Kami, yang Ingin Terlihat Sama

Kami, yang Ingin Terlihat Sama

"Bahkan saya si wanita baik-baik yang seluruh waktu hanya untuk keluarga pun tak luput dari penyakit ini."

"Perkenalkan nama saya Hasna. Ibu rumah tangga, status janda, suku Jawa, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas, ibu dari tiga orang anak." Suara itu menyapa telinga dengan lembut.

 

"Kalau sekarang kalian melihatku seperti baik-baik saja, itu karena saya sudah melewati semua masa tersulit. Saya merasa sudah menjadi pemenang, sudah merasa pantas untuk menertawakan diri sendiri dan sudah berhak untuk merasa bahagia menikmati sisa umur dengan anak-anak, dan yang utama saya sudah tak ingin terpuruk lagi." Wanita cantik itu tampak menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan sepertinya melepaskan beban dengan suka cita.

 

Ditatapnya seluruh penjuru ruangan, berusaha untuk merekam wajah-wajah asing yang ada di ruangan itu. Tatapannya berhenti pada sosok yang dikenalnya, bahkan sangat dikenalnya, sekilas bibirnya tersenyum tanda bahwa ia sudah tahu tentang kehadirannya di antara ribuan peserta yang hadir di ruangan itu.

 

"Setiap orang pasti akan pernah berada di posisi anda saat ini, dan saya harap kalian semua segera mencapai posisi seperti saya saat ini. Silakan mencari cara agar kalian bisa berdamai dengan diri sendiri," ujarnya kemudian terdiam dan meneguk liurnya sebelum melanjutkan.

 

"Kali ini saya akan berkisah tentang takdir yang saya harus hadapi, hadiah dari Tuhan yang harus saya terima dengan ikhlas, tentang bagaimana saya bisa menjadi bagian dari kalian semua, bagaimana saya berjuang keluar dari masa tersulit, dan bagaimana akhirnya saya berdamai dan bertekad untuk menggapai masa depan dengan tersenyum." Kali ini suaranya terdengar lebih mantap, hilang sudah kerapuhan yang di awal tadi sangat menyayat hati.

 

"Yang saya ingat hari itu saya masih dalam keadaan berduka, lalu saya didatangi beberapa petugas medis yang meminta saya dan anak-anak untuk menjalani rangkaian tes panjang yang bahkan saya tak pernah tahu untuk apa, karena saat itu semua seperti ikut hilang dengan kepergian Mas Bayu yang mendadak. Yang saya tahu jarum suntik itu menembus setiap inci tubuh.

Rangkaian tes itu juga harus dialami oleh ketiga buah hati saya. Yang paling menyedihkan adalah ketika mendengar suara tangis gadis kecilku saat disuntik, tetapi saya tak boleh memeluknya karena kami melakukannya dalam ruangan terpisah. Bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya? Hancur dan tak berdaya ... Saya hanya bisa melihat dari kaca pemisah ketiganya menangis memeluk suster sebagai ekspresi ketakutan dan rasa sakit. Harusnya yang dipeluk mereka adalah saya, bukan suster itu." Terlihat wajah Hasna mulai mengeras, dingin dan beku.

 

"Suatu siang yang kelam, saya merasakan dunia runtuh dan gelap saat dokter yang menangani kami memberitahu bahwa diantara kami berempat saya dan anak bungsuku dinyatakan positif HIV." Ia diam dan tertunduk seperti ingin menghilangkan bayangan akan kejadian hari itu. Suaranya melirih di akhir kata.

 

Sementara gedung tampak hening dan semua hadirin tertuju menatap wanita yang duduk tenang di depan podium.

