Bertadabur Quran Denganmu

Bertadabur Quran Denganmu

Jariku sudah tak cukup untuk menghitung banyaknya uang yang menguap karena virus sialan ini. Lidahku sudah tak sanggup lagi merangkai sumpah serapah untuk si kampret Covid. Mataku sudah tak sanggup saksikan banyaknya piring yang melayang karena ketidakpuasan Sasti, istriku.

 

“Sudah kubilang, tabung uangnya. Kenapa harus kamu habiskan ke cicilan semua sih?”

“Ya mana aku tahu kalau tiba-tiba akan begini.”
“Makanya percaya sama mulut istri bisa ga sih. Sudah ga ada uang di tangan. Mau makan apa kamu hah?”

 

Sasti tiba-tiba liar. Mukanya memerah, sorot mata terpancar tajam dari matanya yang bulat.

Telingaku tertutup rapat, tak sanggup untuk dengarkan umpatan dari mulut mungilnya Sasti.

Berkali tangannya diremas, berkali pula dia hentakkan jemari tangannya ke ujung meja makan kosong tanpa teman makan, tanpa apapun. Ujung kukunya patah saking besarnya emosi Sasti.

 

“ ...inna haadzaa lahuwa haqqu lyaqiin, fasabbih bismi rabbika l’azhiim…”

 

Lintang, itu suara Lintang. Dalam luapan emosi dan hujatan yang kami umpat setiap saat. Masih ada lantunan Al-Quran dari suara Lintang yang lantang.

 

“Tuh dengar, bilang sama anakmu. Percuma baca Quran setiap hari. Ga bakal bikin debt collector berhenti nagih, ga bikin kamu jadi kerja dan ga akan bikin dapurku kembali ngebul.”
“Astagfirullah Sasti. Kamu sadar dengan yang kamu bicarakan?”

“Apa, kamu bilang apa? Coba sekali lagi!. Hahaaa eh Sony. Badan kekar, muka garang, tato dimana-mana kau baca apa barusan?”
“Istigfar Sasti.”

 

Hatiku teriris. Ya Tuhan. Sudah berapa lama aku biarkan Sasti tak mengenalmu?.

Gagal, aku gagal menjadi suami dan ayah yang baik. Aku gagal Tuhan.

 

Braaak…

Kupecahkan meja kaca tempatku habiskan ngegame, merokok dan habiskan bergelas kopi buatan tanganku sendiri. Sengaja kubuat sendiri. Karena tangan Sasti tak pernah piawai menyaji kopi untukku. Katanya dari kecil terbiasa disiapkan oleh ibunya, kenapa sudah menikah harus melayani aku.

 

Sasti yang ayu, merupakan wanita rebutan banyak laki-laki di kampus saat itu. Susahnya minta ampun dapatkan hati Sasti. Berasal dari kalangan serba ada. Banyak laki-laki yang tumbang dengan sendirinya sebelum dekati Sasti.

 

“Mas Sony, aku itu sangat pemilih. Harusnya kamu bersyukur hatiku bisa berlabuh padamu. Aku tidak mencintaimu, aku hanya kagum dengan yang kau bawa setiap harinya.”
 

Kala itu otakku dobol, sudah tahu dia tak mencintaiku tapi aku terus mengejarnya dan memberikan apapun yang Sasti mau, bahkan hingga akhirnya aku pindah keyakinan.

Hal yang teramat rumit kala itu. Yang kemudian aku jalani dengan apa adanya. Namun orangtua Sasti benar-benar menjadikaku pangeran, mereka memperlakukanku dengan sangat baik hingga aku mengenal islam dengan lebih dalam lagi.

 

#

“Ayah, dua belas tahun aku mengenal ayah dan ibu. Baru kali ini aku lihat ayah menangis. Ketahuilah ayah, aku menyayangimu apapun yang terjadi. Aku tahu perjuangan ayah, aku tahu lelahnya ayah dan aku tahu ayah tak menghendaki semua ini.”
“Lintang, ayah malu sama kamu. Ayah sudah tidak bisa belikan kamu apapun.”
“Ayah, seandainya yang tertinggal hanya aku dan ayah. Itu jauh lebih baik, daripada segala hal aku punya tapi ayah tak pernah ada buat aku, pun ibu . Lintang sampai lupa senyum ibu itu indahnya seperti apa ya Ayah?’

