Den Sangko Rancak Marapulai, Kironya Ketek

Den Sangko Rancak Marapulai, Kironya Ketek

“Den sangko rancak marapulai, kironyo ketek.”

Saya selalu tersenyum ketika mengingat kalimat ini. Suatu ketika, Papa menceritakan dengan polos ketika saat ingin melamar Mama, Papa dan keluarga harus datang ke Padang. Keluarga besar Mama pada saat itu masih tinggal di Padang. Jadi Papa bersama dengan orang tuanya dan beberapa famili dekat harus datang ke Padang dari Jakarta untuk bertemu dengan keluarga Mama. Pada saat itu, tahun 1962, transportasi kapal laut merupakan salah satu angkutan umum yang dapat diandalkan dan ekonomis.

Ternyata perjalanan Papa pada saat itu, tiba dua hari lebih awal dari waktu yang dijadwalkan. Sambil tertawa, Papa mengatakan mungkin ombak besar yang mendorong kapal sehingga lebih cepat tiba. Papa mengaku, kalau Papa senang dengan percepatan waktu sampai di Padang. Dengan sedikit tersipu malu, Papa mengatakan, kalau sudah tidak sabar bertemu dengan Mama.

Begitu tiba di rumah orang tua Mama, ternyata di sana persiapan untuk menyambut keluarga Papa belum rampung semua. Masih terlihat ada pengerjaan pengecatan dinding rumah depan. Dan masih nampak beberapa tukang sedang mengerjakan pekerjaan lainnya. 

“Papa, sudah bagai pembesar saja,” kembali dengan senyum-senyum Papa ke GR an.

Papa lanjut bercerita, begitu turun dari mobil Papa agak minder melihat rumah Mama yang begitu besar. Di bagian depan rumah, terlihat seorang lelaki sekitar berumur 50 tahunan, sedang berdiri di ujung atas sebuah tangga yang lumayan tinggi. Sepertinya lelaki itu adalah tukang cat.

Begitu Papa melewati bawah tangga tersebut, sambil mencat dinding, sang tukang berdendang.

“Den sangko rancak marapulai, kironya ketek,” tiga kali dia berdendang dengan kata-kata yang sama. Pada saat itu Papa tidak mengerti sama sekali apa arti kata-kata itu.

Saya spontan tertawa, sambil merasa iba dan kasihan sama Papa. Saat pertama kali Papa menceritakan itu, saya sudah remaja, setiap hari mendengar obrolan keluarga Mama, tentu saja saya mengerti apa arti kalimat itu.

“Kurang Asemnya, habis si gaek itu bersenandung, Dia terkekeh-kekeh,” kata Papa.

Saya jadi ikut terkekeh-kekeh juga.

“Wah, beraninya si tukang itu nyindir, ya Pa?”

“Dia sangka Papa tinggi besar nan cakep, ya? Kiranya pendek,” ledek saya.

“Betul. Untung Papa baru tahu artinya setelah sampai kembali di Jakarta. Kalau gak, malu juga sih.”

Itulah Papa saya. Tidak tinggi tegap. Betul pengamatan sang tukang cat itu. Memang badannya kecil, namun istimewanya Papa mempunyai hati yang “besar”. Mama sangat beruntung dipersunting orang ketek ini.

*****

Saya tidak pernah bertanya ke Papa apa sekolah terakhirnya. Saya tahu dari kakaknya yang seorang dokter, kalau Papa tidak mempunyai gelar. Papa, sebagai anak bungsu, lebih banyak fokus membantu ke dua orang tuanya di pabrik kue kering milik mereka. Jadi memang untuk mencapai sekolah tinggi, Papa tidak mempunyai kesempatan seperti kakak-kakak lainnya.

Tetapi sepanjang saya bersamanya, Papa tidak pernah minder dengan kehidupan akademisnya. Kami anak-anaknya pun tidak pernah malu mengakui kalau Papa tidak mempunyai gelar.

Sesuatu yang membuat saya takjub adalah Papa tidak mempunyai teman. Sekali lagi bukan karena Papa minder karena keberadaannya, bukan sama sekali. Papa tidak ada waktu untuk bergaul. Kesehariannya sibuk dengan berbagai macam kegiatan.

