Perasaanku Tidak Enak

Perasaanku Tidak Enak
Image by pixabay.com

“Pulang, Mama sakit…”

 

Kalimat pendek yang aku temukan saat aku tidak sengaja klik pesan di handphoneku. Sejujurnya aku tidak pernah suka untuk bekerja jauh dari tempatku dilahirkan. Bukan penakut hanya saja kekhawatiran yang terlalu berlebihan bila aku harus jauh dari orang tuaku.

 

Terpaksa.

 

Demi apapun aku tak pernah mau ambil pekerjaan ini. Semua karena terpaksa. Dengan dalih bahwa Hawa harus ikut maunya Adam. Dengan berat hati aku jalani hari-hari di hirup pikuk polusi yang menurutku sungguh tidak nyaman.

Kubawa serta malaikat kecilku dengan harapan agar aku masih bisa memantau dan mengikuti perkembangan anak-anak.

 

Satu bulan semua baik-baik saja.

Sepertinya anak-anak sudah mulai betah dan aku rela membesut sepeda motor dengan perjalanan hampir dua jam dengan kondisi selalu macet sementara aku sangat benci kemacetan. Tidak ada akses lain selain, Ojol, Angkot dan kendaraan pribadi.

Aku rela sedikit bikin eksotis kulitku dengan harapan bisa lebih cepat sampai di rumah dan bisa cepat ketemu anak-anak juga bisa segera menemani mereka bercerita, belajar atau sekedar menyiapkan kudapan untuk teman nonton mereka.

 

Satu yang tidak aku pahami sampai saat ini.

Aku tidak pernah tahu, maksud bapanya anak-anak untuk apa dan tujuan akhirnya bagaimana, yang aku tahu pada akhirnya kami dibiarkan bertiga.

 

Aku sedikit kalut, bagaimana tidak, setiap hari aku tidak boleh terlambat bangun.

Tepat jam 4 pagi aku sudah harus selesaikan mengupikabu, lalu tidak lama adzan berkumandang aku harus sudah siapkan menu anak-anak dilanjutkan dengan memandikan mereka dan membuat mereka wangi sebelum aku tinggalkan ke kantor.

Aku pastikkan jemputan tidak terlambat antarkan si sulung ke sekolah kemudian aku pastikan juga bahwa si bungsu sudah siap amunisi agar selalu sehat dan tidak gampang sakit.

 

Tidah boleh didahului oleh matahari, aku sudah harus siap berperang. Terlambat sedikit saja maka aku akan terlambat masuk kantor.
Kantorku bukan kantor yang besar. Tapi aku bahagia di sini. Padahal lelahnya bukan main. Setiap hari aku tak pernah berjumpa matahari.

4 Waktu aku lakukan di kantor dengan durasi yang tidak bisa Panjang.

Menyesal?

Sangat.

 

Di sepertiga malam aku mengadu.

“Tuhan, sepertinya aku tidak sanggup melakukan sendiri. Adakah kiranya maksudmu yang lain untukku?. Aku Lelah Tuhan.”

 

Pagi buta, aku sudah kacau balau. Aku putuskan packing lalu segera kupesan tiket travel untuk bertiga. Sengaja aku ambil jam 4 pagi agar tidak ada satu manusiapun yang melarang kepergian kami ke Bandung.

 

Anak-anak belum ada yang wangi. Bodo amat, aku ingin cepat sampai.

Seharusnya kami sudah sampai Pasteur tepat jam 7 pagi, rupanya Tuhan menguji kembali.

Jam 7 pagi kami baru sampai Bogor. Entah apa alasan pak supir hingga kami dibawa melalui jalur Puncak bukan melewati Jalan Tol yang seharusnya bebas hambatan.

 

Rupanya raut mukaku terbaca.

“Maaf ya bu, Jalan tol macetnya parah. Bisa sampai 10 jam kita sampai Bandung. Jalan ini alternative kami kalau jalan tol bermasalah”.
“Hmm, oke Pa. tapi kalau jam 7 masih di Bogor bukannya sama saja ya?”

