Derak Kerikil di Pantai Muko Muko

Derak Kerikil di Pantai Muko Muko

Derak Kerikil di Pantai Muko Muko


“Aku tidak tahu, apakah masih ada yang mau menerima dengan masa laluku, Mas,” Lisa tertunduk. Air mata membasahi pipinya yang halus memerah. Senja itu terasa begitu hening, di sela suara burung dan gemuruh kerikil yang saling bertabrakan di Pantai Muko Muko, di dekat perbatasan Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat. Jilbabnya yang panjang berkibar tertiup angin.

“Memangnya apa yang salah dengan masa lalu kamu?” Aku bertanya, yang hanya dijawab diam yang begitu panjang.

“Siapa yang mau sama perempuan yang sudah tidur dengan 25 orang, kan? Perempuan kotor. Mau tobat juga sudah tidak bisa. Sudah terlambat. Mungkin sekarang AIDS atau penyakit lainnya sudah bersarang di tubuhku. Kalau belum, tinggal tunggu saatnya saja tertular.”

“Itu bukan salah kamu. Sesuatu yang tidak bisa kamu kontrol, kan?”

Salah satu ciri bipolar disorder adalah terkadang muncul hiperseksualitas, di mana penyintasnya merasakan dorongan untuk terus-terusan berhubungan seksual dengan banyak pasangan yang berganti-ganti, tanpa menghasilkan kepuasan. Karena pikirannya yang impulsif, seringkali hal ini dilakukan tanpa pengaman. Inilah yang dialami Lisa, selain kemarahan yang tidak bisa ia kontrol dan bayangan yang bisa muncul sewaktu-waktu.

Lisa sudah 2 tahun lalu didiagnosa terkena skizoafektif bipolar disorder. Jika sudah masuk fase depresi, semua hal yang dilakukan di luar kontrol sebelumnya akan menghasilkan penyesalan yang membuatnya menyakiti diri sendiri, mulai menyayat tangan hingga menusuk jarinya sendiri dengan jarum. Ia membuka penutup lengannya yang penuh dengan bekas luka.

“Justru itu yang sering membuatku ingin mengakhiri hidup ini. Buat apa diteruskan kalau keputusan-keputusan kita, bukan kita yang menentukan?” Tangisnya makin menjadi.

“Kita hanya bertanggung jawab pada saat mampu mengontrolnya, kalau memang dalam kondisi tidak bisa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada hukuman Tuhan untuk itu,” hiburku sambil menepuk tangannya.

“Soal jodoh, suatu saat akan datang sendiri orang yang mau menerima kondisi kamu,” lanjutku lagi.

“Kalau tidak bisa? Apa aku harus menerima kehilangan lagi? Merasa kotor lagi setelah kondisiku dimanfaatkan untuk kepuasan nafsunya?”

“Ya mudah saja, anggap saja berarti he is not the one. Tinggalkan jauh di belakang, lalu cari lagi. Masih banyak ikan-ikan di lautan, hehe.”Aku terkekeh menghabiskan sisa kelapa muda yang kami beli di perjalanan tadi. 

Lisa ikut tertawa.

“Pencarian jodoh itu masalah penerimaan. Kita akan merasakan tertarik dengan begitu banyak lawan jenis seumur hidup. Tapi hanya satu atau dua yang bisa menerima kekurangan kita, dan sebaliknya kita bisa nyaman menerima kekurangannya.” Jelasku.

“Karena dengan dia kita akan menghabiskan puluhan tahun sisa umur, ya?” Tebak Lisa sambil memandang matahari semakin mendekati garis cakrawala.

“Sisa umur yang indah, kehidupan yang indah. Yang bukan untuk kita sia-siakan dengan jadi tidak bahagia,”aku menyambung kalimatnya.

Lisa bercerita panjang lebar, kalau mengalami banyak diskriminasi dan bullying di tempat kerja dengan kondisi yang ia miliki. Seringkali ia menjadi bahan olok-olok pada saat halusinasinya muncul. Mimpinya adalah suatu saat pergi ke Jakarta, mencari profesi yang memungkinkannya untuk menjadi dirinya sendiri.

“Kamu suka baca buku?” Aku bertanya.

“Suka. Aku suka baca Pram,” jawabnya.

“Pantesan depresi, overthinking terus. Bacaannya ruwet. Hahaha.” Aku bercanda. Aku juga senang membaca karya Pramoedya Ananta Toer. Namun saat mental tak siap, tulisan-tulisan Pram bisa menjerat kita ke dalam depresi, karena banyak bercerita tentang kepahitan hidup. Tulisan Pram adalah tulisan bergaya realisme yang kegetirannya tidak bisa diterima semua jenis orang.

