Warta Membawa Petaka (II)

Warta Membawa Petaka (II)

“Pimpinan menganggap liputan Rina akhir-akhir ini penuh dengan konflik kepentingan.  Ini bisa merugikan perusahaan,” kata Wisnu.

“Kok aku  sulit menerima ini ya,” sergah Ati dengan nada tidak sabar.

“Aku  mengikuti perkembangan Rina, dari awal dia masuk ke Titian, masih unyu-unyu, masih takut-takut dan terlihat gamang. Tetapi meski masih muda, sudah terlihat kesungguhannya untuk menjadi jurnalis yang baik,  rajin, sopan dan deliver,” jawab Ati.

“Kamu pasti ingat kan,bahwa liputannya sering masuk halaman pertama, bahkan dapat byline. Itu dicapainya dalam waktu yang sangat singkat, 3 bulan,” lanjut Ati.

“Ya tentu saja aku ingat Ati, kan aku editonya saat itu,” sahut Wisnu dengan nada sewot.

“Aku terkesan dengan tulisan Rina, karena mendalam, dan memuat berbagai perspektif. Tulisan pertamanya tentang banjir Jakarta, memuat aspek bencana, kemanusiaan dan lingkungan hidup, lengkap dengan kutipan langsung. Itu sebabnya aku  ngotot tulisannya harus dapat byline,” lanjut Wisnu.

 Pandangannya terlihat agak menewarang, seolah mengenang masa lalu.

“Biasanya wartawan junior belum mampu menulis dengan berbagai perspektif,” kata Wisnu.

“Nah, tuh, kamu mengakuinya. Kok sekarang tiba-tiba bilang bahwa Rina bikin masalah? Kamu juga kan yang merekomendasikan Rina menjadi Editor Junior,” cecar Ati.

“Denger ya ! Dalam pengalamanku sebagai HRD di perusahaan ini, sudah 10 tahun, talenta seperti Rina itu langka. Jadi dia itu asset buat perusahaan ini, bukan liability!!!,” lanjut  Ati dengan suara tinggi, matanya yang bulat terlihat semakin membesar, bibir tipisnya bergetar.

 Wisnu mengambil nafas panjang. Pria berusia 40 tahun dengan tubuh sedang  dan wajah menarik ini sudah hafal dengan sifat Ati. Meski Ati adalah manajer Sumber Daya Manusia atau HRD, yang diharapkan untuk selalu tenang, objektif terhadap kinerja para staf,  sifat Ati temperamental.

Kalau Ati sudah bersimpati pada seorang staf, maka kecenderungannya adalah membela staf tersebut. Sebaliknya bila mendapatkan kesan kurang baik tentang seorang staf, maka penilaiannya cenderung negatif. Wisnu sering mendapatkan Ati duduk termenung di kantin dekat kantor dengan mata sembab, saat awal-awal Ati bergabung di Titian.

 Suatu siang, lewat jam makan siang,  sekitar 10 tahun yang lalu, Wisnu kembali mendapatkan Ati, yang baru saja bergabung sebagai staf HRD termangu, memandangi Soto Betawi  di depannya. Mangkuk soto masih penuh, aromanya yang harum menggugah rasa lapar Wisnu. Namun Soto Betawi itu  jelas belum disentuh. Wajah Ati  yang melankolis, terlihat sendu, matanya yang besar tampak berkaca-kaca. 

“Ini sotonya gak mau dimakan? Buat aku aja kalau gitu,” kata Wisnu, berupaya memecahkan suasana.

“Kok langsung menyimpulkan sih, sok tahu,” jawab Ati galak.

 “Ya udah dimakan dong, kok kayak orang meditasi aja,” balas Wisnu dengan tersenyum. Ati membuang muka yang sudah berubah menjadi cemberut, sambil mendekatkan mangkok soto dan mulai menyendoknya perlahan.

Gurihnya Soto Betawi berwarna putih kecoklatan paduan santan kecap, potongan daging sengkel, rupanya mulai melunakkan hati Ati. Ia mulai mengangkat kepalanya dan memandang Wisnu yang sedang membuang asap rokok ke samping.

Mereka duduk berhadapan dengan diam, Wisnu menikmati rokoknya, Ati menikmati sotonya.  Dari sudut matanya, Wisnu melihat belum ada minuman di meja Ati.

“Aku mau pesen minum nih, kamu mau es teh tawar?,” Ati mengangguk. Es  teh tawar rupanya mencairkan hatinya, sambil menyedot minuman kesukaannya, Ati mulai menyapa Wisnu. Mereka bertukar cerita dan Ati menyampaikan bahwa hari itu ia ditegur keras oleh manajer HRD.

