Duduk Dulu, Kita Bicarakan Sama-sama
Komunikasi yang singkat belum tentu tak menghasilkan solusi. Sebaliknya, komunikasi yang panjang tak menjamin adanya solusi. Intinya, kita duduk dulu, bicarakan dan dengarkan. Komunikasikan.

Sebagian besar dari kita pasti sepakat bahwa sekitar tiga sampai dua dekade yang lalu, ketika ponsel masih dimiliki oleh kaum "The Have" atau "The Rich" saja, cara terinstan dan terefektif untuk mengajak teman kumpul bareng adalah dengan mendatangi langsung ke rumahnya.
Memanggil sesekali, dengan jeda. Kadang dengan teriakan. Ya, teriakan yang dibalas pula dengan teriakan, tapi bukan dari si teman melainkan mamanya yang nyahut balik "Andi lagi tidur siang!" atau "Dewi lagi ngerjain PR!" atau "Pulang sana tidur siang!"
Di lain kasus, di masa yang berbeda, tiga orang atau lebih yang tergabung dalam suatu grup percakapan berbasis media digital. Si A hadir dengan mengutarakan tentang dukungannya untuk paslon 01 pada pilkada 2020.
Disampaikannya semua kelebihan paslon 01: putra daerah, senior di birokrasi pemerintahan, negosiator ulung dalam hal perjanjian dengan pihak swasta, dan lain-lain. Ya, semua tentang kelebihan Paslon 01. Si B merasa bahwa informasi tentang kelebihan si Paslon 01 mutlak sebagai bukti kelemahan Paslon 02, paslon yang ia dukung sekeluarga. Dengan acuh tak acuh dikirimnya emoticon gambar jempol sebagai balasan. Apakah itu tanda bahwa dia setuju dengan klaim si A? Apakah dia sudah beralih dalam hitungan menit? Atau apakah jempol itu sebagai tanda bahwa sebaiknya si A berhenti omong kosong di grup karena ia yakin Paslon 02 lah yang terbaik?
Yang menarik dari pengalaman nyata panggil-memanggil ini adalah kita tahu siapa responden atau pihak yang kita panggil. Kita dengan mudah mengetahui apakah lawan bicara kita sedang dalam mood yang baik atau kurang baik. Kita tahu bahwa walaupun ibu si teman menyuruh si pemanggil untuk pulang tidur siang tapi besok dia akan tetap "berani" untuk datang lagi. Ada sisi memahami di dalam bentuk real communication_seperti ini.
Sementara itu, berdiskusi atau sekedar bercakap yang dibatasi layar ponsel 6 inchi tentu tak menjamin bahwa si dia sedang dalam suasana hati yang bahagia meski dikirimkannya sebuah jempol atau wajah tersenyum sekalipun. Yah itulah sisi negatif suatu virtual communication. Dekat. Tapi jauh. Senyum. Tapi... belum tentu.
Bertolak dari dua kondisi di atas, kata kuncinya hanya satu. Komunikasi. Sayangnya, tidak seperti pemahaman banyak orang bahwa komunikasi menjadi media pemersatu sepanjang bisa dimengerti, terkadang komunikasi justru menjadi batu sandungan bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Terlalu sedikit komunikasi akibatnya kurang koordinasi, lemah analisa, dan kurangnya pertimbangan mengambil sebuah keputusan.
Sebaliknya, terlalu banyak komunikasi mengakibatkan banyak waktu tersita untuk sekedar mendengar tiap orang berpendapat, terlalu banyak yang harus diikuti dan dipuaskan, akhirnya goal yang sederhana sulit untuk dikejar.
Itu baru sekedar komunikasi level bawah. Teman ke teman. Keluarga ke keluarga. Lantas bagaimana dengan level yang lebih di atas? Contoh terdekat, atasan kita di kantor. Panjangnya hirarki kepemimpinan di suatu perusahaan atau instansi membuat alur komunikasi yang tak kalah panjangnya. Saking panjangnya, suatu perintah atau anjuran atau apapun yang disampaikan pucuk pimpinan terkadang terdistorsi ketika sudah sampai ke pekerja bawahan.
Atau kalau kita sendirilah yang jadi atasan, tidak mudah untuk mengeluarkan suatu perintah A dan memastikannya tetap A, yang utuh, ketika sampai di level terbawah. Pun jika perintah atau anjuran itu sudah sampai pada level terbawah tak menjamin bahwa hal tersebut akan dengan sukarela dilakukan. Pro dan kontra. Suatu hal yang mutlak terjadi.
Maka perlu untuk duduk dulu. Duduk dulu, kita bicarakan sama-sama. Tak ada hal yang bisa diselesaikan tanpa komunikasi. Cukup dengan pilihan kosakata sederhana untuk mengutarakan suatu maksud, disampaikan dengan singkat dan penuh optimisme, aku yakin bisa menjadi solusi atas suatu masalah.
Bagiku, tidak masalah jika harus dengan nada yang agak tinggi, terkadang itu perlu untuk menunjukkan penekanan, tapi pastikan kepala tetap dingin. Tidak apa jika harus sedikit berteriak, selama raut wajahmu tetap terlihat, aku mengenalimu maka kutahu tak ada marah di balik pendapatmu itu. Karena aku tahu kita hanya butuh komunikasi yang lebih terarah. Karena semua masalah dapat diselesaikan dengan komunikasi.
Tulisan ini bukan hanya kutujukan untuk temanku atau pribadi sebayaku, tapi untuk kita semua tanpa melihat latar belakang profesi dan peran kita. Terkhusus untuk siapapun diantara kita yang mungkin duduk di suatu instansi atau kursi pemerintahan sebagai pelayan masyarakat. Sangat perlu untuk mengajak masyarakat yang dilayani duduk bersama. Mendengar mereka dan meminta pendapatnya atas suatu solusi. Masyarakat kita kritis loh hanya kurang diberi ruang dan waktu untuk berkomunikasi dengan pemerintahnya. Jangan buat posisi mereka menjadi terbalik, menjadi pelayan pemerintah. Jadikan komunikasi sebagai media untuk saling bicara dan saling mendengar. Duduk dulu, dan bicarakan sama-sama. Karena semua masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi.
(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/woman-wearing-teal-dress-sitting-on-chair-talking-to-man-2422280/ )
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.