*****

Pagi hari, begitu Papa dan Mama bangun tidur. Papa selalu yang merapikan tempat tidur. Selalu. Tidak pernah ada satu hari yang dilewatkan tanpa menarik speri sampai licin dan melipat selimut sebegitu rapi sampai seperti selimut itu seakan baru selesai disetrika.

Kenapa harus Papa yang menarik seprei dan  merapikan selimut? Saya pernah bertanya kepadanya. Menurut Papa itu pekerjaan berat. Menarik sprei dan memasukannya ke bawah kasur itu pekerjaan yang cukup memerlukan tenaga. Papa kasihan kalau Mama yang harus mengerjakannya. Setiap kali masuk ke kamarnya, saya tidak pernah tega duduk di atas tempat tidur yang rapi itu, sebelum salah satu dari pemiliknya sudah berbaring duluan.

Rutin pagi ke dua, Papa langsung ke dapur dan membuat dua cangkir gelas susu coklat. Menurutnya, urusan dapur hanya itu yang bisa Papa kerjakan. Setengah berbisik ke saya, “Susu coklat buatan Mama tidak konsisten, kadang kemanisan, kadang hambar, sering kepanasan. Mending Papa saja yang buat.”

Saya pernah mencicipi susu coklat buatan Papa selama kurang lebih dua minggu, ketika saya hamil pertama di bulan-bulan awal saya tidak bisa makan apapun. Maka susu coklat ini pengganti nutrisi yang saya perlukan. Saya yang tidak suka susu, malah kali itu terbalik, ketagihan. Sungguh rasa susu dan coklat yang seimbang, serta suhu air yang pas. Hangat, tidak kepanasan. Saya paham betul sebagai orang yang sangat rapi dan disiplin, pasti Papa meracik minuman ini dengan takaran yang konsisten tepat antara banyaknya susu dan coklat, juga jumlah air serta suhu yang selalu sama.

*****

Kegiatan selanjutnya, setelah menikmati seluruh tegukan susu coklatnya, Papa dengan kaos putih dan celana pendeknya, langsung menuju kebun belakang. Di sanalah, berjam-jam Papa bergaul dengan semua “teman-temannya”. Semua mahluk hidup disana bersuka cita berteman dengan Papa.

Bagi saya ketika memasuki kebun bagian tanaman hias, rasa kalbu menjadi tenang. Semua tanaman di sana baik di pot maupun yang tertanam di tanah, berdiri gagah. Jadi saya sering mengibaratkan sangat beruntung kalau bisa mendapatkan pohon dengan berdaun kering. Semua pohon segar dengan pancaran warna sesuai dengan karakter dan bentuknya masing-masing.

Begitu berkeliling di kebun tanaman hias ini, hati adem tentram. Seakan setiap pohon menyapa gembira tamu yang datang dengan sedikit sombong memamerkan keindahan “tubuh” mereka masing-masing. Hampir tidak ada daun yang cacat, karena dimakan kutu atau sobek.  Pun tidak ada pohon yang daunnya kusam atau berdebu. Cerita yang pernah saya dengar dari Papa, setiap pohon cara perawatan daun beda-beda satu sama lainnya. Ada yang harus dilap dengan air putih. Ada yang perlu dilap dengan air susu. Atau ada juga yang cukup disiram saja.

Sama halnya dengan kebun bagian sayur-sayuran. Gemes rasanya melihat pohon timun, terong, oyong, cabe, kacang panjang, tomat dan masih banyak lainnya. Sayur dan buah yang gemuk-gemuk bergantungan. Saya yang tinggal bersebelahan dengan Papa, sangat beruntung. Ketika saya memasak tiba-tiba butuh sesuatu seperti, daun pandan, daun kari, jeruk nipis, daun salam, sereh, kemanggi, belimbing sayur, kunyit, jahe dan lainnya, bahkan daun pisang sekalipun, saya tinggal teriak dan minta tolong pembantu untuk “mencuri” rempah yang saya butuhkan dari rumah sebelah.

