I Owe You

Semua bisa kita milik, kecuali satu: waktu

I Owe You
Foto oleh Binny Buchori

 

I owe you, 
I owe you many things my dear Maura, 
but most of all, I owe you the journey of great minds
 I promised you, we will explore together the thinking, insights, stories of world writers
We will start with “ A Moveable Feast” by Ernest Hemingway…

Kidung gereja Ndherek Dewi Maria mengiringi istirahat abadi perempuan  muda cantik dan bertalenta, di siang yang sejuk itu. Semilir angin meniupkan kesejukan, seolah ingin menyapu kepedihan di hati kami yang menghantarkan Maura menghadap Illahi.

“Maura… , Maura, ”  bisik saya. “Please forgive me. I promised you many things. But I keep postponing them…” Airmata saya jatuh berderai, bercampur dengan titik-titik   airmata  dari ratusan pelayat lainnya, membasahi gundukan tanah yang penuh dengan bunga.  Ingatan saya melaju dengan cepat membawa ke belasan tahun yang lalu, saat pertama kali saya bertemu Maura.

 ***
Dengan rambut tergerai sepanjang bahu, ia mengulurkan tangannya, menjabat erat tangan saya sambil berkata “Maura.” Saya sebutkan nama saya ketika ibunya menerangkan bahwa Maura baru saja pulang dari Inggris, mengikuti program pertukaran pelajar. Maura saat itu masih SMP. Saya berteman baik dengan ibunya, Nurul. “Tante Binny juga dulu sekolah di Inggris, ” kata Nurul. 

Dengan  mata almond eye-nya , Maura menatap saya,  “really?” tanyanya dengan bibir yang nyaris tidak terbuka, namun jelas. Tanpa menunggu, saya pun  nyerocos membagi kenangan saya tentang Inggris yang kelabu, dingin, namun penuh kenangan bagi saya. Saya lupa bahwa pengalaman saya berjarak puluhan tahun dengan Maura. 

“Relatedness” cerita saya sangat mungkin tidak terlalu terasa bagi Maura. Namun, Maura dalam umur yang sangat belia, dengan sabar mendengarkan saya. Tentang sensasi makan fish and chip yang sangat berminyak, tentang udara di Inggris  yang lebih sering berawan kelabu daripada biru, dan tentang asyiknya berjalan-jalan di tengah kota London yang penuh museum dan toko buku.  

Ketika bercerita tentang toko buku, matanya bersinar, Maura sangat senang membaca. Ia juga senang menulis. Nurul memperlihatkan kepada saya essay yang ditulis Maura. Saya tidak ingat lagi judulnya. Yang saya ingat, essay Maura sangat reflektif, ditulis dalam Bahasa Inggris yang sempurna.  Tema tentang tulisan dan buku inilah yang kemudian bisa menyambungkan obrolan lintas generasi. Saya cerita tentang Cotswold, sebuah kecamatan di Selatan Inggris yang menjadi salah satu inspirasi penulis perempuan Inggris,  Jane Austen. Dan begitu saja, saya pun menjanjikan Maura untuk  suatu saat jalan-jalan ke Cotswold, semacam ziarah sastra. Suatu saat, tanpa tanggal, bulan, dan tahun yang pasti.

***
Hari, bulan, tahun berkejaran dengan cepat. Maura juga bertumbuh dengan pesat: dari anak SMP menjadi menjadi perempuan muda yang menginjak dewasa  Rambutnya masih panjang, cara bicaranya masih sama, bibirnya tidak terbuka lebar, namum artikulasi kalimat-kalimatnya terdengar jelas dan cerdas. Tubuhnya tinggi dan langsing, dengan wajah bulat telur dan karakter yang kuat.

Seperti ketika saat pertama kali bertemu, Maura  menyapa saya dengan santun dan kami bisa asyik ngobrol tentang buku. Maura masih suka menulis dan juga menggambar. Maura menjadi dewasa. Tidak saja bacaannya yang makin luas, tetapi ia memiliki berbagai pertanyaan tentang masalah-masalah sosial yang dilihatnya, terutama masalah ketimpangan. Hal ini membuatnya sering  bertanya:  mengapa ia hidup dengan kenyamanan, dan di lain pihak  begitu banyak masyarakat yang hidup dengan segala keterbatasan? Jawabannya terus dicari dengan berdiskusi dengan kedua orang tuanya,  dengan membaca dan dengan bersikap egaliter serta adil kepada orang-orang di sekelilingnya.

