Kang Asep

Akhirnya aku bertemu dengan Asep Herna

Kang Asep

Seorang mahasiswa baru di fakultas Sastra UI, rambut berponi, mata agak sipit, giginya putih mengkilat. Berperawakan minimalis, terlihat dari seragam kuningnya yang kedodoran, dari gesturnya dia seorang yang ramah. Dari jauh dia menatapku, lelehkan senyum dari bibirnya, seolah koding agar aku mendekatinya.
"Hai, sapa namamu?" tanyaku.
"Asep. Abdi ti Majalengka."


Sejak saat itu kami berteman. Menggurau bersama, sesama mahasiswa baru UI. Yang kuingat, kita bareng ikut penataran P4 dan prosesi agung, bergabung dalam paduan suara di Balairung dipandu oleh Komposer Pak Dibyo:


"Gaudeamus igitur
Iuvenes dum sumus.
Gaudeamus igitur
Iuvenes dum sumus"


Persuaanku dengan Asep teramat singkat. Cuma setahun. Aku kemudian eksodus ikut UMPTN lagi dan akhirnya kuliah di Bandung. Kami berpisah. Dalam ingatanku, ada satu fase mahasiswa, ketika aku bertemu Asep dan Dudu, teman temanku dari UI di jalan Setiabudi Lembang. Kami naik bertiga angkot, posisioningnya, Asep dan Dudu duduk di pojok. Aku duduk deket pintu, dan diantara Aku, Asep dan Dudu, ada mojang mahasiswi NHI Bandung yang cantik. Kami ngobrol "gayeng" bertiga melepas rindu. Sepertinya sesekali liurku meleleh saking semangatnya.  Gak sadar ditengah kami si mojang menutup hidup. Maklum kami habis makan di warteg.


Setelah 30 tahun, saya dipertemukan Asep, mahasiswa berponi dari Majelengka. Asep secara fisik tidak berubah tetep ceking. Sementara saya disusupi oleh aliens sehingga berat ku naik 20 kg. Yang tidak konstan dari Asep adalah kompetensinya. Temanku yang dulu polos, itu sekarang jadi master Hypnoterapi handal. Siapa yang tak kenal Asep sekarang. Hebat ...salam respek.


Saya punya gambaran tentang Asep dulu. Memori saya masih merekam sifat; karakter serta pongkah polah Asep Poni. Sayangnya kekonsistenan persepsi kita bisa saja goyah karena terkadang bukan kesadaran yang mengendalikan kita, tapi ketidaksadaran yang menjadi locus of control kita.

Kejadiannya seperti kalau kita naik kereta api jalur selatan arah Jakarta ke Jogja di siang hari. tepat di daerah Rowokele Kebumen pasti akan melewati terowongan panjang. Dalam terik siang dan hampir bingar perjalanan kereta; lalu tiba-tiba kereta masuk ke dalam terowongan yang gulita. lama di gelap tapi tiap 5 menit ada cahaya terang masuk selang seling dengan gelap, mirip lampu blitz. Tiap kali perubahan dari gelap menjadi terang, kesadaran kitapun menjadi terasing; dan dalam keterasingan; sempat terihat sekilas di dalam cahaya yang masuk ke gerbong kereta itu; sebuah wajah dan fenomena yang asing; unik serta nyleneh. Ada kalanya terlihat seekor monyet yang lagi nangis sesenggukan, nenek tua yang lagi main layang layang atau bola bekel, kodok yang ingin menggapai cewek cakep atau gondoruwo yang lagi asik main twitteran.

Konsistensi persepsi kita terhadap suatu fenomenapun menjadi goyah dan dialihkan. Ya karena intervensi ketidaksadaran pada kasus tadi: Loh kok dia berubah ?

Dan Asep Herna yang saya kenal dulu, sekarang sudah berubah total. 
Nah sebagai penghargaan persahabatanku ke Kang Asep saya harus belajar banyak ke beliau dan Om Bud, ikut the Writers meskipun saya bukan penulis. Saya ingin menyerap ilmu mereka sekaligus bersilahturahmi sambil belajar.


Semua akan berubah…dan hidup ini nggak seperti sebungkus permen sugus Mas Bro, atau sepincuk ongol ongol dan cilok. Hidup ini terkadang mirip eskrim Mixue yang penuh warna warni. Salam berbahagia.

Salam
Yogi H - UGM

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.