Belajar dari Dinda

Belajar dari Dinda

Berusaha untuk tenang, diam dan sedikit tersenyum saat mendengarkan penjelasan dokter tentang hasil lab dan USG. Walau rasa nyeri dan sakit menyerang seluruh tubuh, terutama perut bagian bawah.

"Ada kista di ovarium, ukurannya sudah besar. Saran saya harus diambil. Kita observasi kondisi Ibu, segera, ya?" Penjelasan dokter sangat lugas, tetapi mampu membuat saya diam terpaku.

Sambil menahan rasa sakit yang amat, saya berusaha untuk bertanya, "Jenisnya apa, Dok? Ukurannya seberapa besar?" dengan suara lirih, saya bertanya pada dokter.

"Jenisnya masih belum tahu, Ibu. Tapi semoga tidak ganas, cuma ukurannya sudah besar, 8,8 x 5.5 x 8.4 cm. Itu sudah besar sekali, Bu. Tidak ada kemungkinan untuk mengecil walau kita kasih obat, satu-satunya jalan cuma operasi," sahut dokter dengan suara yang sangat lembut.

Ada desir halus yang membuat tubuh saya seperti tersiram air es dingin. Ke mana air mata? Kali ini saya justru mencari air mata untuk menemani saya. Untuk beberapa lama saya hanya bisa terdiam, sambil tidur di ranjang rumah sakit, memandang selang infus di tangan.

Siang itu saya sendiri, karena dua bidadari saya sedang pergi ke sekolah sementara suami saya masih berada di Yogyakarta.

Saya butuh menangis, tetapi untuk apa? Bukankah semua sudah terjadi? Akhirnya saya ambil ponsel dan mengetik pesan melalui WhatssApp ke suami saya.

Ayah, hasil USG sudah ada, Ternyata Bunda positif ada kista di ovarium. Ukurannya sudah besar, kata Dokter harus segera operasi. Gimana, Yah?

Selang beberapa menit, tiba balasan dari suami yang sedang berada di kantor, di kota yang sangat jauh.

Innalillahi wainnailahirojiun.

Bunda tenang, ya. Insyaallah sore ini Ayah balik ke Lombok. Sekarang Ayah cari tiket. Kita hadapi bersama.

Sebentar Ayah telepon, ya? Istigfar terus, Bun, minta yang terbaik dari Allah.

 

Jawaban yang sebenarnya sudah bisa saya perkirakan. Sejak mengenal Ayah, saya tahu dia lelaki tipe penyabar, tidak mudah panik dan selalu mampu menenangkan saya yang aslinya sangat kasak-kusuk. Berulang kali saya membaca pesannya dan saya tahu dia berusaha membuat saya tenang. Begitulah cara kami setiap menghadapi masalah.

Jujur, ini bukanlah masalah pertama yang harus kami hadapi selama berumah tangga, tetapi ini adalah salah satu bom yang mampu membuat saya merinding ketakutan.

Mengetahui di dalam tubuh saya ada sesuatu yang sangat saya takuti, bahkan membayangkan saja saya tak ingin, tetapi hari ini kenyataan itu harus saya hadapi.

Sendiri di ruangan yang dingin, membuat saya benar-benar merasa sendirian hidup di dunia ini. Banyak sekali ketakutan yang datang silih berganti di otak saya. Ada banyak potongan peristiwa, kejadian, bahkan kata-kata yang semuanya bermuara pada kenyataan bahwa di ovarium saya ada kista.

Akhirnya saya meneteskan air mata, tumpah dengan isakan yang tak ingin saya tahan. Ini adalah air mata pertama saya sejak saya merasakan nyeri yang sangat dahsyat hingga membuat saya tak sadarkan diri, dan dibawa ke rumah sakit oleh tetangga saya. Sedikit lega saat saya bisa menangis dalam kesendirian. Bahkan saya berjanji untuk tidak akan menangis di depan anak-anak, orang tua dan suami saya.

Kembali pada banyak bayangan yang ada di kepala saya, maka saya menangkap salah satu dari ribuan yang sedang menari di kepala saya. Saya menangkap bayangan tentang Dinda.

