Toko Kelontong

Terinspirasi dari kisah nyata.

Toko Kelontong


Lia memandangi rumah tua peninggalan orangtuanya.
Sudah lama dia tidak melihat rumah itu.
Papan terpasang di depan rumah,”DIJUAL!“

Orangtua Lia sudah meninggal, keempat adik Lia sepakat untuk menjualnya.

Sebetulnya Lia tidak setuju karena rumah itu menyimpan banyak kenangan.
Baik yang manis maupun yang pahit.
Tapi Lia tinggal di New York sekarang. Tidak bisa membantu merawat rumah itu.
Jadi Lia terpaksa merelakan rumah itu dijual.
Lia duduk di depan rumah sederhana itu. Tidak ada halaman. Pintunya lebar, karena dulunya adalah sebuah Toko Kelontong.
Ingatan Lia kembali ke masa kecilnya.

 

“Minum obatnya Pa” kata Lia, tangan mungilnya menyodorkan sejumlah obat.
“Makasih Lia!” kata Papa. Tubuh Papa terbaring di kursi malas. Kakinya hanya sebelah.
Papa sakit diabetes yang cukup parah, hingga dia harus merelakan sebelah kakinya diamputasi. Sejak itu Papa tidak bisa bekerja lagi.
Mama harus membiayai keluarga dengan membuka toko Kelontong di depan rumah mereka.

Kadang kadang Papa juga membantu menjaga toko, saat Mama sibuk memasak, mengurus rumah dan keempat adiknya. Lia yang saat itu baru berusia 9 tahun selalu berusaha membantu semampunya.
Adik-adiknya juga sering berkumpul di toko mereka agar Mama bisa menjaga mereka sambil menjaga toko. 
Lia sibuk merapikan jejeran kue-kue kecil dan dus-dus sabun di toko.
Adik adiknya ikut membantunya sebisa mereka.
Papanya duduk saja di kursi malas sambil menunggu pelanggan datang.
"Pa, boleh minta silverqueen-nya?" tanya seorang adiknya yang baru berumur 6 tahun.
"Jangan sayang, itu buat jualan!" kata Papa.
"Nanti kalau kamu ulang tahun boleh makan silverqueen!" kata Papa menghibur.
Adiknya diam saja walau kecewa, tidak menangis. Tampaknya mengerti keadaan ekonomi mereka. 

“Heh Buntung!, Ambilin gua rokok!” teriak seorang Pria tinggi besar. Tubuhnya berotot dan penuh tatoo.
Dia adalah Johny, Preman di kampung mereka. Nama aslinya Sujono, tapi dia selalu dipanggil Johny.
Lia mengambilkan sebatang rokok merek kesukaan Johny.

“Masa cuma satu? 5 dong, buat temen temen gue juga!” serunya.
Lalu Johny sibuk memilih cemilan. Beberapa bungkus roti coklat, keripik kentang, biskuit, coklat silverqueen dan beberapa botol Coca cola.
“Tolong ambilin kantong plastik, Lia!” kata Papanya.
Lia menyodorkan beberapa kantong plastik. Johny memenuhi 3 kantong plastik.
“Kapan loe jual bir?” tanya Johny.

“Maaf, kita nggak punya ijin jual bir.” kata Papa.
“Ah payah loe!’ kata Johny sambil mengebrak meja.

Johny segera melangkah pergi tanpa membayar.
Johny memang tidak pernah membayar.

Besoknya Johny datang lagi. Dia memang datang setiap hari.
“Minta Lima ratus ribu!” kata Johny.

“Maaf, belum punya duit. Sepi dari tadi.” kata Mama.

Johny melotot.

“Kan minggu lalu kita udah kasih setoran!” kata Mama.
Johny mengumpulkan setoran uang keamanan dari semua toko di lingkungan itu.

“Gue butuh lima ratus ribu sekarang!” bentak Johny.
“Maaf, kita belum punya duit.” kata Mama ketakutan.

“Kasih gua lima ratus ribu, atau gue buntungin loe!, Biar kembar sama laki loe!” ancam Johny.
“Tunggu sebentar ya!” Mama yang ketakutan segera pergi ke dalam, mengambil kotak perhiasannya.
“Ini aja ambil perhiasan saya.” kata Mama menahan tangis.
Johny segera merampasnya.
Satu-satunya perhiasan mama, cincin pernikahan mama harus direlakan untuk Johny.
Johny segera pergi dengan membawa cincin Mama, beberapa plastik cemilan dan rokok.
 

“Kenapa kita nggak lapor polisi aja Ma?” tanya Lia

“Kamu anak kecil nggak ngerti. Nggak semua hal bisa dilaporin Polisi.” kata Mama.

“Liat gerombolan mereka banyak. Kalau kita laporin Johny, nanti teman mereka pasti balas dendam. Nanti kita nggak bisa jualan lagi di sini!” kata Mama.
“Jadi kita harus diam aja diperas dia terus?” tanya Lia.
“Kita berdoa aja Lia.” kata mama sambil memeluknya.

Papa dan Mama bekerja keras, dengan sedikit penghasilan mereka, mereka selalu berhemat agar dapat menyekolahkan kelima anak mereka.
Lia yang paling tua, mendapat beasiswa untuk kuliah di New York.
Setelah Lia lulus, dia bekerja di sana dan membantu membiayai sekolah keempat adiknya.
Sekarang semua adiknya sudah menikah. Hanya Lia yang masih sendiri.


“ Kasihan non, belum makan seharian Non!”, seorang pengemis lewat di depan rumahnya.
Tubuhnya kurus bungkuk. Matanya sayu. Wajahnya yang cekung penuh kerutan terlihat lelah. Kepala botaknya ber-tattoo. Gambar tattoo itu khas, Lia mengenali Tattoo itu.
Tiba tiba dia mengenali wajah itu.
“Johny?, Bang Johny?” tanyanya.
“Masih inget saya non?” katanya sambil tersenyum.
Lia mengulurkan selembar uang.
“Masukin sini non!” katanya sambil menunduk ke arah pinggangnya.
Lia melihat sebuah kaleng di tas pinggangnya. Lia masukkan uang itu ke kalengnya.
“Maaf, saya udah ngga punya tangan soalnya.” kata Johny.

Lia melihat kedua lengan bajunya kosong, tanpa tangan.
“Kenapa tangannya Bang Johny?” tanya Lia.
“Kecelakaan Non, udah lama jadi buntung!” katanya.
“Makasih ya Non!” katanya tersenyum ramah.
Lalu tubuh renta itu pergi meninggalkan bekas Toko Kelontong.



Catatan.
Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata.
Dari seorang teman, pemilik toko kelontong.
Semua nama disamarkan.
 


 

 

 

 



 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.