“Katanya aku emosional, dan sering tidak objektif dalam menilai kinerja staf. Padahal saya berbicara berdasarkan fakta,” kata Ati. Wisnu mendengarkan saja. Demikianlah persahabatan mereka terbentuk, sampai keduanya menduduki posisi yang cukup tinggi saat ini.

“Kok diem aja sih? Jawab dong pertanyaanku,” sentak Ati yang membuyarkan lamunan Wisnu.

“Gimana mau jawab, kamu udah nyerocos terus kayak mitraliyur,” jawab Wisnu.

“Gini, Karina jurnalis hebat. Bukan hanya hebat, dia memiliki idealisme. Rina sangat serius menekuni masalah lingkungan hidup terutama tentang perubahan iklim. Dia memiliki misi: ‘ikut mengkampanyekan pengurangan emisi karbon,’, jelas Wisnu

  “Itu tercermin dari tulisannya: berpihak,  membela masyarakat yang terpinggirkan dan menyerang  industri energi dan bisnis perkebunan, mengkritik Pemerintah, sehingga tulisannya tidak lagi bisa dikatakan netral, dan ini menggelisahkan bos-bos kita,” lanjut  Wisnu dengan nada berat.

“Tugas liputan yang biasa saja, seperti pembukaan sekolah vokasi di areal perkebunan, bisa jadi tulisan tentang konflik tanah, alih guna lahan dan apa artinya ini semua  untuk emisi karbon,” Wisnu seolah ingin meyakinkan Ati, tentang kerja Rina yang tidak professional.

“Aku sebenarnya terkejut dengan diskusi ini Wisnu. Aku mengenalmu dari dulu. Kamu sangat idealis, berapa kali kamu dipanggil sama para bos karena tulisanmu, karena membahayakan perusahaan” sahut Ati.

“ Ingat liputanmu tentang pembangunan real estate di sekitar hutan lindung di kawasan Puncak? Para bos marah besar, karena tulisanmu mengungkapkan tentang mafia tanah yang menyangkut pejabat penting," lanjut Ati.

 “Bos khawatir itu akan berdampak pada perusahaan. Mereka ingin kamu dipecat. Tapi wartawan senior, para editor, semua membelamu. Dan sampai saat ini kamu masih di sini,”  jawab Ati dengan nada tinggi, wajahnya memerah, rambutnya yang bergelombang bergoyang ke kanan-kiri mengikuti kepalanya yang bergerak kemana-mana.

“Kamu tuh ya, dari dulu sering berasumsi dan temperamental. Darimana kamu tahu aku nggak belain Rina. Aku pertahankan dia mati-matian!! ,” teriak Wisnu.

 “Aku tekankan kepada teman-teman editor dan Pemred, bahwa Karina kita perlukan. Tulisannya lah yang menyelematkan wajah kita di publik: sesuai dengan tag line kita ‘Jembatan Kebenaran,’”sambung Wisnu sengit.

“Aku bahkan  mengatakan meskipun majalah kita penuh dengan iklan yang menyengsarakan rakyat, dan tajuk rencana kita banci, tulisan Karina bisa menjaga marwah  kita sebagai media yang  independen,” kata  Wisnu dengan gigi gemeletuk menahan marah.

“Perutku sampai kembung karena kebanyakan ngopi bareng sama para editor. Aku ajak mereka ngobrol sambil ngopi, dari coffee shop yang baristanya jago, sampai ke kafe yang kopinya cair kayak cucian kaos kaki. Asam lambungku kumat, tapi ada hasilnya, mereka sepakat mempertahankan Karina,” semprot Wisnu dengan kesal.

“Aku tuh ngajak ngobrol kamu untuk menyampaikan usulan untuk Karina, yang juga sudah aku sampaikan ke Pemimpin Redaksi,” lanjutnya.

Ati tertunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.  Kali ini  karena menahan malu. Lidahnya kelu, tidak mampu berkata-kata. Perlahan ia mengangkat wajahnya.

 “Maaf ya Wisnu, aku tidak tahu kamu sudah berjuang mati-matian. Memang aku seringkali berreaksi, sebelum benar-benar mengetahui masalahnya. “Okay  I am all ears now, “ kata Ati dengan tersenyum.

 Menit-menit berikutnya terasa panjang dan menyakitkan buat Ati. Ia diminta menyampaikan kepada Rina, bersama Wisnu, bahwa Rina diminta berhenti meliput masalah lingkungan. Rina akan ditugaskan meliput peristiwa kriminal. Ati sudah biasa menjadi bad news bearer, tapi kali ini dia merasa tugasnya sangat berat, karena ia tahu memindahkan Rina dari liputan lingkungan hidup sama saja dengan membunuhnya. Rina tidak tahan dengan kekerasan fisik, dan sekarang harus meliput peristiwa-peristiwa kriminal.

 

Bersambung ke https://thewriters.id/warta-membawa-petaka-iii

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.