Masih Terdampar di Angka 78

Kalau begini, saya lebih baik nasibnya di dalam bui saja. Di balik jeruji besi, saya mendapat makanan gratis yang sudah terjadwal. Cukup duduk saja, makanan itu menghampiri dari kolong jeruji.

Masih Terdampar di Angka 78

Malam itu, saya benar-benar apes. Atau sengaja dikerjain, melihat saya hanyalah rakyat kecil, kere. Saya dituduh mencuri handphone (HP). Padahal bukan. Saya menemukan HP itu tergelatak di jalan raya.

Namun, saat telepon pintar itu saya raih, pemilik melihat dari balik jendela mobil BMW yang dikemudi. Dia menghampiri saya dan mengatakan “Pencuri”. Sambil merekam menggunakan HP digenggamnya.

“Saya tidak mencuri. Saya menemukan,” jawab saya.

Saya dihajar oleh orang sekitar. Beruntung tidak babak belur. Karena ada satu orang yang cepat melerai. Saya lihat orang itu juga kena pukul. Orang mengira bila dialah pelakunya. Padahal tidak ada sama sekali pelaku kriminal dalam peristiwa itu. Saya digelandang ke markas petugas berwajib, dalam kondisi baju kaos robek.

“Mengapa saudara mencuri?,” interogasinya.

“Saya tidak mencuri. Tapi menemukan,” tegas saya.

“Tapi, saudara terbukti memindahkan barang tanpa seizin pemiliknya dengan cara mengambil,”

“Saya mengambil karena menemukan barangnya di tempat umum. Bukan di dalam rumah,”

“Jika saudara tidak kooperatif, hukuman yang saudara terima semakin lama,”

“Saya tidak takut. Saya hanya takut pada ketidakadilan,”

Si pelapor mengurungkan niatnya menjebloskan saya ke sel tahanan alias mencabut laporan. Itu setelah mendengar pengakuan saya, bila berada dalam kelas sosial bawah. Terlantar, jauh dari keluarga. Keseharian bekerja. Tapi tak menentu. Dan nomaden alias pindah-pindah. Kadang ngamen, jadi kuli bangunan, sesekali jadi mandor. Karena saya memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan. Masih beruntung.

Semuanya saya lakukan demi kedua anak saya, laki-laki dan perempuan. Yang pertama mau masuk sekolah dasar (SD) dan anak kedua masih netek di ibunya.

Lima jam saya di markas petugas. Setelah laporan dicabut dalam bentuk kesepakatan tertulis, saya keluar dari markas. Saya tidak benar-benar bebas. Saya tidak merdeka. Sebab, kehidupan di luar sana tidak seperti yang saya bayangkan.

Saya pikir merdeka itu bebas dari kemiskinan, bebas dari keterpurukan, dan bebas dari penjajahan. Ternyata saya salah. Justru sebaliknya. Saya melihat anak-anak di bawah umur berjualan kue di pinggir jalan, dari pagi hingga larut malam.

Apakah mereka benar-benar berjualan, atau hanya menunggu belas kasihan orang lain untuk membeli, atau jangan-jangan mereka dijajah, dieksploitasi? Apakah itu namanya merdeka? Hampir 78 tahun negara ini menyebut dirinya telah merdeka.

Di lain tempat, terlihat pengemis, pengamen, dan tukang becak tertidur di trotoar jalanan hingga depan rumah toko (ruko) yang sedang tutup. Mereka diselimuti dinginnya malam.

Kalau begini, saya lebih baik nasibnya di dalam bui saja. Di balik jeruji besi, saya mendapat makanan gratis yang sudah terjadwal. Cukup duduk saja, makanan itu menghampiri dari kolong jeruji.

Saya tiba-tiba tercenung. Isi kepala saya brisik. Itu masuk seakan-akan suara kedua anak saya. Yang laki ingin segera masuk sekolah. Sedangkan yang perempuan, masih netek itu menangis-nangis. Nasib baik di dalam penjara itu hilang seketika. Saya bergegas mencari pekerjaan, menyusuri riuh pikuknya jalan raya.

Tiba-tiba mata saya tertuju ke kertas bertulis yang tertempel di dinding masjid. Kertas itu berpesan, bila di sana membutuhkan seorang untuk membersihkan masjid. Tanpa berpikir panjang, saya mencari pengelola masjid dalam kondisi masih mengenakan kaos yang robek. Saat ditemui, pengelola masjid mengatakan, lowongan pekerjaan sudah ditutup. Sudah ada orang lain diterima. Kertas di dinding masjid sudah sebulan lebih tertempel.

Saya kemudian kembali mencari pekerjaan lain. Saya terdampar bersama lima orang jalanan. Satu di antara mereka seorang maling sepesialis motor. Seminggu tidur bersama dengan mereka di gubuk tak punya pemilik, saya mulai akrab. Kami berbagi keluh kesah.

Di antara mereka ada yang bekerja menjadi kuli bangunan, namun tidak cukup menyewa tempat tinggal dari upah yang kecil. Ada juga perantau yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan si maling, dia berbuat demi anaknya yang berusia dua bulan sedang terbaring sakit di rumah. Dia membutuhkan uang untuk biaya perawatan di rumah sakit.

“Sungguh sulit mencari penghidupan yang layak di negara yang hampir 78 tahun merdeka,”

Malang, 11 Juli 2023

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.