Koin Keberuntungan

Koin Keberuntungan
Image by pixabay.com

Menutup telpon dengan hati-hati, matanya jelalatan. Memandang ke atas telpon umum, memastikan tidak ada CCTV lalu dia tarik kembali benang dari koin yang dia masukkan ke dalam mesin telpon umum.

 

“Hebat, dengan koin ini aku bisa menakut-nakuti setiap orang yang dulu menghina dan mencibirku.”

 

Dia tutup memo di tangannya, wana coklat tua dengan ujung yang sudah keriting. Tak ada yang berani menyentuhnya, di halaman muka tertulis namanya dan di ujung namanya dia sematkan gambar pistol serta pisau berlumuran darah.

 

35 tahun dia berjibaku dengan paku dan batu, menunggu untuk menuju tanah rupanya tak semudah memecah nanah.

 

Dia selalu menyesal telah lahir menjadi anak Sukanti dan Marjuki. Pasangan tua ini tak salah bila mereka punya anak diberi nama Cilako. Entah apa yang ada dalam benak mereka, yang pasti menurut pengakuan tetangga, Cilako hadir saat sedang terjadi wabah penyakit di kampungnya. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, namun akan berdampak mematikan bila penyakit ini menyerang anak kecil, balita, terlebih lagi pada bayi baru lahir.

 

Sadar bahwa Sukanti telah berbadan dua, dan wabah masih terlalu liar menyelimuti kampungnya maka Marjuki memberi nama CIlako, dia yakin bahwa Cilako akan hadir tidak lama setelah Sukanti kesakitan , mengaduh, meregang nyawa dan membuang berliter darah. Dan setelah itu hanya satu tarikan tangis yang akan didengar, karena setelahnya Cilako akan mati.

 

Marjuki keliru, Cilako hidup.

Menyesal tak pernah datang di awal. Cilako benar-benar mendapat celaka.

Usia 3 bulan, Cilako terjatuh dari ranjang. Kepala membentur lantai tanah yang mengeras menyerupai batu. Menangis dengan kuat tak membuat darahnya berhenti mengalir. Sukanti hanya menggendongnya dan menembangkan rumekso ing wengi. Cilako tertidur.

 

Berkali-kali Cilako celaka, Sukanti dan Marjuki terlalu teledor, hingga Cilako tumbuh dengan muka dan badan penuh luka, baret di seluruh tubuhnya. Bahkan akhirnya Cilako memanjangkan rambutnya agar dia bisa menutupi sebagian mukanya.

 

“Lari, cepat lari. Penjahat kampung menuju ke sini!”

 

Anak-anak berlari, bahkan ada beberpa melemparkan batu kea rah Cilako.

“Met…lempar yang benar. Harus tepat pada matanya agar dia buta sekalian.”

“Siap Jon, lihat nih ya. Satu, dua, tiiiiii, plak.”

 

Slamet melemparkan lumpur ke arah Cilako. Rambut panjangnya kotor, matanya perih dan hatinya terluka.

Anak-anak tertawa keras. Mereka bersalaman pertanda berhasil membuat nestapa pada hati Cilako.

 

Tahun berganti dan Cilako masih saja Cilako yang sering celaka.

Bertahun-tahun dihina dan dicibir, membuat Cilako menyimpan dendam. Setiap ada benda yang membuatnya celaka, dia kumpulkan lalu ditandai dan diberi nama.

Benda itu berasal dari paku dan batu.

 

“Sugeng sonten, sopo sing arep diajak ngomong?”

“Slamet.”

“Sampeyan siapa?.”

“Lihat di depan pintumu besok. Aku berikan hadiah untukmu.”

 

Dengan harap cemas, Slamet tutup telponnya. Resah menunggu besok.

“Paaak, iki lo ada bungkusan. Isine opo yo?. Berat iki.”

“Jangan dibuka, biar aku saja.”

 

Entah kenapa, Slamet gundah.

 

Berbondong-bondong orang kampung ke rumah Slamet, penasaran dengan isi bungkusan yang diterima Slamet dan penasaran dengan kematian Slamet sore itu.