Nah, teman lainnya Papa, beberapa tahun terakhir ini hanya ada ayam, ikan koi, ikan gurame, dan ikan lele. Dari saya kecil rasanya sudah banyak jenis binatang yang menikmati hidup mewah dengan Papa di sana. Pernah ada kambing, kelinci, bebek, kura-kura, burung, dan lainnya. Papa sangat memanjakan mereka. Semua binatang-binatang gemuk dan sehat. Serta lucu-lucu. Pernah tahu ada kelinci bisa makan kacang dan minum bir? Di tempat Papa, kelincinya bisa “ngobrol” sambil makan kacang dan ngebeer bareng.

Saya pernah diberitahu kalau ayam peliharaannya bisa marah ketika ada orang lewat di depan kandangnya tanpa menyapa penghuni si “jago”an. Suatu hari saya pun lewat dan berdiri diam selama dua menit di depan kandang ayam yang dimaksud. Betul saja, ayam jago yang paling serem wajahnya mulai berkokok panjang ribut. Seperti sang jagoan sewot. Lalu saya sapa, “Pletok-pletok-pletok.” Eh, dibalasnya. Pletok-pletok-pletok. Nyata sapaan si jago kali ini lebih lembut dari sebelumnya. Lalu saya menikmati percakapan itu, antara saya dan ayam jago. Herannya dari sekian banyak ayam, hanya  ayam yang satu ini saja yang rada sensi serta baperan.

Ya, begitulah keadaan sekitar kebun Papa. Oh ya, di ujung kebun ada sebuah rumah “kaca” yang atapnya terbuat dari plastic gelombang putih. Jadi mirip dengan rumah kaca yang sinar matahari dapat tembus masuk ke ruang itu. Ukuran ruang itu sekitar dua kali dua setengah meter. Kecil serta sederhana. Di sana lah, Papa merawat pohon-pohon yang sedang “sakit”. Entah perlu ganti pupuk, atau perlu ada hama yang menyerang. Sering para keluarga menitipkan pohon-pohonnya mereka yang sakit untuk dirawat Papa. Dan bila sudah segar pohon itu serahkan kembali ke pemiliknya.

Semua pohon dan binatang peliharan Papa tidak pernah ada yang dijual. Semuanya menjadi koleksi pribadinya. Kalau dibagi-bagikan, ya sering sekali. Suatu ketika Papa mengajak saya ke kebunnya. Dia terkekeh-kekeh. Papa kaget kalau pohon koleksinya itu harganya mahal dan sedang ramai dibicarakan di sosial media.   

“Seumur hidup urus pohon baru tahu kalau namanya pohon ini, janda bolong. Mahal lagi.”

“Untung Mama ga tahu, ya, bertahun-tahun papa sering bercengkraman dengan janda hahaha…”

Saat Papa sudah pensiun, setengah hari Papa meluangkan waktunya di kebun. Sebelumnya Papa mempunyai pabrik percetakan. Jadi begitu pabrik mulai beroperasi, setelah berkebun Papa langsung masuk ke pabrik untuk mendampingi semua produksi di sana.

Sebagai orang yang sangat berdisplin dan rapi. Pabrik percetakan itu dengan beberapa mesin cetak, mesin potong, dan mesin lainnya. Pabrik yang selalu bersih. Sukar menemukan cat yang berceceran di lantai. Potong-potongan kertas yang begitu rapi, sisa-sisa kertas langsung masuk tong sampah yang ada hampir di setiap sudut ruangan.  Ketika masuk ke gudang kertas dan tinta, siapa pun pasti takjub. Semua tersusun rapi sesuai dengan ukuran dan warna kertas. Saya pernah membandingkan gudang itu dengan toko baju di Mall. Dimana baju-baju tersusun atau tergantung rapi sesuai dengan model dan warnanya masing-masing. Nah, sedang gudang perkakas, semua tersusun dalam wadah sendiri-sendiri. Ada yang di tempatkan dalam dus-dus. Misalnya paku, masing-masing ukuran menempati kotak sekat tersendiri. Jadi bila perlu paku ukuran tertentu, dengan mudah untuk mencari dan mengambilnya.