Siapa Dinda? Mari berkenalan dengannya. Dia adalah tokoh fiksi yang saya ciptakan untuk tulisan saya yang berjudul Kesempatan Kedua. Tidak lebih dari sebulan saya share di web thewriters.id

Dinda saya ciptakan dengan penuh emosional, bahkan saat menulis cerita itu saya ikut larut masuk ke jiwanya. Saya bisa merasakan nyeri yang sangat pada pinggang saya, bahkan saya membayangkan wanita itu jalan terseok- seok di dalam kamarnya yang luas. Saya membayangkan wanita tegar dengan penyakit kanker ovarium yang dideritanya tetap mampu kuat berjuang melawan sel nakal itu. Dinda yang di ujung cerita memutuskan untuk kembali semangat berjuang melawan sel kanker, yang mampu membuat saya menangis sambil menulis. Bahkan entah sudah berapa bungkus tisu saya habiskan saat menulis cerita itu. Saya tak mampu membaca ulang cerita itu saat mengeditnya, akhirnya saya mandatkan pada Kak Mayla sebagai editor untuk cerita itu.

Hari ini saya mendengarkan diagnosa yang sama dengan Dinda, hari ini saya harus tegar mendengarkan penuturan dokter tentang langkah yang harus saya jalani sebelum operasi, sama seperti Dinda.

Mungkinkah ini deja vu? Bahwa sebenarnya dalam kehidupan lampau saya pernah menjalani hal seperti ini? Banyak pertanyaan yang tak ada jawaban, tetapi saya ingin seperti Dinda yang tetap kuat dan tegar menghadapi kenyataan ini.

Saya ingin belajar dari Dinda bahwa hanya semangat dan rasa bahagia yang mampu membunuh penyakit paling mengerikan sekalipun. Saya sangat ingin menjadi Dinda, memiliki semangat juang yang tak pernah habis. Belajar dari Dinda, saya tak akan menyerah. Ini cuma ujian yang pasti bisa saya lewati.

Setelah menagis sambil merenung tentang Dinda, saya bisa tersenyum berucap dalam hati, "bismillah, hadapi semua dan jangan menyerah. Semua sudah ditentukan. Tenang, ya, Donna … kamu pasti sehat.”

Sorenya, saya mampu menjelaskan dengan ringan tanpa beban pada kedua orang tua saya, walau dari tatapannya, Opung sangat tahu saya berusaha tegar. Dua bidadari saya pun demikian, berusaha mencermati semua penjelasan saya tanpa banyak komentar, walau saya tahu bahwa Kak Mayla pasti sangat sedih mendengar semuanya. Sekali lagi saya bersyukur dititipkan anak yang sangat dewasa dalam berpikir, bahkan yang berusaha membesarkan hati saya.

Opung, lelaki yang menjadi cinta pertama saya, duduk dengan kegundahan yang disamarkan. Kami memiliki bahasa kalbu yang sangat kuat, bahkan tanpa berbicara kami sangat memahami satu sama lain.

Dari kursinya dia berkata, "Kita tunggu Endy, ya? Sementara ini kamu istirahat dulu, jangan banyak bergerak.” Karena galau dia tak ingat penjelasan saya bahwa Ayah akan pulang sore ini. Saya hanya mengangguk.

Semua berlangsung cepat. Seperti mimpi, tiba-tiba saya sudah selesai menjalani operasi, nyeri yang sangat itu hilang berganti nyeri akibat sayatan bedah operasi yang rasanya tidak sebanding dengan sakit yang saya alami beberapa hari kemarin.

Suami tercinta mendampingi dengan banyak doa yang diucapkannya, bahkan saat saya tertidur. Anak-anak saya tetap bersemangat menemani saya di rumah sakit dengan tetap bersekolah, mengerjakan PR bahkan dengan pertengkaran kecil seperti biasanya.

Ninik, seperti yang biasa dipanggil oleh kedua anak saya, setia mendampingi saya dengan kondisinya yang sudah menuju pikun, bahkan dia bertanya lebih dari sepuluh kali, mengapa saya berada di sini? Mengapa saya cuma tidur terus? Kenapa saya tidak bangun membuatkan suami kopi? Tetapi dengan sabar kami kembali menjelaskan kondisi saya yang sebenarnya walaupun sedetik kemudian dia akan lupa dan bertanya kembali.

Ada Opung yang siap menggantikan posisi saya sebagai ojek, mengantar-jemput cucunya. Dengan tatapan khawatir yang sangat, tetapi tidak pernah dia ungkapkan, cukup dengan elusan lembut di kepala saya yang mengatakan, "Kau harus kuat.”