“Santai bu, ibu tidur saja. Tidak sampai 2 jam kita sudah sampai di Pool”.

 

Aku tak mau debat. Aku iyakan saja sambil ku peluk anak-anak dan berharap mereka tidak rewel di perjalanan.

Benar saja jam 8 lewat 30 menit. Kami sudah bisa melihat Gedung Rohto. Artinya kami sudah sampai di perbatasan Bandung.

 

Sampai.

Aku sampai di rumah dan disambut dengan mata berkaca-kaca eyangnya anak-anak. Mereka rindu kami.

 

“Kemana dia?”.

“Sudah, kamu baru sampai. Kamu istirahat sana biar anak-anak sama Mama. Mama kangen banget”.

Aku memang benar-benar Lelah, bukan saja perjalanan yang teramat lama tapi berjuang sendirian aku memang tidak sanggup. Aku biarkan badan ini rebahan, sambil tak terasa sedikit air mata di sudut mata hampir saja meluap. Aku tahan dan kubiarkan tertidur saja. Aku tidak mau Mama tahu yang aku rasakan.

 

“Hey bangun…Maghrib.”

Ya ampun, lelap sekali aku tertidur di kamar Mama.

 

“Matamu ko sembab”

“Ah, masa sih. Kebanyakan tidur Maaa”

 

Bergegas menuju kamar mandi lalu kutengok cermin dan aku terkaget dengan mukaku sendiri. Kapan nangisnya aku tidak tahu. Hanya mata ini menjadi pertanda bahwa sedihku terbawa sampai aku tertidur.

 

Selesai Shalat rupanya Tuhan mendengar pintaku.

 

Tiba-tiba mama menghampiri sambil memeluk aku dengan erat.

“Kamu pindahkan sekolah anakmu ya.”
“Loh, kenapa Ma?”

“Ndapapa, ikuti saja ya. Mama kesepian di rumah kalau tidak ada mereka”.

“Tapi Ma… ini baru berapa lama?. Masa aku pindahin lagi sekolahnya.”

Kemudian Bapa datang dan langsung menimpali.

“Anak-anak cerita banyak seharian. Sudah biar sekolah, bapa saja yang urus”

 

Sejenak aku terdiam. Anak-anak bercerita apa ya?

Aku mengalah, aku putuskan biar aku saja yang berjuang. Biar anak-anak di sini. Setidaknya aku lebih tenang bekerja karena anak-anak ada pada tangan yang tepat.

 

Dengan bernafas lega aku mulai kembali perjalanan baru. Jadwalku mau tidak mau setiap Jumat malam harus menikmati gelapnya pemandangan Jakarta – Bandung dan setiap Senin pagi harus berlari-lari berpacu dengan muadzin agar tidak ketinggalan sepur.

 

 

====================================

Ya Tuhan… aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

 

“Woi Tolol, punya otak ga?”

Diam, aku hanya diam.

“Dasar ya, mentang-mentang bisa cari duit sendiri seenaknya aja lu pulang. Noh liat anak-anak butuh lu”

Diam dan masih terdiam.

“Budeg lu ya, lu berhenti kerja ga. Gaji ga seberapa aja sok bener sih lu, bego”

 

Bukan tidak mau berdebat, hanya terlalu perih untuk aku berargumen.

Bukannya aku seperti ini karena dia?.

Bukannya anak-anak kembali ke sini juga karena dia?.

Bukannya semua menjadi lebih baik saat ini?.

Bukannya dia lebih nikmat sekarang dan aku yang merasa letih tidak masuk hitungan untuk pujian?.

 

======================================

 

“Pulang…Mama sakit”

Kali ini aku jawab SMS Bapa.

“Iya Pa, Tahun baru aku pulang”

 

Saat itu perasaanku sangat tidak enak. Padahal aku tahu alasan bapa SMS seperti itu karena Bapa tidak punya alasan lain untuk membuat aku pulang selain isi SMS itu.

Biasanya kalau tahu aku sudah di perjalanan, SMS nya bersambung.

“Kamu di mana?. Hati-hati ya, Mama udah baikan kok”

 

Ya…Tuhan

Untuk aku bisa pulang harus seperti ini.