 

Terhujam kembali hatiku. Lintang bukan anak istriku. Jauh sebelum aku mengenal Sasti aku telah melakukan hubungan terlarang dengan perempuan bernama Hawa. Lagi-lagi kami berbeda keyakinan. Tololnya aku saat itu, kupaksa Hawa mengikuti hawa nafsuku dengan alasan aku pasti menikahinya, aku pasti pindah keyakinan seperti Hawa.

 

Namun Tuhan berkata lain, kala itu Hawa terus-terusan menghubungiku. Aku sengaja reject semua panggilan dari Hawa.Kalau kamu mau mati, matilah Hawa. Aku tak peduli.

 

Di sebuah kamar kost kecil kutemukan catatan.
“Mas Sony, aku tak tahu kamu di mana, yang kutahu cintamu padaku begitu besar. Namun saat ada yang kau titipkan padaku, kenapa kau memudar rasa dengan cepat?. Maaf mas, aku lelah, bila anak ini milikku maka akan ikut denganku, tapi bila anak ini juga milikmu maka dia akan bertahan dan menemani kehidupanmu.”

 

“Jadi aku bukan anak ibu?. Lintang tersenyum manis sekali.
“Kau tidak kaget sayang?. Kenapa tersenyum?”

“Mbok selalu mengajariku hal yang baik. Kata mbok, seharusnya Bu Sasti bukan ibuku. Karena aku dan ibu seperti langit dan bumi. Aku pikir karena aku dekat dengan si mbok sehingga yang kulakukan persis seperti yang si mbok ajarkan.”

 

Allahu Akbar, kutemukan Hawa kembali. Perempuan yang aku sia-siakan lima belas tahun yang lalu. Perempuan yang aku tendang karena meminta pertanggungjawabanku, perempuan yang aku ludahi karena terpikat Sasti.

 

Dalam tangis tersayat, aku menyesal. Kamu yang mengajarkanku kebaikan, dengan segala cara aku bertahan untuk tetap pada keyakinanku. Sementara Sasti dengan satu kerlingan matanya telah membuatku bertekuk lutut hingga aku putuskan baca syahadat kala itu. Sampai hari ini aku masih bertekuk lutut, tak piawai aku mengendalikan Sasti dan membuatnya menjadi makmum untukku.

 

“Ayah menyesal telah memeluk Islam?. Mata Lintang menggelayutkan Hawa.
“Iya, sangat menyesal.”
“Apa yang ayah sesali?. Ketahuilah bahwa jalan ayah tidak salah.”

 

Prang..prang.

 

Piring yang kedua puluh melayang kembali, kali ini mengenai pelipis Mbok Yati.

 

Pengasuh Lintang yang aku bawa dari Rumah Sakit tempat Lintang dilahirkan. Pengasuh Lintang yang bersedia menjaga rahasia Lintang. Pengasuh Lintang yang berkenan mengasuh Lintang dari bayi hingga umur Lintang tiga tahun, hingga akhirnya Sasti memperbolehkan Lintang masuk ke rumah kami dengan catatan tidunya harus dengan si mbok.

 

“Brengsek kamu Sasti. Aku sudah tak tahan. Aku talak kamu.”
Good, ini yang aku mau. Aku muak melihat kau di rumah terus. Pergi kalian sana. Ini rumahku!”
“Hey apa maksudmu?. Ini rumah kita Sasti.”
“Woi jangan mimpi. Kau lupa surat perjanjian pra nikahnya. Semua yang kamu punya setelah menikah akan menjadi milikku bila kau ceraikan aku.”

 

Astagfirullah, aku terjebak Sasti.

“Perempuan iblis. Menyesal aku telah menikahimu. Tak ada satupun ajaran Islam melekat pada tubuhmu. Kau gadang-gadang aku untuk memeluk Islam, namun rupanya kau tak lebih dari seekor binatang jalang yang tak berhak memiliki label dari agama manapun.”