 

"Berita bahagianya anak pertama dan kedua negatif, Tuhan masih berbaik hati pada kami melindungi kedua anakku dari virus mengerikan itu. Jangan! Jangan tanyakan bagaimana saya bisa mendapatkan virus ini karena saya tak ingin mengetahuinya, bahkan saya sudah sangat bersyukur bahwa sampai di akhir hayatnya, saya bisa mengantarkan almarhum Mas Bayu ke peristirahatan terakhirnya tanpa mengetahui kondisiku yang sudah terpapar virus. Dengan begitu saya telah menyelesaikan tugas menjadi istri dengan hati yang tulus tanpa benci dan marah bahkan tanpa rasa tersakiti oleh apapun yang bernama  ketidaksetiaan. Kedukaan yang saya rasakan di hari pemakamannya adalah tulus duka seorang istri yang tak rela atas kepergiannya, bahkan saat itu bila masih bisa bernegosiasi dengan Tuhan saya ingin Mas Bayu hidup di sisi kami walau dalam keadaan sakit. Saya rela merawatnya demi melihatnya bisa tersenyum memandang anak-anaknya bertengkar berebut ayam goreng. Saya selalu mengingat itu sebagai titik balik bila saya terpuruk, saya tak ingin menceritakan kisah yang buruk pada anak-anak. Biarkan mereka mengenang tentang kebaikan ayahnya, mengingat kekuatan ayah menahan sakit yang dideritanya, menjadikan sosok Mas Bayu sebagai ayah yang baik dan perhatian pada kami semua, cukup itu saja. Hal lain tentang ayah mereka, biar cuma saya yang mengetahuinya." Wanita itu diam, menghela nafas perlahan sambil sesekali menyeka air mata dengan tisu di tangannya. Dari posisinya yang semula tertunduk, ia perlahan menatap ke depan, memandang orang-orang di depannya sambil berusaha tenang.

 

"Teman-teman semua, hari ini adalah ke-11 kalinya saya membuat kesaksian tentang diri saya, sejujurnya ini bukan kesombongan tapi saya hanya ingin berbagi semangat pada kalian, ingin membagikan kebahagiaan yang saya rasakan agar kalian juga harus bisa seperti saya saat ini. Saya sudah kenyang dengan hinaan, sudah muak dengan cacian dan kucilan. Kemarin saya tidak berdaya untuk melakukan apapun, tetapi kali ini saya ingin kalian juga harus mampu berteriak mengatakan bahwa kita pantas untuk hidup di tengah masyarakat, kita berhak mendapat kehidupan sosial yang sama dengan mereka di luar sana. Bahwa kita juga mampu bekerja tanpa diskriminasi, kita mampu hidup sehat tanpa menjadi biang penyakit. Ayo teriakkan semangat itu, mulai hari ini mari bersama berjuang melawan diskriminasi sosial, kita pasti bisa!" Suara lantangnya membakar jiwa semua hadirin yang ada di sana hingga gemuruh tepuk tangan menggema, dan begitulah wanita itu tersenyum di antara derai air matanya.

 

"Bulan pertama sejak mengetahui kenyataan yang ada, saya depresi berat. Keluarga masih datang ke rumah bergantian sebagai perhatian melihat kedukaan saya ditinggal suami dengan anak tiga yang masih kecil, saya yang seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah berpikir untuk mencari uang kali ini harus berjuang sendiri. Berpikir bagaimana mencari uang untuk kelangsungan hidup kami berempat. Keluarga belum mengetahui  kenyataan saya adalah penderita HIV/AIDS. Saya belum sanggup untuk jujur, saya belum ingin mereka tinggalkan sendiri, saya masih ingin mereka datang mengunjungi saya, menghibur saya dengan cerita dan juga nasihat, karena bisa saja jika saat itu saya jujur mereka pasti akan pergi menjauh." Jelas kali ini ada isak yang terdengar, seperti menyampaikan duka lara. Lukanya dapat dirasakan oleh semua hadirin di ruangan itu.

