Aku Tidak Lulus Tes Hari Ini

Dalam kehidupan, semua orang adalah guru. Kita harus jeli menyadari dan belajar dari orang-orang di sekeliling kita. Semua orang, termasuk dari orang-orang sulit, misalnya orang yang super egois.

Aku Tidak Lulus Tes Hari Ini
Foto: unsplash.com

"Lho? Ya, enggak tahu. I WAS NOT THE ONE WHO BOUGHT IT!"

Aku menjawab dengan nada suara tinggi. Kalo kalimat bahasa Inggris sudah melompat dari mulutku, artinya kesabaran menipis, alias sudah mangkel bin kesal.

Pagi-pagi sesampai di tempat kerja, aku bergegas menuju loker. Tanpa perlu ngecek jam di ponsel, aku memperkirakan waktu sudah lewat dari pukul tujuh. Kusimpan helm, jaket, tas, bahkan jas hujan yang sempat kupakai karena gerimis. Belum selesai ritualku itu, si manusia egois mendekat. Tanpa perlu melirik, aku melihat ada niatan njengkelin bakal dilontarkannya.

'Bu, kenapa tepungnya delapan ratus sekian," tanyanya.

Manusia satu ini emang super nyebelin. Wong nyawaku belum menyatu utuh akibat ngebut di jalan tadi, eeh .. nanya-nanya hal yang menurutku enggak penting.

"Enggak tahu, ya. Emang begitu," jawabku sekenanya sambil mengeluarkan ponsel dan apron seragam dari backpackku. Nada suaraku masih normal.

"Biasanya, kan ...." ia kembali nyerocos.

Aku tidak terlalu dengerin omongannya. Aku menduga bahwa dia ngomongin tepung terigu curah, kemasan satu kilo tetapi kenyataan beratnya kurang dari 1000 gram.

Kami adalah staf sebuah restoran kecil, dengan andalan mie homemade. Kami membuat sendiri mie, sehingga yang namanya tepung terigu selalu menjadi kebutuhan utama. Aku salah satu petugas pembuat mie. Setahuku, dia tidak lagi memiliki jobdes membuat mie sejak bulan lalu. Aku agak heran mengapa dia tiba-tiba ngebahas tepung, tapi not my businesslah.

"Kok bisa begitu? Kemaren siapa yang beli tepung terigu?" cecarnya.

Tanpa bisa kurem, meluncurlah jawabanku yang bercampur bahasa Inggris itu tadi. Suara ketus dengan nada tinggi, yang ajaibnya seakan menghentikan waktu. Hening. Aku kaget mendengar jawabanku. Terlanjur. Aku tahu aku kesal.

Aku cepat-cepat menyingkir dan melakukan tugasku, ngecek dan membereskan bahan-bahan. Pakcoi berantakan, taoge tinggal sedikit, wadah kosong tidak ada irisan champignon, wadah stainless tetep nangkring habis isinya. Kalo aku supervisor, sudah kusemprot manusia super egois itu. Kerjaan enggak beres malah ngebahas yang enggak penting.

Dulu aku netral sebenarnya. Saat staf lain mengeluhkan kelakuan si manusia egois itu, aku diam saja. Selama dia tidak menggangguku, enggak masalah buatku. Namun akhirnya, seperti staf yang lain, aku kena juga.

Enggak mau. Sudah lewat jam kerjaku,” jawab si manusia egois enteng ketika kapan dulu aku memintanya menyiapkan orderan yang masuk. Memang dia sudah selesai shiftnya, lewat beberapa menit, dia sedang duduk santai merokok di dapur. Aku tugas shift berikutnya, tetapi aku sedang prepare ini itu, jadi aku minta tolong. Toh, aku melakukan hal yang sama ketika suatu ketika aku datang awal (dan belum jatah shiftku) dan dia minta tolong bantu kerjakan tugasnya. Waktu itu tamu restoran lumayan berjubel dan tim dia kewalahan. Aku yang melenggang datang, langsung dapat tumpukan kerjaan. Padahal 30 menit sebelum shiftku mulai. Aku tanpa banyak alasan langsung membantu. Itu caraku kerja tim. Pemahaman kerja tim staf yang lain juga seperti aku, kecuali si manusia egois satu itu.

Sejak kejadian itu, aku malas berurusan dengan dia. Buat apa?

Apalagi dia pernah keceplosan berkata, bahwa dia kepo tanya ini itu, hanyalah untuk basa-basi.

“Daripada enggak ada yang dibahas, Bu,” begitu penjelasannya.

Kalo aku mending enggak ngomong dan bahas apa-apa,” tukasku waktu itu. Lha iyalah, ngapain ngeladenin orang kepo yang ternyata hanya basa-basi? Enggak banget, kan?

Aku masih sibuk prepare ketika sebuah ingatan melintas di pikiran. Aku pernah membacanya somewhere. Atau mendengarnya dari talkshownya entah siapa di YouTube. Bahwa setiap orang adalah guru. Setiap orang. Bahkan orang yang sulit. Seperti si manusia egois ini.

Jadi, si manusia egois ini adalah guruku? Guru yang ngajar apakah dia?

Dalam diam dengan wajah masih tertutup masker, aku merenung. Aku membuka stainless tutup perebus air, dan melihat bahwa air diisi hingga nyaris tumpah. Padahal berkali-kali staf senior mengingatkan kami. Si manusia egois itu tetap saja mengisi air berlimpah. Rupanya si manusia egois itu benar-benar sesuai namanya. Egois. Maunya sendiri. Tidak bisa mendengarkan apa kata orang lain.

TING! Seakan ada lampu pijar menyala di atas kepalaku.

Aku tahu si manusia egois itu ngajar mapel apa. KESABARAN. Ya, dia guruku untuk melatih kesabaran. Sayangnya aku gagal dalam tes hari ini. Huaaa …. Pelajaran satu ini syusyah sekali! (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.