PUISI ITU APA, SIH?

PUISI ITU APA, SIH?

Sejak kecil saya suka menulis puisi. Pas masuk ke SMP, kegemaran menulis puisi ini semakin besar. Gara2nya saya melihat puisi teman-teman banyak yang dimuat di majalah remaja. Sayangnya, nasib saya tidak seberuntung mereka. Gak ada puisi saya yang diterima. Beberapa kali saya memperlihatkan puisi saya pada temen-temen dan meminta pendapat mereka.

"Hahahaha....ini, mah, bukan puisi, Bud. Lo harus belajar dulu apa itu puisi," kata seorang teman yang puisinya baru dimuat di majalah bergengsi.

Saya cuma bengong doang mendengar penilaian teman2 tentang puisi saya. Sebetulnya apa sih puisi itu? Syarat-syarat apa yang diperlukan untuk menyebut sebuah karya masuk ke kategori puisi.

Seorang sahabat saya bernama Benny berkata, "Bud, puisi itu gak ada parameter yang mutlak. Kalo lo bermaksud menulis puisi, ya pasti jadinya puisi."

"Jadi tulisan gue ini termasuk puisi, bukan?" tanya saya menegaskan.

"Kalo elo bilang itu puisi, berarti itu puisi," sahut Benny.

"Tapi temen-temen yang lain bilang ini bukan puisi."

"Peduli setan sama mereka. Pokoknya kalo buat elo itu puisi ya pasti puisi."

Pendapat Benny saya anggap cuma hiburan agar saya tidak kecewa. Benny memang sahabat yang baik tapi dia cuma anak SMP. Pengetahuannya nol soal puisi. Di saat itu, saya merindukan sekali bisa berkenalan dengan penyair besar. Saya akan bertanya padanya apakah definisi puisi.

Naik ke SMA kejadian yang sama berulang. Temen-temen saya puisinya banyak dimuat dan saya gatot lagi, gatot lagi alias gagal ng...eh salah, gagal total. Dan seperti di waktu SMP, beberapa orang melecehkan saya sambil berkata, "Tulisan lo itu cuma kumpulan kata-kata puitis, Bud. Bukan puisi."

Kegalauan pun semakin mendominasi. Saya teringat lagi pada kata-kata Benny. Puisi itu ya terserah kita. Kalau kita bilang itu puisi ya artinya itu puisi. Saya tersenyum sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa mempercayai omongan Benny. Dia bodoh soal puisi.

Akhirnya saya menyerah. Cemoohan teman-teman, saya anggap adalah cara Tuhan untuk mengatakan bahwa saya tidak berbakat dalam bidang puisi. OK, saya cari bakat yang lain lagi. Naik gunung. musik dan menulis non-puisi.

Bertahun-tahun saya melupakan puisi sampai akhirnya saya mulai kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Di sinilah passion saya pada puisi yang telah menjadi arang sekonyong-konyong kembali membara. Penyebabnya adalah salah satu dosen di Fakultas ini adalah penyair idola saya sejak SD. Namanya Sapardi Djoko Damono.

Saya langsung mendaftar semua mata kuliah dari Begawan Kata ini. Pak Sapardi adalah dosen dari jurusan yang lain. Untungnya saya tetap bisa ikut dengan mengambil status Mata Kuliah Pilihan Bebas. Dan alhamdulillah saya bisa berkenalan langsung dengan begawan kata ini.

Bukan cuma kuliah, sesekali saya mampir ke rumahnya di Ciputat untuk sekedar ngobrol. Saya juga ikut menciptakan lagu untuk proyek musikalisasi puisinya. Saya juga ikutan membantu program Pekan Apresiasi Sastra bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya juga pernah diminta Bapak menjadi dosen tamu di program S2 di IKJ TIM. Bayangin! Saya lulusan S1 bisa jadi dosen mahasiswa S2. Hahahahahaha... Bukan sombong, loh!

Waktu sakit, Bapak juga menelpon, "Bud, saya lagi dirawat di RS Fatmawati. Deket sama kantor kamu, kan? Ayok kesini."

Saya pun langsung terbang menjenguk Bapak. Seperti biasa kami ngobrol-ngobrol soal penulisan. Ternyata Bapak juga udah mendengar bahwa saya punya komunitas The writers. Dia mendukung aktivitas tersebut.

"Saya suka sama tagline 'Sebelum mati buatlah minimal satu buku'. Bagus itu, Bud," katanya.

"Itu ucapan Ayah saya, Pak. Bukan saya."

"Gak penting siapa yang mengatakannya tapi siapa yang menjalankannya," sahut Bapak sambil menepuk pundak saya.

Lalu kami pun larut dalam rimba kata-kata. Berdiskusi seputar literasi. Sampai tiba-tiba topik pembicaraan mengantarkan saya ke jaman SMP dulu. Doa saya untuk bertemu penyair besar sudah terkabul. Dan beliau adalah orang yang paling pantas menjawab pertanyaan saya.

