JANGAN PERGI, JANGAN PULANG

Yati dan Risma, sahabat "selamanya" dalam suka dan "duka"

JANGAN PERGI, JANGAN PULANG

Diajaknya sahabatnya pulang, keranjang pikulan mereka telah penuh daun teh. Dua jam sudah, Yati, Risma dan ratusan buruh kebun memetik teh di sepanjang area kebun yang luasnya kurang lebih 12 hektar itu. Mereka datang dan bekerja sesuai petak mereka masing-masing, kadang seminggu sekali mereka akan bertukar petak, mengikuti area yang siap panen.

Biasanya dari jam tiga pagi para perempuan ini bangun, mandi, memasak, menyiapkan baju sekolah anak, sholat subuh dan mengecek persediaan sumbu lampu minyak. Yah jalanan dari desa menuju kebun teh sangat gelap saat masih pukul empat pagi, itupun masih harus melewati perkuburan desa yang berada lebih tinggi dari sisi jalanan menuju kebuh teh. Kurang lebih satu kilo dari gerbang luar desa. Mereka akan pergi berombongan saat berangkat, sedangkan pulangnya terpisah-pisah.

Memang pagi buta sekali karena waktu memetik daun teh paling baik adalah jam 5-9 pagi lalu dilanjutkan lagi jam 10-12 siang. Dan biasanya daun teh yang dipetik adalah  dua daun yang berada di pucuk dan satu buah kuntum. Tangan Yati sendiri nampak cekatan memetik seperti lenggok lentik tangan penari Gending Sriwijaya. Sekali sabet, 20-an helai sudah ia kumpulkan. 

"Tesss", itu adalah petikan terakhirnya, sekali lagi Yati mengajak Risma pulang tapi  tak dihiraukan. Sedari pagi tiap ditanya Risma diam saja, didekati malah cari kesibukan lain. Aneh, bukan Risma yang biasanya.

Yati paham Risma baru saja kehilangan suaminya Rusdi, supir truk pengangkut teh yang bekerja untuk PT. Malasari, pabrik teh di daerah itu. Truknya jatuh di kelokan jurang kala longsor mendadak menimpa, naas memang. Dua anak mereka masih kecil, apalagi si bungsu yang selalu menanti truk bapaknya pulang hanya untuk sekedar naik dan memegang setirnya.

Sungguh, bungkamnya Risma dapat ia terima hanya yang ia bingung adalah tangisnya sepanjang bersamanya. Risma juga terus menghindarinya padahal ia adalah teman baiknya sejak SD.

Tak lama, Risma mulai membereskan keranjang, menggendong kayu bakar, menyisipkan arit dan berjalan pulang. Yati mengikuti. Biasanya sesampainya di rumah, mereka menaruh keranjang di teras depan. Pekerja pabrik akan datang untuk menimbang dan mengambilnya.

Tapi perjalanan pulang siang itu sepi sebagaimana seminggu belakangan ini. Pepohonan pinus tua jadi saksi tidak adanya tukar kata di langkah berjarak mereka saat berjalan pulang. Hingga melewati jalanan dibawah kuburan desa, Risma berhenti, "Sebaiknya kau tidak mengikuti aku lagi!". Kalimat tajam Risma mengagetkan Yati.

Yah, Yati telah meninggal bersama Rusdi-suami Risma, di truk maut itu. Gosip yang beredar, mereka selingkuh. Tapi hantu Yati selalu mengikuti Risma saat ke kebun seperti masa hidupnya dan berhenti mengikuti di batas akhir kuburan desa. Rasa benci Risma melebihi rasa takutnya, tapi tetap ia tak bisa mengusir sosok hantu Yati tersebut, yang ada malah jadi bahan tertawaan penduduk desa. Risma membalikan badan dan berjalan menjauh.

Yati yang tak mengerti memang tak bisa bergerak lebih jauh, sekuat apapun mencoba. Ia tertahan di batas kubur desa sambil menatap Risma yang semakin mengecil. Perlahan wajah Yati mulai hancur, tulang hidungnya mencuat keluar, darah berwarna merah kehitaman mengucur dari lubang di balik rambut kepalanya. 

"Jangan pergi, jangan pulang, Risma. Besok aku temani, lagi." bisiknya.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.