Maksa Main

Maksa Main
Image by Meredith from Pixabay

 

Diam-diam, aku keluar dari kamarku. Suasana rumah sangat sepi, tak ada siapa-siapa karena abang dan kedua adik laki-lakiku sedang tidur siang di kamar mereka bersama. Sudah sejak habis makan siang tadi. Ayah tampaknya sedang sibuk di gudang belakang, demikian dugaanku kalau merunut ke suara-suara yang terdengar dari arah situ. Perlahan, kubuka pintu kamar Ayah-Ibu, dan masuk ke dalam kamar itu.
 
"Bu, aku boleh main keluar rumah?" tanyaku pada Ibu, yang sedang membaca buku berbahasa Belanda sambil berbaring di tempat tidurnya.
 
Ibu melihat ke arahku, lalu melirik ke jam tangannya, dan kembali melihat ke arahku lagi. Kedua alis matanya kini terangkat. Raut wajah beliau nyata-nyata tampak sebal.
 
"Memangnya sekarang jam berapa?" Ibu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi, sambil mengganti posisi berbaringnya menjadi menyamping.
 
Punggung beliau kini menghadapku. Tepatnya, Ibu kini membelakangiku. Tanda bahwa dalam diam beliau berkata bahwa aku harus kembali ke kamarku untuk tidur siang.
 
Duh…
 
Aku diam saja, karena tahu dan sadar benar bahwa saat ini adalah waktu tidur siang kami, anak-anak Ibu dan Ayah, yang wajib dijalani aturannya. Tapi, aku bosan sangat. Aku sudah mencoba tidur tadi. Selama satu jam bahkan lebih, aku golar-goler di tempat tidur. Balik ke kanan, bolak ke kiri. Berganti posisi dengan memindahkan letak bantal ke bagian kaki, dan kembali ke posisi asal bantal semula berada. Begitu terus.
 
Tak berhasil memejamkan mata, aku alihkan perhatian ke main boneka, lalu ganti membaca buku, dan juga mencari berbagai kegiatan sendiri lainnya. Namun, semua itu tak bisa mengusir kebosananku. Aku jemu!!! Aku malah jadi ingin keluar. Ingin main di luar rumah.
 
Aku tahu, ada beberapa tetangga yang anak-anaknya tak harus tidur siang seperti di keluarga kami. Kurasa, mereka akan senang-senang saja menerima kedatanganku meski pada jam tidur begini, karena kan bagi mereka waktu-waktu seperti ini bukan jam tidur. Jadi, ya pasti tak akan ada masalah apabila aku pergi ke rumah mereka.
 
Saking jemunya dan begitu ingin-nya aku bebas bermain, meski sadar bahwa ini bukan waktunya bermain keluar rumah, maka aku nekat saja coba-coba minta ijin main pada Ibu-ku. Siapa tahu aku beruntung!
 
Menyadari aku masih tetap berdiri di samping tempat tidur dan bukannya pergi kembali ke kamarku, Ibu mengubah posisi berbaringnya kembali ke telentang seperti semula. Matanya tetap menempel pada buku yang tengah dibacanya.
 
"Balik saja ke kamar, tidur dulu satu jam lagi, eh,” Ibu menghentikan kata-katanya sambil melirik ke jam tangannya lagi, “dua jam lagi kamu baru boleh main keluar! Mandi dulu tapinya ya!" tegas Ibu sambil kemudian kembali membaca bukunya, di saat bahkan ketika beliau belum lagi selesai mengucapkan kalimat perintahnya.
 
Dengan loyo aku keluar dari kamar Ibu, dan masuk kembali ke kamarku. Aku benar-benar mati angin. Duh, sungguh bosan! Ada godaan untuk kabur saja, tapi itu artinya aku harus meloncat pagar kawat ayam yang cukup tinggi untukku yang masih cilik ini.
 
Tiba-tiba, kudengar suara gerakan Ayah di ruang depan, yang berada tepat di depan pintu kamarku. Sepertinya, Ayah kini sedang bermain kartu solitaire kesukaannya.
 
Di kepalaku segera timbul sebuah ide. Namun, harus kupastikan bahwa rencana itu takkan tercium, eh, terdengar oleh Ibu. Kucoba mengamati tajam-tajam dengan kupingku, apakah gerangan Ibu ada bersama Ayah. Sepertinya sih tidak, karena tak ada konversasi di antara beliau berdua. Semoga terus begitu, bisikku dalam hati.
 
Tetap saja, situasinya belum ideal. Sebab, ruang depan, kamarku, dan kamar Ayah-Ibu; jaraknya berdekatan. Terlalu dekat, yang artinya rencana yang tengah kususun ini bisa jadi akan ketahuan Ibu. Artinya: gagal main keluar.
 
