Sepasang Kaki Diam

Terkadang, sebuah ketidaksempurnaan membuat kita menemukan dunia baru. Ya, sebuah dunia baru yang sama sekali berbeda dan tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Sepasang Kaki Diam

Genangan air. Ilalang. Jalan setapak. Lampu-lampu jalan. Hiruk-pikuk jam malam. Kemacetan. Spion kaca yang berembun. Tanah basah. Hujan. Angin yang pelan. Kicau burung bersautan. Daun jatuh.

Tanpa kata pamit, mereka pergi. Aku harus rela, ini yang diinginkan Tuhan. Entah sedih atau bahagia, harus kuakui sepasang kaki diam ini telah lama bermasalah. Dengan suara kecil, ia berdebat hampir sepanjang waktu. Mereka tidak mau menyerah kalah satu sama lain. Pernah suatu malam aku diam dan mengintip perdebatan mereka.

“Aku mau ke kota malam ini, harus!” Sang kaki diam berusaha meronta, dengan garang ia menyeringai, persis seperti singa yang siap menerkam mangsa.

“Hhhh, lagi-lagi kau mengingau. Jangan mengkhayal. Kau pikir, kau bisa?” Kata suara kecil.

“Bisa! Aku pasti bisa melakukannya.” Kaki diam tak mau kalah.

“Hei, cobalah berdamai. Ada saatnya kau tidak lagi bisa meraih apa yang kau inginkan. Ini adalah saatnya Tuhan. Kenapa tak kau coba berdamai dengan-Nya saja?” Suara kecil tampak lebih bijak.

Berhari-hari. Bermalam-malam. Berminggu-minggu. Berbulan hingga bertahun. Perdebatan mereka tak kunjung usai.

Ini adalah tahun ke tujuh perdebatan mereka. Sepasang kaki diam mulai melemah. Suara kecillah yang mendominasi kini. Mereka akhirnya berdamai.

“Kau sudah tenang sekarang” sapa suara kecil.

Hening. Tak ada sahutan.

“Hei, kau dengar aku, kaki diam?”

“Iya, aku dengar.” Mata kakinya seperti berkilatan, seolah ingin menangis. “Kemarin, pemilik kaki ini telah diperingatkan. Katanya, aku akan diam selamanya, tak bisa bergerak lagi. Kau benar…aku tak mungkin lagi bisa ke kota memperhatikan lampu jalan yang temaram, menikmati kemacetan, berlari-lari di genangan air, menyentuh ilalang, bertelanjang kaki di jalan setapak, menikmati hujan dan menginjak daun jatuh kesukaanku. Aku hanya bisa diam. Tak bergerak. Tak bernyawa lagi.”

“Hei, jangan sedih begitu. Jika kau sudah bisa berdamai dengan Tuhan, harusnya kau bahagia, bukan?” Bujuk suara kecil.

“Aku mencoba memikirkan perkataanmu tujuh tahun silam. Tak selamanya kita mendapatkan apa yang diinginkan. Lihatlah hujan. Ia tak pernah meminta, selalu saja memberi, tapi, aku tak pernah melihat kesedihan di sana. Bahkan setelah seharian ia berjuang dengan deras terbaiknya, ia masih mampu melahirkan pelangi. Aku ingin juga belajar dari ia—hujan yang dulu sangat kucintai.”

“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?” perkataan si kaki diam barusan membuat suara kecil penasaran.

“Aku akan tetap melakukan keinginanku. Belakangan ini, pemilikku menekuni hobi baru. Ia melukis semua yang kuinginkan dalam kanvas putih. Saat aku ingin melihat daun jatuh, entah bagaimana caranya pesanku tersampaikan padanya, tiba-tiba saja ia melukis musim gugur. Banyak daun-daun menguning dan jatuh. Indah sekali. Saat aku rindu kemacetan kota, ia melukis suasana malam di taman hiburan. Saat aku ingin berhujan-hujanan, ia melukis hujan lengkap dengan tanah basah dan genangan air. Sesekali, pemilikku akan memutar lagu instrumental – Yiruma, Kiss the Rain. Kau tahu? Aku benar-benar merasakan hujan begitu nyata di tubuhku.”

“Wow, menyenangkan!” teriak suara kecil.

“Aku juga yakin, kelak, pemilikku akan berdamai dengan waktu. Ia akan keluar dari kamar sempit ini. Dengan kursi roda, ia memberanikan diri menyapa hujan. Aku hanya harus sedikit lebih bersabar dan menunggu waktu saja. Bagaimana menurutmu suara kecil? Apa kau suka dengan perubahanku tujuh tahun ini?”

“Suka. Suka sekali.”

“Tapi kenapa kau sekarang lebih banyak diam?”

“Karena kau lebih cerewet sekarang. Kau tak lagi pemarah dan arogan. Aku suka perubahanmu. Dan harus kukatakan kau sudah kaya sekarang, selamat!”

“Kaya, aku?” Si kaki diam heran.

“Iya. Kaya pengalaman. Kaya kesabaran. Kaya perenungan.”

“Jangan begitu, suara kecil. Aku takkan bisa kaya. Hanya menerima yang bisa kulakukan. Lihatlah sejenak pemandangan di luar kaca jendela kamar ini. Dua muda-mudi yang berlarian dikejar hujan. Mereka lebih kaya dariku dengan sepasang kaki sempurna yang bisa bergerak, berlarian kesana kemari. Tapi lihatlah lagi, perhatikan lagi apa yang mereka lakukan. Mereka bertengkar. Si gadis malah menggerutu sambil berkata, besok-besok jangan ajak aku jalan-jalan kalau kau tak punya kendaraan! Andai saja diriku sesempurna itu. Tak punya kendaraan seumur hidup pun tak apa. Aku pasti sudah merasa sangat, sangat kaya karenanya.”

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.