“Aku pesankan buku yang bisa meringankan beban kamu. Judulnya Cherish Every Moment,” kataku sambil membuka HP dan memesankannya online.

“Dalam tiga hari akan sampai,” Aku membaca informasi pengiriman yang tertera di layar. Lisa berterima kasih.

“Nanti kalau suasana hati kamu sudah lebih baik, ikut kursus menulisnya Budiman Hakim, ya? Dia copywriter langganan award iklan. Aku baca chatmu kelihatan pintar menulisnya, kok. Tinggal diasah sedikit, diperbaiki struktur kalimat dan tanda bacanya. Di luar itu tulisan kamu imajinatif."

"Pasti bayarnya mahal, ya?" Tebaknya dengan penuh keraguan.

"Soal biayanya tidak usah dipikir, sudah disisihkan dari keuntungan berjualan kopi," jawabku.
Di balik kekurangannya, kondisi Lisa sebenarnya juga sebuah kelebihan. Karena pikirannya kadang tidak normal, ia bisa membayangkan hal-hal yang tidak terpikirkan oleh manusia biasa. Harus ada yang mengasah kemampuannya menjadi sebuah keajaiban.

“Syaratnya apa? Mas minta sesuatu dari Aku?” Tanya Lisa curiga. Aku paham dengan situasinya yang sekarang, sulit bagi Lisa menerima begitu saja kebaikan orang lain, yang biasanya dimanfaatkan dan diungkit untuk menikmati tubuhnya di lain waktu.

“Tidak ada, asalkan tidak marah-marah saja nantinya. Karena ada yang seperti kamu dulu kukirimkan ikut pelatihannya…” Aku terkenang seorang perempuan muda dari Jogja yang juga memiliki kondisi serupa dengannya.

“Terus?” Ia memotong.

“Baru dua hari ikut pelatihannya, malah pengajarnya yang diomeli cara mengajari penulisan yang baik dan benar. Hahahaha.” Kami sama-sama tertawa panjang.

Lisa menyetujui syaratku. Sebuah syarat yang tak berat, sebuah tanda kasih sayang kepada semua manusia. Tanpa keinginan menuntut keuntungan balik.

“Aku berterima kasih, Mas. Sudah mau memberi dukungan,” ucapnya pelan, saat matahari tenggelam di langit yang sudah memerah, pertana Aku harus beranjak pulang kembali ke Jakarta.

“Hmm,” Jawabku pendek sambil mengelus kepalanya perlahan.

“Terharu, ternyata masih ada orang baik di dunia ini,” katanya sambil menyeka pipi dari air mata.
“Orang baik pasti akan selalu ada datang dan pergi dari hidup kita. Santai saja. Selagi kamu juga berusaha berbuat baik ke orang lain, nanti akan dipertemukan lagi dengan orang baik lainnya,” jawabku setelah mengantarkannya pulang ke rumah.

Lisa masih muda. Belum lewat umur dua puluhan tahun. Ia punya banyak kesempatan untuk berhasil dengan kondisinya yang bisa disadari lebih awal. Hanya lingkungannya saat ini yang tidak memungkinkannya untuk memberikan yang terbaik dalam hidup. Itulah kenapa Aku menyarankannya untuk jadi penulis, yang membuat ia punya alasan untuk melanjutkan niat pergi meninggalkan tempat toxic ini, dan mengejar mimpi-mimpinya.


Mimpi yang saat ini saling bertubrukan begitu kerasnya dengan kondisi yang ia alami, bagaikan tubrukan kerikil-kerikil di Pantai Muko Muko.

=====
Cerita ini bagian dari Ebook #CoffeeDepresso: The Stories yang merupakan lanjutan dari Ebook #CoffeeDepresso seri pertama.  Tulisan-tulisan saya bisa jadi menjadi trigger dan stressor bagi penderita depresi. Bagi yang merasa dirinya depresi atau sudah terdiagnosa depresi, harap tidak membaca tulisan-tulisan ini sendirian.


Buku #CoffeeDepresso pertama bisa didownload di http://bit.ly/ebookdepresso.


Cerita ini adalah fiksi yang berdasarkan pengalaman saya di kehidupan nyata. Tidak ada kesamaan apapun dengan nama orang, tempat, dan peristiwa yang ada di dalamnya dengan kejadian di dunia nyata. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.