Jadi, aku masih harus menunggu di dalam kamar, sampai saat yang pas tiba, yang semoga tak lama lagi. Sampai tiba kesempatan emas yang kutunggu-tunggu itu, tak ada lagi yang dapat kulakukan.
 
Beberapa saat kemudian—sebenarnya hanya beberapa menit kemudian sih—aku mengintip ke luar melalui jendela kamarku. Karena, kudengar suara gerakan Ayah yang kini rupanya sudah di luar, yang entah sedang ngapain karena detil itu tak penting bagiku. Kulihat posisi Ayah tepatnya berada di dekat pintu pagar. Dalam perkiraan dan pemikiran kanak-kanakku, ini adalah saat yang tepat! Waktunya sudah tiba! Time for me to shine!
 
Dengan segera aku melesat keluar. Tentu saja dengan tetap berhati-hati agar jangan sampai Ibu mendengar pintu kamarku terbuka.
 
"Ayah, boleh aku main ke luar?" tanyaku manis pada Ayah.
 
Ucapanku kubuat pelan, supaya suaraku tak melayang ke dalam ruang depan dan lalu tiba di kamar Ibu.
 
"Sudah tanya ke Ibu apakah boleh?" Ayah menjawab dengan bertanya.
 
Suara beliau biasa saja sebenarnya. Tapi, menurutku yang takut Ibu akan mengetahui niatku, terlalu keras deh. Bikin aku deg-deg-an. Kulirik pintu ruang depan, dan sepertinya aman saja.
 
"Sudah. Kata Ibu, tanya Ayah," jawabku mantap dan manis dan masih tetap dengan pelan suara.
 
"Baiklah," kata Ayah.
 
Tangan kanan Ayah lalu meraih kait pagar yang tingginya di luar jangkauanku—ini sebabnya mengapa aku tak dapat kabur begitu saja: kait pagar terlalu tinggi buatku.
 
Sesungguhnya, aku kagum bahwa rencanaku ini berjalan mulus. Bahwa, Ayah tak mempertanyakan mengapa pada jam tidur seperti itu aku minta ijin pergi main ke luar rumah. Begitulah. Tapi, ya sudah, lupakan saja keherananku itu. Kelihatannya semua baik-baik saja toh…
 
Melihat pagar terbuka, hatiku senang bukan buatan. Aku tersenyum bahagia. Kakiku sudah semakin sangat siap untuk melangkah keluar pagar...
 
"Hei..., hei..., siapa bilang Ibu kasih ijin kamu buat main keluar!?" tiba-tiba kudengar suara Ibu menggelegar.
 
Dengan kaget, Ayah dan aku menoleh bersamaan ke belakang kami. Kulihat Ibu berdiri di ambang pintu masuk. Kedua tangannya berkacak pinggang.
 
"Pantas! Memang aneh, ini kan jam-nya tidur!" kata Ayah dengan suara yang kini terdengar seperti menggeledek penuh amarah.
 
Aku merunduk panik, bagai binatang mangsa yang tersudut dan siap diterkam pemangsanya. Tentu saja Ayah marah, karena beliau sudah dibohongi oleh anak perempuannya mentah-mentah!
 
"Sana ke pojokan!!!" seru Ayah menunjuk ke dalam rumah.
 
Kalau dalam film-film kulihat orang tua menghukum anak-anaknya dengan menyuruh mereka masuk ke kamar, orang tuaku lain lagi. Hukuman yang harus kujalani adalah berdiri di salah satu pojokan rumah, menghadap ke dinding. Selama satu atau dua jam. Sungguh! Lebih enak disuruh masuk ke kamar tentunya! Tak capai harus berdiri berjam-jam.
 
Sore itu aku menjalani hukuman menghadap tembok sampai selesai jam tidur siang anak-anak di keluargaku. Para sekandungku kulihat satu per satu keluar dari kamar, mandi, lalu pergi main ke luar rumah. Sementara aku, meski tak lagi harus menghadap ke tembok, dan sudah boleh bebas bergerak, akan tetapi hukumanku belum selesai. Aku tak boleh keluar rumah sama sekali pada sore itu.
 
Aku hanya bisa memandang ke luar melalui jendela dengan kesal. Bidang kosong di depan rumahku yang lapang, tampak ramai dan seru dengan anak-anak kompleks yang bermain. Berbagai permainan mereka lakukan. Engklek, galah asin, tok kadal, lompat karet, gundu, sampeu bunga kamboja, dan lainnya.
 
Hatiku sungguh menjerit atas ketakakdilan ini...    =^.^=
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.