Sedari kecil, hingga dewasa, Maura tidak pernah sombong. Meski pun datang dari keluarga yang berkecukupan, dengan ayah-ibu yang terkenal, ia tidak pernah bersikap sebagai putri yang menuntut perhatian dan pelayanan. Ketika harus mencari tempat magang, Maura memilih magang sebagai pelayan di coffee shop wara laba. “I think I really want to work there, tante. I love their green tea late, and I can drink it for free if I work there,” katanya suatu saat dengan wajah serius. Saya tertawa.

***

Minatnya akan seni dan kegemarannya menggambar, membawa Maura ke Singapore. 
Ia diterima di La Salle College of the Arts, Singapore. Saya diajak Nurul mengantar Maura ke Singapore. Hati saya ikut terenyuh ketika kami meninggalkannya sendirian di tempat kos-nya, tidak jauh dari sekolahnya. Rasanya Maura masih terlalu kecil untuk merantau sendiri di negeri orang. Beberapa bulan  kemudian saya mendengar dari Nurul bahwa Maura sudah mulai mandiri. Bisa mengatur uang saku yang diberikan, lincah menggunakan transportasi publik. Saya pun bersyukur mendengarnya.

Selama beberapa saat saya tidak bertemu langsung dengan Maura. Kesibukan saya dan Nurul dalam ritme kehidupan serba cepat Jakarta menyebabkan kami  agak jarang bertemu.  Ketika akhirnya kami bisa bertemu lagi, Maura sudah kembali ke Jakarta. Spektrum tema-tema buku yang dibacanya makin luas, jauh lebih luas dari yang sayabaca; dan pada saat ini lah Maura mulai menceritakan minatnya untuk menjadi penulis.

“I think it will be nice to live as a writer, tante. You can live anywhere and share your thoughts,” katanya. “It is nice Maura. At the same  time, it is also quite challenging,” kata saya. Saya berbagi pandangan: profesi menulis mendasarkan kepada beberapa hal antara lain banyak membaca, banyak mengamati, mengendapkan pengalaman memiliki creative attitude, dan paling penting disiplin.  Menulis setiap hari. Ini yang saya pelajari dari Oom Budiman Hakim dan Kang Asep Herna dalam kelas menulis The Writer.

“Do you know Maura, that Ernest Hemingway wrote every day when he was in Paris?  His thoughts, experiences became a book  A Moveable Feast. Have you read it?” tanya saya pada gadis bertubuh tinggi, langsing dengan hidung mancung ini. “I haven’t tante,” jawabnya dengan senyum manis. Saya pun berjanji akan mengirimkan buku itu kepadanya, sambil menerangkan bahwa buku itu sudah lama, saya beli saat saya mahasiswa di Inggris. Sudah lebih dari 20 tahun. “It’s okay tante,” katanya. Saya bahagia dengan percakapan kami, entah mengapa saya merasa bisa mendukung mimpi Maura.

Namun A Moveable Feast sampai saat ini masih tersimpan di lemari buku saya. Saya belum mengirimkannya pada Maura. Pikiran dan perhatian saya bercabang  ke sejuta hal,  ke beragam kegiatan dan pekerjaan, sehingga janji saya padanya tidak saya lakukan. Janji yang sangat mudah ditepati: mengambil buku, mengirimkannya melalui kurir. Sesederhana itu. Waktu yang saya miliki tidak saya gunakan untuk menepati janji saya.

“Saya pesan, kepada hadirin, bapak-ibu, teman-teman yang sudah berkeluarga atau akan berkeluarga, pergunakanlah waktu untuk saling mengasihi, saling mendukung. Karena kita bisa memiliki semua kecuali satu: waktu…” eulogy Melkior, adik Maura terngiang-ngiang di telinga saya.

In your honour, dear Maura,
I will read A Moveable Feast again,
I will share the story with you
Somehow,  I know you will love it  -- a journey of one great writer

Bintaro, Februari 2022


 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.