 

Dia buka bilik telpon umum, sedikit berisik. Menatap ke langit-langit dan memastikan tidak ada CCTV.

 

“Sugeng sonten, sopo sing arep diajak ngomong?”

“Mardi.”

“Sampeyan siapa?.” Istri Mardi bertanya.

“Lihat di depan pintumu besok. Aku berikan hadiah kanggo bojomu.”

 

Mardi pun berharap cemas, dia masih bingung. Haruskah bergembira untuk hadiah yang akan dia terima besok?. Khawatir istrinya hanya separuh memberikan berita.
Istri Mardi berhati-hati menutup telponnya. Ikut resah menunggu besok.

 

“Paaak, iki lo bungkusane beneran datang. Isine opo yo?. Berat iki.”

“Jangan dibuka, biar aku saja.”

 

Entah kenapa, Mardi bersemangat. Lupa jika istrinya baru saja membersihkan teras dengan busa sabun colek bekas mencuci pakaian.

 

Berbondong-bondong orang kampung ke rumah Mardi, penasaran dengan isi bungkusan yang diterima yang kabarnya berisi ayam tanpa kepala dan berlumuran darah. Mereka  penasaran dengan kematian Mardi sore itu

 

Semenjak itu semua bukan teman masa kecil Cilako satu persatu mati.

Semua ceritanya sama, diawali dengan sambungan telpon.

 

“Sugeng sonten, sopo sing arep diajak ngomong?”

“Bojomu ada?.”

“Sampeyan siapa?, iki istrine.“

“Lihat di depan pintumu besok. Aku berikan hadiah kanggo bojomu.”

 

Gelagapan, setelah kesekian kali khawatir mendapat sambungan telpon yang sama. Minah mengambil keputusan sendiri. Dia tak sampaikan beritanya pada suaminya.

 

“Besok kalau bungkusan itu datang, aku akan membuangnya.”

Dia pun berharap cemas seperti istri-istri kawannya, dia sangat bingung.

Haruskah aku sampaikan pada suamiku? Sungguh hati ini resah tanpa arah.

 

Tukang pos datang.

Matanya jelalatan, memicing dan memastikan tidak ada suaminya.

“Tik, siapa di depan?.” Suaminya yang sedang di kamar mandi berteriak.

“Bukan siapa-siapa.”

 

Tiba-tiba suaminya sudah menghadangnya. Dia tampar istrinya.
“Berani kamu ya, ambil punyaku.”

 

Tika semakin bingung, darimana suaminya tahu ada bungkusan untuknya.

“Jangan dibuka!. Aku nda mau kamu mengalami hal yang sama.”

“Diam kau.”

 

Dia ambil pisau yang sudah berlumurah darah kering dari atas lemari bajunya.

“Hahahaha, akhirnya datang waktuku. Aku puas telah membuat semua yang menghinaku mati. Saatnya aku buat kematianku sendiri.”

 

Rupanya dia tak berhati-hati, saat mengambil pisau untuk menghujam dirinya, banyak benda berhamburan menuju tubuhnya, jatuh dari atas lemari dan mendarat dengan sempurna di badannya.

 

“Aaak, aaak…Tikkkkk.”

“Duh gustiiiii, sampeyan kenapa?”.

 

Tika bingung, dia hanya melihat Cilako menunjuk ke tengkuknya.

“Aku mesti ngapain?. Aku bingung.”

 

Tika ambil tongkat di belakang ranjangnya, dia pukulkan ke tengkuk suaminya, dan triiiiing. Ada koin keluar dari mulutnya.

Cilako selamat, koin itu telah menyelamatan nyawa Cilako. Gusti Allah belum ijinkan Cilako mencelakai dirinya sendiri. Dia harus bertanggung jawab terhadap kematian teman-temannya.

 

“Maaf Bu, kami sudah berusaha. Ibu yang sabar ini sudah kehendak Tuhan.”

 

Tika menangis dengan kuat. Pukulan di tengkuknya telah mengalahkan koin keberuntungan Cilako.

 

#Bandung, 10 April 2020

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.