Homo Homini Lupus

Homo Homini Lupus

“Mantan suamiku tidak bisa diandalkan. Hampir seluruh penghidupan harus Aku yang mencarikan. Dia menghabiskan harinya di pojokan warung, main game,” cerita Dila tentang perceraiannya yang baru saja resmi tahun lalu. 

 

“Dapat dari mana suami seperti itu? Dulu kalian jalan berdua sepertinya serasi dan dia sepertinya tipe pekerja keras?” Tanyaku.

 

“Dia laki-laki manipulatif. Di luar dia pintar memainkan persepsi orang lain. Sampai-sampai berhasil mempengaruhi orangtuaku dan membuat skenario seolah kami dijodohkan, membuatku merasa bersalah kalau tidak memenuhi permintaan Bapak sebelum meninggal. Padahal pesan Bapak terakhir kali yang tidak disampaikan, ternyata membebaskan aku memilih pasangan yang manapun,” jawabnya dengan muka sedih. 

 

Dila meneruskan kisahnya bahwa ia sudah berkali-kali menolak pendekatan laki-laki yang kami tertawakan dengan sebutan mokondo itu. Dengan kondisi bipolar tipe I skizoafektif yang dialami, Ia memang sering tanpa sadar berkelana sendiri di tengah malam, sehingga belum berminat berumah tangga. Tak jarang ia harus mati-matian melawan bisikan untuk menyakiti diri sendiri. Jahatnya, sebagai pasangan, Irwan, tidak melakukan apapun untuk meringankan penderitaannya. 

 

Apa yang dialami Dila malah menjadi senjata oleh anggota keluarga lain untuk terus balik menyudutkannya sebagai sebab perceraian menyakitkan yang ia alami. Apalagi sekarang ia berusaha melawan kondisinya dengan menjadi perempuan mandiri, tinggal sebatang kara, megecat rambut, sampai membuat tato di lengan. Bukannya dibantu untuk mendapat penanganan profesional dan dimengerti kondisinya, Ia malah dibanjiri ribuan ceramah agama yang membuatnya sangat tidak nyaman. 

 

Bagi yang tidak mengerti, Dila akan dicap perempuan liar. Tapi Aku tahu pasti dia perempuan seutuhnya, yang selalu punya kelembutan dan nilai kepedulian. Keadaan yang membuatnya terpaksa bereaksi seperti itu. Kini Ia menghabiskan waktunya untuk membantu sesama perempuan yang memiliki kondisi mirip, terpinggirkan akibat kondisi psikologis yang mereka alami. 

 

“Tahu sendiri kan, kalau minum obat, hasilnya malah seperti orang bodoh yang tidak bisa mengambil inisiatif, tambah rentan dimanipulasi, dan cuma bisa tidur seharian. Butuh gonta-ganti psikiater untuk bisa dapat pengobatan yang sesuai. Itu semua tidak murah,” lanjutnya. 

 

Seperti juga banyak perempuan bernasib mirip yang sudah kutemui sebelumnya, negara hampir tidak berbuat banyak untuk membantu mereka. Mekanisme pengurusan BPJS malah makin mempersulit mereka untuk mendapat akses kesehatan jiwa. Bagaimana mungkin orang seperti Dila yang perubahan moodnya sangat ekstrim, kadang manik yang membuatnya marah tanpa kontrol, dan kadang depresif, yang membuat ia putus asa melakukan apapun, diminta mengikuti berbagai jenjang birokrasi berbelit-belit hanya untuk satu kali kunjungan?

 

Kini, Dila mulai terjerat utang dan dikejar debt collector. Bukan karena ia sulit mengatur keuangan yang memang menjadi titik kelemahan seorang penyandang bipolar. Ia melakukannya mati-matian. Tapi karena kondisi terlalu baik hati yang dimanfaatkan oleh temannya yang kemudian memanfaatkan kartu identitasnya untuk mengajukan pinjaman online yang kemudian tidak dibayar kembali. 

 

Adakah yang mau membantu? Lagi-lagi saat kucoba lakukan pengumpulan dana untuk membantunya, yang didapat bukanlah bantuan, namun ratusan tips mengatur keuangan, cara menolak debt collector, hingga diberikan step by step mengurus BPJS agar bisa mendapat pengobatan gratis. Bukan main berempati dan membantunya!

 

“Ya sudah, dalam kondisi seperti ini, satu-satunya cara yang pasrahkan ke Tuhan. Aku mengerti kamu mungkin kamu sudah menyerah dengan konsep keajaiban. Aku sendiri juga sudah kehilangan cara. Cuma itu saja cara satu-satunya,” saranku sambil mengajaknya beribadah dan berdoa. Syukurnya ia masih mau mengikuti, walaupun tetap dengan komentar sinis. 

 

Setidaknya, bagiku, Dila bisa tertenangkan jiwanya, walaupun Aku juga paham betul bahwa itu hanya sementara. Di kunjungan debt collector berikutnya, kecemasan dan keputusasaan akan kembali menghampiri. 

 

“Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti..” sebait lagu yang kudengarkan dari HP secara acak. Bagi Dila yang hidupnya dihabiskan untuk membantu orang lain, mungkin jadi miris saat dia butuh bantuan, nyaris tidak mau peduli. Aku memutuskan tidak mau jadi bagian dari orang-orang yang berhati kejam yang cuma peduli dengan dirinya sendiri seperti itu.

 

Kamu mau?

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.