Setiap jam tiga subuh jemari menggila. Sehari bisa satu bab.

Novel 23 bab selesai dalam satu setengah bulan. Lalu membaca dari awal sekalian menyisir alur cerita. Satu setengah bulan untuk merapikan konteks, alur, dan struktur cerita. Novel pun selesai dalam tiga bulan.

"Penerbitnya siapa nih?"
"Najmubooks lagi aja. Udah enak sama mereka. Temen se-SMA juga. Gak ribet. Dan mau mengerti keinginan gua."
"Bungkus."

Draf novel Si Kutu Loncat pun dikirim ke penerbit. Masuk proses edit, layout, sampai proofread. Saya juga kirim coretan sampul depan maunya seperti apa.

"Judulnya saya ganti aja, Kang."
"Kenapa?" tanya penerbit.
"Terlalu jelas."
"Udah ada usul lain?"
"Tuing."
"Tuing?"
"Yap."
"Apaan tuh?" Dia tertawa.
"Kalau kutu loncat, suaranya gimana kira-kira? Nah, yang saya kebayang tuing-tuing gitu. Ada filosofi lain. Tokoh utama di novel ini kerjanya pindah-pindah, kayak kutu loncat. Nanti akhirnya ada lompatan terakhir sebagai penutup rangkaian buku."
"Rangkaian? Ini rencananya berseri?"
"Betul. Mungkin dua, tiga, atau empat seri. Atau bisa juga nanti jadi serial kayak Lupus gitu. Jadi gak perlu tebal-tebal."
"Menarik..."
"Dan saya udah punya judul buku seri kedua dan ketiganya nanti."
"Wah, mantap!"
"Garap!"

Novel Tuing! pun rilis tahun 2018, setelah tiga bulan diproses oleh penerbit. Total waktu menulis hingga menerbitkan enam bulan. Menerbitkan secara indie ternyata enak juga. Kita jadi tahu detail semua proses produksi buku. Harga produksi, harga edit, layout, proofread, cover, ilustrasi. Belum lagi hitung biaya marketing, bundling, margin.

Dan repotnya, kudu jualan juga.

Niatnya menulis untuk mendapatkan uang tambahan, untuk bayar cicilan rumah, biar cepat lunas. Itu kalau laku semua. Ternyata tidak semudah menyobek tisu.

(Bersambung)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.