“Bodo, terserah. Emang gue pikirin.”
 

“Ayah, masih ada rumah si mbok untuk kita menginap”. Lagi-lagi senyum Hawa tergambar jelas pada Lintang.

“Pak, uang yang bapak kirim setiap bulan si mbok sisihkan. Si Mbok punya rumah di Bogor, kecil sih tapi Lintang suka kalau menginap di rumah si mbok.”
“Mbok Yati punya rumah?. Dari uang yang aku kirim untuk Lintang?”

“Iyaaa, habis ngirimnya kegedean. Itu rumah Lintang. Kita kesana saja yu Pak!”

 

Kutinggalkan Sasti, kutinggalkan kemewahan yang mengabur.

Tuhan masih memberi darah lewat Lintang. Maafkan ayah yang sibuk dengan dunia ayah sendiri.

 

Perjalananan Jakarta menuju Tenjolaya Bogor hanya 2 jam saja. Maklum kami menyewa mobil yang jauh dari kata keren. Sesekali mobil berjalan ndut-ndutan.

Dalam diam di antara Sasti dan Mbok Yati, aku bersyukur pada-Mu.

 

“Taraaaaa, sampai kita di Rumah Lintang.” Sumringah Lintang menyambut kehiduan baru kami.

“Kamu bahagia banget sayang, sering ke sini sama si mbok?”
“Iya dong, kalau aku mumet biasanya si Mbok nelpon Pak Udin untuk antar kami ke sini. Aku dimanjain sama si mbok. Aku happy Ayah.”
“Kok ayah ga tau kalau kamu sering ke sini?”
“Kan ayah sibuk sama pekerjaan ayah, sibuk sama ibu Sasti”. Lintang merekahkan senyumnya.

 

Mbok Yati sibuk di dapur biliknya. Piring dan gelas beradu pertanda sebentar lagi Mbok Yati siapkan makan malam untuk kami.

Kali ini berbuka puasanya dengan senyum dari hati. Segelas air teh manis yang kami terima di masjid tadi sungguh nikmat luar biasa.

 

“Ayah, malam ini malam Nuzulul Quran. Ayah tahu kan?.

Ayah sudah berjuang kesana kemari agar kembali dapt penghasilan, ayah sudah berjuang dengan tak berhenti menutup laptop ayah. Bisakah malam ini temani aku khatam Al Quran? Bisakah kita bertadabur Al-Quran bersama?. Bukahkah tidak ada lagi yang bisa kta lakukan selain ikhlas dan pasrahkan semua pada Allah?

“Iya, ayah mau sayang. Ayah mau, sangat mau temani kamu.”

 

#

Hari ke-18 Ramadhan

Jam 08.30

 

“Selamat Pagi, melalui email ini kami sampaikan bahwa kami menyetujui permohonan pengadaan kendaraan dinas PT. Swastika Berdaya (sebagai pihak ke-1) dari PT. Lintang Berjaya (sebagai pihak ke-2) sebanyak 50 unit Honda City tahun 2020 dan 10 unit Toyota Innova tahun 2020……..”

 

“Lintang, Mbok Yati…..”
“Aduh ayah ini masih pagi, teriak begitu ga enak didengar ah”
“Sayang kamu harus dengar, doamu dikabul Tuhan.”
“Apa sih Ayah?”
“Lihat ini…….”

 

Kucium Lintang berkali-kali, kucium Hawa dalam diamku. Inilah kehidupan baruku. Terima Kasih Tuhan untuk memberi alarm kehidupan yang luar biasa. Terima Kasih untuk masih memberiku kesempatan mengenalmu. Terima Kasih untuk aku meniada penyesalan memujiMU dan Terima kasih untuk membiarkan aku sampaikan bahwa Aku mencintai Allah dan aku mencintai keislamanku.

 

#Bandung, 9 Mei 2020

 

Kupersembahkan untuk Bapak yang seharusnya berulang tahun besok...

 

 

 

 

  

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.