 

"Seperti pepatah, sepandai menutup bangkai pasti akan tercium juga, dan itulah saya alami. Berita itu seperti bom waktu yang pasti akan meledak, dan kita tidak pernah bisa menentukan kapan waktu terbaik untuknya meledak. Tiba-tiba saja kami dikucilkan, tak ada tetangga yang menyapa, tak ada jual sayur yang mau mampir untuk saya beli, tak ada lagi keluarga yang datang bahkan hanya untuk sekedar menelpon seolah mereka akan langsung terpapar virus bila menyapa kami. Yang paling menyedihkan saat guru di sekolah anak saya memanggil dan menceritakan bahwa sebagian besar wali murid menjadi khawatir bila anak saya bersekolah di sekolah itu, mereka meminta anak saya segera keluar karena takut anaknya tertular." Helaan napasnya terdengat sangat berat, isak tangisnya memilukan, wanita itu hebat bisa berjuang sendiri selama ini.

 

"Tak ada yang lebih menyakitkan menerima kenyataan itu, bagi seorang ibu. Tak ada lagi rutinitas main sepeda sore hari di gang depan rumah, gerbang rumah terkunci rapat karena anak-anak tak boleh bermain di luar, mereka tak bersekolah dan sementara waktu belajar dari rumah dengan modul yang diberikan guru dari sekolah, ujian dari sekolah dan saya bertekad mendampingi mereka. Pernah dalam satu titik saya memikirkan kesialan dalam hidup saya, hingga tak ingin mengingat Mas Bayu. Tetapi semua sirna melihat kelucuan anak-anak yang sepertinya menerima kenyataan ini tanpa beban. Kami merubah garasi menjadi area bermain, menyingkirkan semua permainan yang berbahaya agar adik bungsu mereka tidak cidera dan terluka. Ini langkah awal kami menerima kenyataan bahwa secara medis kami berbeda walau kami adalah ibu dan anak." Helaan napas yang terdengar pasrah.

 

Hadirin mendengarkan dengan diam dan menahan isak. Penuturan yang sangat memilukan dari seorang ibu. Mereka selama ini saling merasa bahwa penderitaan masing-masing adalah yang paling berat tapi dengan mendengar penuturaan orang lain seperti ini, mereka sadar bahwa tidak ada yang lebih berat ketimbang menanggung semua beban sendirian. Namun mereka tidak sendiri, mereka memiliki satu sama lain.

 

"Saya memberi pengertian pada kedua anak saya yang lebih besar, mencari kata agar mudah dipahami bahwa mereka berbeda dari adik bungsunya. Kotak obat kami terpisah, agar memudahkan bila adik bungsu yang terluka segera panggil Ibu, jangan pegang apapun badan adik. Bila tak ada ibu di rumah segera ambil kotak obat berwarna biru, gunakan sarung tangan dan beri pertolongan pertama, setelah itu bungkus semua sampah medis dalam plastik termasuk sarung tangan yang dipakai, ikat dan buang ke tong sampah. Sedetail itu saya memberi instruksi, dan di semua tempat dalam rumah instruksi itu saya tempel agar setiap dia menatapnya maka dia akan membaca dan mengingat semuanya. Demi Tuhan ini siksaan, bagaimana kalian bisa melihat seorang saudara hanya ingin menolong saudaranya yang terluka saja harus dengan prosudur yang sangat rumit? Tapi ini kenyataan yang harus mereka hadapi sampai kapan pun. Apa yang bisa kalian sampaikan pada mereka bila ada pertanyaan adik sakit apa? Kenapa kami tidak boleh memeluknya bila dia terluka? Penjelasan apa yang akan kalian sampaikan pada anak berusia delapan tahun? Sementara mereka tahu mereka dikeluarkan dari sekolah karena saudara dan ibu mereka sakit menular?" Isak dan sedu yang terdengar semakin kencang. Penonton di depan mereka hampir semua menagis medengar penuturan wanita itu. Tapi Hasna berusaha menguasai diri.