 

Perasaanku kembali tidak enak. Aku dilarang pulang .

Karena tanggal 31 Desember ini aku masih di Kantor dan kebetulan jadwal libur jadi tidak biasanya anak-anak ingin ikut aku kerja. So dengan segala cara akhirnya keputusannya adalah anak-anak aku titipkan di rumah teman.

 

Aku chat temanku.

“Bim, gw pergi sebentar ya, perasaan gue ga enak mau pulang. Titip anak-anak”

 

Ibu macam apa aku, bukannya pulang malah keluyuran.

Bukan, bukan keluyuran tapi aku merasa berdosa karena sudah berjanji akan merayakan Tahun Baru di Bandung Bersama keluarga besar. Dan aku tidak diperbolehkan pulang. Hatiku jelas tidak karuan.

 

Sedikit terobati setelah melepas penat, akhirnya aku sampai di rumah jam 10 malam. Anak-anak sudah tidur.

Aku pesan travel jam 4 pagi lagi. Walaupun dilarang hatiku ingin segera ketemu keluargaku. Terutama Mama dan Bapa.

 

Selamat Pagi,  karena kondisi tidak memungkinkan dengan ini kami informasikan bahwa jadwal travel hari ini ditiadakan.

 

Apalagi ini?. Aku kangen dan harus ditunda dulu kepulangan kami. Aku memutar otak, bagaimanapun aku harus cepat pulang.

 

Perasaanku tidak enak.

 

Tanggal 2 Januari, akhirnya aku bisa berkumpul dengan keluargaku dan tentunya dengan mengabaikan semburan verbal yang tidak layak didengar. Doaku dalam hati, maafkan aku ya Tuhan, aku melanggarnya.

 

Rupanya kali ini bukan sekedar SMS, Bapa sakit pun Mama.

 

Ah, anak macam apa aku tidak bisa merawat dengan baik orangtuaku. Di ujung sofa aku perhatikan mereka, aku menahan isak. Aku sayang mereka.

 

Perasaanku tidak enak.

Pagi-pagi Mama dan Bapa sumringah.

“Mama sehat nih, kamu sama anak-anak di sini bikin mama sama bapa sehat”

Syukurlah, aku lega mendengarnya.

“Iya Ma maaf ya kalau aku dan anak-anak bikin mama dan bapa sakit”.

“Ndapapa, besok Senin kamu berangkat saja. Kan ga enak sering di Bandung. Dapat bos enak syukuri ya. Oiya besok kasih salam Mama dan Bapa untuk bos kamu”

 

Setelah melepas kangen aku putuskan untuk tidur lebih cepat.

 

Aku kesiangan dan jam sudah menunjukkan pukul 05.00. Aku benar-benar terlambat.

Akhirnya aku pesan Ojek dan minta diantar ke travel terdekat.

 

Saking buru-buru aku lupa salim sama Mama dan Bapa.

Mama antarkan aku sampai depan. Tunggu, bukan sampai depan tapi sampai aku tak terlihat lagi oleh mereka. Tumben.

 

“Pulang…Mama dan bapa sakit”

Loh ko lain SMS nya. Aku balas SMS nya.

“Kenapa Pa, bapa sakit lagi kakinya”. Tidak berbalas

“Pa…bapa kenapa ko tumben nyuruh pulang. Kan baru juga sehari di sini”. Tidak berbalas

“Pa…balas dong. Aku lagi meeting ini. Kamis sore aku pulang ya.” Tidak berbalas

 

 

Ahhhhh…ini bukan kebiasaan bapa.

“Gus, anter gue ke travel”

“Kenapa Mba, baru aja di sini udah balik aja”

“Udah, lu mau anter apa engga. Gue buang surat kontrak lu nih”
“Dih, bisanya ngancem. Iya aku anter mba”.

 

Perasaanku tidak enak.

 

11 Januari…

Semua terlambat.

 

Ma…Pa…

Aku belum salim dan belum kusampaikan salamnya.

 

SMS ini, di Handphone ini tidak akan aku buang.

“Pulang…Mama sakit”.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.