Lengkap sudah semua saya dapatkan sebagai penyemangat saya untuk sehat kembali. Ada satu lagi yang memiliki andil besar sebagai penyemangat saya, dialah saudara saya di geng sumuks yang mensugesti bahwa saya harus sehat untuk bertemu di ibukota demi mimpi kami yang akan segera terwujud. Membayangkan momen itu saja sudah mampu membuat saya tersenyum bahagia. Belum lagi mengingat bagaimana mereka mengirimkan pesan menyemangati saya agar sehat kembali. Dan juga sahabat saya yang sangat banyak tersebar di seluruh penjuru, tak ada kata yang membuat saya ingin menangis. Semua pesan yang masuk adalah yang membuat saya tertawa.

 

Gilaa, Ibu negara sakit? Segera sembuh! Ada rapat kabinet terbatas di Papua menunggu kehadiran Ibu.

Gue cuma mau bilang, lo pasti kuat. Preman pasar aja kencing ketakutan ketemu loe, masa’ sama kista aja kalah?

Haaiii Bundo sayang, cepet sembuh, masih ditunggu jadwal touring keliling Jawa-nya ….

Don, sembuh ya. Aku kangen tulisanmu. Garing banget lama gak baca tulisanmu.

Yaaelaahh, jangan bilang Bunda nangis, ya. Malu sama selang infus, ntar kalau sembuh aku traktir nasgor sepuasnya!

Niih, gue kirimin Bang Boril buat nemenin lo di rumah sakit.

 

Itu beberapa pesan konyol dari sahabat saya, dan semua membuat saya bahagia. Yang paling terharu dan mampu membuat saya berbunga saat membaca pesan bahwa ada yang kangen tulisan saya. Bahkan tetangga saya datang menyempatkan diri ke rumah sakit bersama suaminya. Ternyata dia selalu membaca tulisan saya, entah itu di status atau di web thewriters.id.

Kalian tahu bagaimana rasanya? Saat dia berbisik berkata, "Sembuh ya, kangen baca tulisanmu," itu sudah membuat saya sembuh seketika. Ternyata ada yang merindukan saya dengan cara yang berbeda. Dan saya berjanji untuk kembali menulis, membunuh waktu dan kejenuhan dengan merangkai kata, menikmati rasa nyeri dengan tombol on, sesekali mensugesti diri bahwa itu bukan rasa sakit, itu adalah gigitan semut yang sebentar lagi akan hilang.

Dan pagi ini, saya sudah berada di rumah. Duduk di bawah pohon jambu dengan segala atribut menulis. Ada potongan buah pepaya manis yang menemani. Masih ada suami tercinta yang sigap bila saya membutuhkan apapun, sesekali berdiri dan berjalan pelan sebagai peregangan karena lelah duduk.

Yang utama, saya sudah kembali seperti dulu. Ingin sehat dan menyambut tanggal 17 April sebagai hari yang bersejarah dan saya ingin saat itu, saya dalam kondisi sehat dan bahagia.

Rasa syukur karena dikelilingi pertemanan yang positif, selalu memberi energi untuk kebaikan. Sahabat yang sangat mencintai saya dengan cara uniknya masing-masing, tak pernah ada kata pesimis dalam pesan yang mereka kirimkan. Entah dengan apa saya membalas kalian semua, bila mengingat kembali saat saya sangat membutuhkan pelukan yang kalian berikan dengan tulus walau dari jarak yang sangat jauh. Terasa hangat dalam hati, bahkan air mata kesedihan tak pernah sempat datang menghampiri, yang selalu menyapa adalah air mata haru dan bahagia memiliki kalian semua.

Untuk keluarga yang memberi kekuatan dalam setiap doanya, tak pernah menganggap saya lemah dengan tatapan yang penuh harap bahwa saya mampu melewati semua dengan tegar. Mungkin, bila saja sakit ini bisa dibagi pastilah mereka dengan ikhlas akan menerima sebagian dari sakit ini. Hanya satu jawaban dari semua pertanyaan, bahwa saya harus kuat dan sehat kembali untuk semua ketulusan yang sudah kalian berikan untuk saya.

Untuk Dinda, saya belajar banyak darimu. Ternyata ini mungkin jawaban dari semuanya, bahwa kamu hadir terlebih dahulu untuk bisa memberi saya kekuatan dengan cara yang berbeda. Sebelum menciptakan tokohmu, saya sudah habis membaca banyak artikel tentang kanker ovarium, bagaimana cara bersahabat dengan kanker dan yang terpenting bagaimana bisa melawannya dengan rasa bahagia agar kita tidak kalah dengan sel nakal itu.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.