 

"Kami hidup hanya berempat, saudara menghilang, tetangga menjauh, sahabat lenyap, musuh tertawa. Dalam waktu yang panjang kami tertatih melewati ini semua, hingga waktunya kami menjadi dewasa dengan tempaan. Anak tertua saya bisa menghibur dan merawatku bila saya drop, anak kedua saya bisa menjadi andalan merawat adik bungsunya bila saya sedang tak berdaya. Mereka berdua telah menjadi dokter untuk kami berdua, mereka bisa dengan santai berjalan menghampiri pedagang somay untuk membelikan adik bungsunya yang merengek meminta somay. 'Mang saya beli somay 1 porsi, jangan takut saya tidak AIDS', apa yang kalian akan katakan bila mendengar anakmu berkata seperti itu? Dan anak itu dengan tetap tersenyum menyodorkan uang pada penjual somay. Atau suatu hari kau melihat anakmu berteriak memarahi anak-anak kecil yang merundung adik bungsunya mengatakan dia monster pembunuh? Melihatnya bagai Arjuna yang sanggup melepaskan anak panahnya pada musuh demi melindungi Yudhistira saudaranya?" Napasnya terlihat menderu bagai pelari yang sudah menempuh puluhan mil, disekanya air mata, dahi dan dagunya dengan tisu. Dilihatnya para hadirin yang duduk dengan terpaku di tribun. Tatapannya berhenti pada sosok yang lurus menatapnya tanpa kedip seolah memberi energi baginya untuk tetap duduk di panggung.

 

"Tapi itu dulu, saat kami masih rapuh. Saat semua orang menggunjingkan kami, menolak kami hidup di antara mereka, mengusir kami bahkan dari rumah kami sendiri, dengan alasan kami adalah biang penyakit masyarakat, mereka takut tertular, dan kami adalah orang kotor."

 

"Apa? Manusia kotor? Siapa mereka? Mengapa mereka bisa dengan lantang mengatakan saya kotor? Apa yang mereka tahu tentang saya? Bahkan saya bisa menjamin seinci pun tubuhku suci tak pernah disentuh oleh orang lain selain suamiku. Kepada siapa saya marah? Apakah pada pelacur jalanan yang telah tidur dengan Mas Bayu? Apakah pada wanita yang selama ini selalu dikunjungi Mas Bayu? Nyatanya wanita itu masih hidup sehat sampai hari ini. Lalu kepada siapa? Apa kepada petugas PMI yang memberikan transfusi darah? Sampai hari ini saya tak tahu harus marah pada siapa. Maka saya putuskan untuk tidak marah, karena marah adalah suatu kebodohan. Sayapun tak ingin menyesali mengandung anak bungsuku yang lucu dan cerdas itu. Seandainya saya tahu lebih dulu saya ODHA, maka pasti saya akan menggugurkan kandungan, tetapi seumur hidup saya menjadi pembunuh. Maka saya tak pernah menyesali mengandungnya walau dia terlahir menjadi ODHA. Setelah dia dewasa saya ingin dia tahu bahwa dia hadir karena cinta, dia tumbuh bahagia karena memiliki Kakak yang rela menjaganya dari rundungan, memiliki Ibu yang berjuang merawatnya agar tetap sehat. Sampai hari ini dia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan mandiri." Dihapusnya air mata yang jatuh, tak pernah sanggup wanita itu bercerita tentang si bungsu yang amat mereka cintai tanpa setetes air matapun.

 

"Pesan saya pada ketiga buah hati saya, tetaplah kalian saling menjaga, saling mendukung dan saling melindungi karena kalian hanya bertiga hidup di dunia ini. Tak ada saudara lain, tak ada pelindung lain, kalian sudah melewati masa tersulit berbagi ruang untuk saling mengisi jiwa. Ingat tetaplah seperti ini. Ayahmu pasti tersenyum bahagia melihat kalian dari alamnya."

 

"Tuhan selalu memberi kejutan, tanpa saya sadari kedua anakku tumbuh menjadi dewasa. Tugas menjaga dan melindungi si bungsu mereka ambil tanpa pernah saya sadari. Kami hidup dari berjualan online, karena bila dari berjualan offline sudah pasti tidak mungkin. Selalu ada rejeki untuk kami, hingga saya yakin bahwa Tuhan tidak ingin kami menyerah. Tuhan ingin kami terus hidup, dan memenangkan pertarungan ini."