"Pak, apakah puisi itu ada kriterianya? Kapan sebuah karya bisa disebut dengan puisi? Kenapa teman-teman saya sering bilang puisi saya bukan puisi?"

Bapak cengengesan sebentar lalu menjawab, "Saya akan membacakan sebuah tulisan. Setelah itu kamu harus menilainya apakah itu puisi atau bukan. Okay?"

"Okay, Pak."

"Laki-laki itu duduk di belakang sebuah warung di samping sebuah kolam. Dia merokok sendiri saja sementara teman-temannya duduk bergerombol di depan warung. Tiba-tiba terdengar suara 'BYUR!'. Semua orang berlari ke arah suara itu. Di belakang warung orang mendapati laki-laki itu sudah mati mengambang di permukaan kolam." Pak Sapardi tersenyum menandakan bacaannya sudah selesai.

"Waduh..." kata saya mendesah.

"Kok waduh? Itu puisi bukan? Atau itu berita? Hayok jawab?" desak Bapak lagi.

Dengan kening berkrenyit saya cuma bisa berguman, "Puisi atau berita ya?" Saya sampe garuk-garuk kepala karena kebingungan harus menjawab apa.

"Kalo lagi mikir gitu, kamu malah keliatan tambah blo'on, Bud. Hahahaha...." kata Bapak sepertinya dia bahagia sekali bisa membully saya.

Gak tega ngeliat saya puyeng kayak gitu, Sapardi menjawab sendiri, "Kamu tinggal ngecek nama yang tertera di bawah tulisan itu."

"Maksudnya gimana, Pak?"

"Kalo tulisannya Detikdotcom, maka itu berita. Kalau di bawahnya ada tulisan Sapardi Djoko Damono, berarti itu puisi."

"Wah? Sesimple itu, Pak?" tanya saya surprise banget.

"Iya, sesimple itu. Kalo kamu niatnya bikin puisi berarti itu puisi. Kalo niatnya nulis berita maka itu jadi berita."

Jleb! Saya langsung teringat pada ucapan sahabat saya, Benny. Jawabannya persis sama dengan jawaban Pak Sapardi. Bedanya adalah Benny menjawab seperti itu karena dia bodoh soal puisi. Sementara Sapardi menjawab seperti itu karena dia pintar soal puisi. Kenapa jawaban orang bodoh kok bisa sama dengan orang pintar? Analisis saya begini:

Benny mengucapkan kalimat tersebut tanpa menjalani prosesnya. Jadi dia menjawab tanpa mengetahui apakah jawabannya betul atau tidak. Sedangkan Pak Sapardi sudah menjalani proses yang sangat panjang. Saking panjangnya Pak Sapardi telah kembali ke titik awal yang sama.

Seperti membuat sebuah lingkaran, Benny baru membuat sebuah titik. Sementara Pak Sapardi sudah membuat lingkaran dan kembali ke titik awal. Itu sebabnya jawaban Benny dan Pak Sapardi menjadi sama.

Otak saya terus traveling menganalisis jawaban Pak Sapardi. Saya teringat waktu SMA, saya mencoba berbisnis sablon dan kaos. Sebagai newbie, saya punya pemahaman bahwa kalo mau sukses dalam bisnis, caranya sederhana. KIta itung aja modal kita berapa lalu jual dengan harga yang sesuai dengan profit yang kita inginkan.

Suatu hari, saya beruntung bisa ketemu sama Bob Sadino, seorang pengusaha yang sangat sukses. Dalam pertemuan itu saya bertanya, "Om Bob, gimana caranya supaya kita sukses dalam bisnis?"

"Itung aja modal kita berapa lalu jual dengan harga yang sesuai dengan profit yang kita inginkan." Di luar dugaan jawaban Om Bob ga ada bedanya dengan pemahaman saya. Luar biasa! Saya langsung merasa pintar, setara dengan pengusaha kocak ini.

Waktu itu saya belum mengerti bahwa saya belum menjalani prosesnya, Sedangkan Bob Sadino sudah menyelesaikan prosesnya dan sampai ke titik jawaban itu lagi. Artinya kalo kita mau sukses, pemahaman saja tidak cukup. Prosesnya itulah yang paling penting untuk dijalani..

Fuiiih...begitulah hidup. Ketika masih anak-anak, pemikiran kita sangat sederhana. Semakin banyak kita belajar maka pemikiran kita berkembang. Kita menghadapi banyak keruwetan hidup. Semakin banyak kendala semakin matanglah pemikiran kita. Proses itulah yang perlu kita jalani secara terus menerus sampai akhirnya kita mencapai titik awal lagi. Kita menjadi sederhana lagi seperti jaman anak-anak. Dan itu kadang ditandai dengan jawaban yang sama.

"Berarti sebuah puisi gak ada kriterianya ya, Pak?" tanya saya lagi.

"Kalo kamu sering nulis puisi, kamu akan menemukan kriterianya. Dan kriterianya tidak dapat dijelaskan tapi dapat kamu rasakan." jawab Sang Begawan Kata lagi sambil tersenyum.

Fuiiih....alhamdulillah dapet ilmu lagi, ????

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.