Kalau Papa mengatur gudang dan pabriknya saja segitu rapi, tentu seluruh isi rumahnya tertata sangat apik. Ibarat tutup mata pun, Papa dengan mudah dapat menemukan barang yang dibutuhkannya. Seorang teman saya pernah makan siang bersama di rumah Papa. Kami duduk bersama. Diam-diam rupanya Papa meminta pembantu untuk mengambil cabe rawit dari kebunnya. Papa ingin membagikan cabe rawit itu untuk teman saya. Kebetulan teman saya sedang berdiri dan mengambil air minum dari dalam kulkas. Persis di sebelah kulkas, ada lemari yang bagian tengahnya ada beberapa laci.

“Neng, tolong buka laci nomor tiga, dan ambil kantong plastik yang ada di nomor tiga dari kanan di baris ke dua,” Papa minta tolong ke teman saya untuk mengambil plastik karena ke dua tangan Papa penuh dengan cabe rawit. 

Begitu buka laci, teman saya langsung berteriak, ampun-ampun, sambil loncat-loncat dan menutup matanya. Kami kaget semua.

“Astaga, kantong plastik itu punya rumah sendiri-sendiri. Ampun-ampun. Koq bisa sih, nyusun kantong plastik seperti ini. Merinding lho.”

Saya baru sadar hal biasa buat saya,  ternyata menjadi bahan yang aneh buat orang lain. Jadi dalam laci itu isinya semua kantong plastik dengan berbagai ukuran. Mulai dari kantong plastik bening, kantong plastik klip, sampai kantong plastik kresek. Masing-masing ada dalam sekat yang dibuat khusus sesuai dengan ukurannya. Jadi seluruh urusan beberesan rumah Papa yang atur.

Baik sebelum dan sesudah pensiun, lepas dengan aktivitas sore hari, Papa selalu sibuk melakukan banyak hal. Ada saja yang dikerjakannya. Setelah pensiun, Papa suka sekali mewarnai , sambil mewarnai selalu dengan iringan musik lagu-lagu tahun 60-70 an. Hasil mewarnainya sangat membuat orang banyak kagum. Pilihan warna-warnanya adalah warna-warna cerah. Kebanyakan gambar yang Papa pilih, pepohonan – bunga – orang dan binatang. Dan hasil gambarnya sangat “hidup”. Hal yang membuat saya kagum, koleksi pensil warna Papa kira-kira ada hampir lebih dari 10 lusin, semua pensil itu lancip.

Lepas dari semua itu, Papa sangat, sangat, peduli dengan keluarganya. Bukan saja keluarga inti yang mendapat perhatian sepenuhnya, tetapi seluruh keluarga selalu mendapat perhatian yang luar biasa dari Papa. Cara Papa menyampaikan kasih dan perhatiannya dengan “action” bukan dengan kata-kata. Papa bukan orang yang suka mengucapkan sesuatu tanpa ada maksud dan tujuannya. Papa berbicara seperlunya. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu diperhitungkan dengan bijaksana.

Mama adalah wanita yang sangat beruntung. Satu hal yang saya kagum, bagaimana pun, Papa tidak mungkin makan terlebih dahulu bila Mama belum duduk di sebelahnya. Semua keinginan Mama selalu Papa penuhi. Papa sulit sekali mengatakan tidak untuk setiap keinginan Mama. Biasanya Mama tidur terlebih dahulu, karena Papa masih terus saja mempunyai aktivitasnya sendiri. Papa yang selalu menyelimuti Mama, ketika Mama sudah tertidur pulas. Dan pasti Papa mengecup kening Mama usai selimut menutup badan Mama. Sepanjang tidur, keduanya selalu berpegangan tangan. Saya baru mengetahui semua ini, ketika suatu saat karena satu hal dan lainnya, saya harus tidur sekamar dengan mereka. Berhari-hari saya menyaksikan bagian yang mengharukan ini.

Papa telah berpulang pada tanggal 29 September 2022. Saya sangat bangga mempunyai seorang Papa yang tidak berbadan rancak marapulai, dan ketek pula, tetapi berhati Rancak Marapulai. Papa telah menjalani, menghargai, dan mencintai seluruh kehidupan ini dengan penuh kasih dan belas kasih. Papa telah memilih warna-warna cerah yang tepat untuk mengisi setiap sisi kehidupannya. 

Selamat lanjut mewarnai kehidupan baru bersama-NYA, Papa.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.