Jalan Panjang Menuju Komunikasi yang Ideal
Semua masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi. Tapi tentu saja, komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang ideal. Sayangnya, komunikasi yang ideal adalah sebuah jalan panjang yang penuh dengan kerikil. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dicapai.

Terlihat mudah, ternyata sulit. Bisa jadi itulah gambaran umum tentang fenomena komunikasi. Terlihat mudah karena komunikasi adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian kita. Hampir setiap hari kita melakukannya. Jangankan kita yang masih dikaruniai panca indera yang masih berfungsi dengan baik, mereka yang memiliki keterbatasan pun selalu memiliki cara untuk bisa berkomunikasi dengan yang lain.
Apalagi, saat ini kita berada di jaman yang semuanya serba canggih. Teknologi komunikasi telah berkembang dengan pesat. Kini, memiliki keluarga atau pasangan yang terpisah ribuan kilo bukanlah neraka. Jarak hanyalah soal angka yang bisa ditembus selama ada pulsa ataupun kuota. Tinggal telpon atau video call, beres.
Bayangkan bila kita hidup di masa…Kerajaan Kutai! Tidak ada telepon apalagi internet. Satu-satunya cara berkirim kabar pada mereka yang jauh adalah dengan berkirim surat. Itu pun bukan dengan menggunakan media kertas, tapi dengan media daun lontar. Wah, repot juga, ya? Terlebih kita harus menunggu dalam hitungan hari (bahkan mungkin bulan), menunggu surat kita berbalas. Dalam hal ini, sungguh kita harus angkat topi pada para pendahulu kita. Betapa kuat hati mereka. Lha kita? Pesan WA dibalas terlambat semenit saja sudah gusar. Eh, kok kita?
Lalu, dimana letak kesulitannya?
Begini. Untuk bisa memahami letak kesulitan komunikasi, terlebih dahulu kita harus sepakati bahwa komunikasi, nyatanya, tidaklah sesederhana seperti yang kita pikir. Komunikasi bukan hanya proses menyampaikan pesan semata. Karena jika ruang lingkup komunikasi hanya sebatas pada penyampaian pesan saja, maka logikanya, dengan kecanggihan teknologi yang kita miliki saat ini, seharusnya kesalahpahaman atau masalah yang timbul karena komunikasi tidak perlu ada.
Tapi buktinya, konflik komunikasi tetap ada, bahkan berbanding lurus dengan kecanggihan teknologi itu sendiri. Pernah dengar istilah tweet-war? Itu salah satunya. Sayang sekali, memang. Padahal komunikasi bisa menjadi solusi dari tiap permasalahan.
Saya jadi ingat peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Ada kesalahpahaman yang terjadi diantara ibu-ibu anggota grup Whatsapp, dimana saya termasuk salah satu anggotanya. Kesalahpahaman bermula saat ada salah satu anggota, sebut saja Bu Wiwik, yang salah menafsirkan pesan dari Bu Erni. Akibatnya, terjadi aksi berbalas pesan antara Bu Wiwik dan Bu Erni yang berujung pada keluarnya Bu Wiwik dari grup Whatsapp. Beruntung, perseteruan antara Bu Wiwik dan Bu Erni tidak berlangsung lama. Ada anggota lain yang berinisiatif menggelar pertemuan kedua belah pihak.
Begitulah. Dengan komunikasi, segala masalah dapat diselesaikan. Betapa sering komunikasi meyelamatkan suatu hubungan. Suami istri dari ambang perceraian, ataupun guru dan wali murid dari prasangka-prasangka yang mungkin timbul sebagai efek dari adanya pembelajaran jarak jauh.
Tapi tentu saja, komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang ideal. Meski, seperti yang sudah disebutkan di awal, komunikasi adalah sesuatu yang terlihat mudah tapi ternyata sulit. Untuk bisa mencapai komunikasi yang ideal sebagai sarana untuk memecahkan masalah, perkembangan teknologi saja tidaklah cukup.
Jika diibaratkan, komunikasi yang ideal serupa jalan panjang yang penuh dengan kerikil. Kerikil dalam komunikasi bisa berwujud pesan yang sulit dimengerti, adanya perspektif negatif komunikan terhadap komunikator, penggunaan bahasa yang tidak sama maupun gangguan fisik yang diderita komunikan atau komunikator.
Lantas, apakah itu berarti komunikasi yang ideal sulit terwujud? Belum tentu. Anda kalau mau pergi ke suatu tujuan dan ternyata jalannya penuh kerikil, apakah itu berarti Anda tidak akan pernah bisa sampai ke tujuan? Belum tentu, bukan?
Sebetulnya, kunci komunikasi ideal terletak pada komunikan. Secanggih apapun teknologi jika manusia, sebagai subjek, masih enggan untuk membangun konektivitas satu sama lain, maka komunikasi ideal tidak akan terbentuk. Jika komunikasi yang ideal saja tidak terbentuk, bagaimana bisa mengatasi masalah dengan komunikasi?
Ini mirip seperti apa yang diungkapkan band The Cardigans lewat lagunya yang berjudul ‘Communications’ :
If you want communication
That's what you get
I'm talking and talking
But I don't know
How to connect
Dalam kehidupan bermasyarakat, hal serupa biasanya terjadi saat ada musyawarah. Misalnya saja, dalam bahasa jawa, seseorang berkata “pokok’e” atau “pokoknya”. Nahasnya, bagi mereka yang memiliki perbedaan pendapat, penggunaan kata “pokok’e” yang terkesan memaksakan pendapat ini dapat membuat musyawarah jadi memanas.
Alih-alih menemukan solusi dari permasalahan yang terjadi, musyawarah justru bisa memantik konflik antara kedua kubu yang bersilang pendapat. Hal tersebut tentu tidak akan terjadi seandainya masing-masing pihak membangun konektivitas satu sama lain, menyingkirkan prasangka, tidak bersikeras dengan pendapat pribadi termasuk kemauan untuk mendengarkan orang lain.
Sekarang, semuanya kembali pada diri kita masing-masing. Mampukah kita menyingkirkan kerikil-kerikil yang kita temui di sepanjang jalan demi menuju komunikasi yang ideal? Sulit, memang. Tapi bukan berarti tidak bisa.
Alangkah indahnya jika komunikasi ideal benar-benar bisa terbentuk di semua lini kehidupan. Suatu keadaan yang bisa membuat masalah, apapun bentuknya, bisa dicari solusinya secara bersama-sama. Karena kita yakin, semua masalah bisa diatasi dengan komunikasi.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.