 

"Saudaraku semua, jangan pernah marah pada takdir, bahkan saya seorang istri yang setia hidup demi keluargapun bisa terpapar virus HIV. Percuma marah karena kita hanya akan bertambah lemah. Mari bersama saling menguatkan, saling memberi semangat untuk yakin bisa hidup dengan sehat, tunjukkan bahwa kita bisa."

 

"Bila masih ada cibiran jangan hiraukan, bila di luar sana masih ada rundungan mari bangkit menguatkan hati. Buka peluang usaha untuk masa depan, hidup sehat agar kita bisa melangkah. Dunia merayakan hari ini sebagai hari AIDS, seluruh dunia merayakannya sebagai bentuk kepedulian terhadap orang yang seperti kita. Mari jawab dengan keyakinan bahwa kita tidak butuh belas kasihan tetapi kita butuh dukungan dan pengakuan bahwa kita adalah manusia. Berikan kami hak untuk hidup normal, berikan kami kepercayaan bahwa kami tidaklah manusia kotor, bahwa kami pun patut untuk hidup di antara kalian yang sehat." Dengan suara lantang kalimatnya diakhiri tepuk tangan riuh, bahkan sampai ada yang berdiri dan berteriak menyulut semangat.

 

"Untuk kita yang ada di sini, mari di hari ini kita merenung menjadikan titik balik untuk kita tetap menjaga semangat hidup. Karena kita pantas dan layak untuk hidup, jangan kalah teruslah menjadi survivor, bergandengan tangan saling menyemangati karena mereka di luar sana tak pernah tahu bagaimana menjadi kita. Semua yang ada di sini, saya berharap bisa berjumpa dengan kalian tahun depan, tahun depan lagi, dan tahun seterusnya karena kita pantas untuk hidup seribu tahun lagi!" Suaranya menggema menyulut semangat tepuk tangan, sorak-sorai dan air mata bahagia bersama menjadi pengikat mereka semua yang ada di ruangan.

 

Dari balik panggung terdengar suara lagu dari anak-anak yang dinyatakan ODHA, yang tertular dari dalamnrahim ibu mereka yang positif AIDS berbaris rapi sambil memegang bendera warna-warni. Dengan suara khas anak-anak mereka bernyanyi.

 

"Kasih ibu ....

Kepada beta, tak terhingga sepanjang masa ....

Hanya memberi, tak harap kembali ....

Bagai sang surya menyinari dunia ...."

 

Sontak seluruh peserta yang saat itu berada di dalam auditorium ikut bernyanyi, simbol ucapan terima kasih pada ibu mereka yang saat itu berada di kursi tribun.

 

Dari tengah barisan seorang anak kecil maju dan memberi bendera kecil kepada wanita yang tadi memberi kesaksian. Sontak wanita itu memeluknya dan mengecup kening anak perempuan cantik itu.

 

Lagu terus dikumandangkan sementara banjir air mata haru dan bahagia terus mengalir melihat ibu dan anak yang saling menguatkan, menjadi pejuang untuk diri mereka sendiri.

 

Dari atas tribun tampak dua anak muda yang juga saling berpelukan melihat ibu dan adik bungsu mereka berada di panggung. Dalam tangis mereka ada rasa bangga memiliki ibu yang tulus mencintai ayah mereka walau ayah memberi warisan virus pada ibu dan adik bungsu mereka. Tak pernah ada penyesalan yang terlontar dari ibu, darinya mereka belajar arti ketulusan dan ikhlas.

 

Mereka berempat bertekat menjadi pemenang. Saling berbagi duka, lara dan bahagia. Setiap tanggal 1 Desember mereka selalu menemani ibu untuk memberi kesaksian dan sebagai penyemangat untuk ODHA yang lainnya.

 

*****

Sebagai pengingat bahwa mereka ada di sekitar kita, beri mereka ruang untuk hidup seperti kita. Stop diskriminasi karena kita hidup di dunia yang sama.

 

Selamat hari AIDS sedunia.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.