VIDA BINTANG KECIL KAMI

VIDA BINTANG KECIL KAMI

Namanya Vida. Sesingkat dan sesederhana itu. Tak ada nama lainnya. Gadis ceriwis itu adalah bintang kecil di gang rumah kami. Ada saja celoteh spontannya yang membuat kami tersenyum, bahkan tergelak. Tak jarang para tetangga “menculik”nya ke rumah mereka untuk menikmati ocehan-ocehannya, atau sekadar untuk memberi hadiah-hadiah kecil karena gemas dengan polahnya. Warga di gang kami kebanyakan orang-orang tua, yang anak-anaknya sudah dewasa dan tidak tinggal bersama mereka lagi. Karenanya kompleks kami sering dijuluki kompleks pensiunan. Jadi kehadiran Vida memberi warna tersendiri di dalam keseharian kami.

Satu kali, melihat mbak depan rumah sedang menyapu, ia memanggil: “Mba Juuum...”

“Iya Vidaaa…”

“Mba Jum belum mandi ya…?

“Mba Jum udah mandi Vidaaa.”

“Kok mba Jum masih bauuu?”

“Eee… enak ajaaa. Mba Jum udah mandi Vidaa…” Jawab mbak Jum tersipu.

Di kali lain, melihat aku sedang membuka pagar untuk mengeluarkan mobil, ia memanggil: “Bapaaak…”

“Yaaa…”

“Bapak udah tua yaaa… kok rambutnya putih semua.” Akupun tergelak. Tak menyangka ucapan seperti itu bisa keluar dari mulut seorang bocah berusia 4 tahun.

Ya, tak terasa 4 tahun sudah. Vida telah tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas, cantik dan disayangi semua orang. Tapi aku, dan semua orang di sini tak pernah melupakan peristiwa itu. Di kompleks, aku menjadi pengurus RT bidang keamanan. Pagi itu, aku sedang berlari mengelilingi kompleks kami. Berolah raga sekaligus memantau kerja Satpam kompleks kami. Tiba-tiba Hendi, salah satu anggota Satpam, ngebut dengan sepeda motor menghampiriku. Naluriku langsung merasa ada kejadian menimpa warga. Entah kemalingan, entah tindak kejahatan lain.

“Pak… pak… “ Suaranya tersengal-sengal panik. Mambuatku ikut panik.

“Ada apa Hen?”

“Ada bayi dibuang di taman!”

“Hah… dimana sekarang? Gimana kondisinya?”

“Masih di taman, ditungguin anggota. Masih hidup. Keliatannya nggak ada luka, bersih.”

“Ayo anter saya pulang ambil mobil. Kita bawa ke rumah sakit!” Kataku sambil melompat ke motor Hendi.

Tanpa sempat berganti pakaian yang basah oleh keringat, aku cepat-cepat mengeluarkan mobil dan menuju taman. Beberapa Satpam menunggu di sana. Seorang asisten rumah tangga, mbak Tumi namanya, tampak menggendong bayi yang terbungkus selimut. Aku minta Hendi dan mbak Tumi ikut ke rumah sakit. Kami sempat bertemu dengan pak RT yang juga sedang jalan pagi dan aku melapor sekilas. “Ya sudah mas, segera aja ke rumah sakit. Nanti mengenai biayanya kabarin ya,” kata pak RT.

Di perjalanan, mbak Tumi bercerita. Sekitar jam 06.00, ia sedang menyapu halaman ketika mendengar suara bayi menangis yang dekat sekali. Merasa aneh karena ia tahu warga di sekitar situ tidak ada yang memiliki bayi, ia keluar untuk mencari sumber suara. Seberang jalan rumah tempat mbak Tumi bekerja adalah taman fasilitas umum. Tangis bayi semakin terdengar kencang di sekitar belukar. Mbak Tumi langsung pucat pasi melihat sumber tangis itu berasal dari bayi yang hanya berbungkus kain lusuh, di dalam kardus yang ditaruh agak tersembunyi di dalam semak. Segera ia berlari masuk melapor kepada majikannya yang langsung menghubungi Satpam. Lalu mbak Tumi mengambil bayi itu dan menyelimutinya.

Rumah sakit hanya sekitar 2 km dari kompleks kami. Dalam beberapa menit kami sudah sampai di UGD dan langsung menghambur masuk. Petugas UGD yang menyambut mungkin menyangka kami suami istri yang membawa anaknya yang sedang sakit. Penampilanku sangat kacau. Hanya berkaos dan celana olah raga yang lepek berkeringat, dan bersandal jepit.

Mereka sangat terkejut ketika aku berseru: “Tolong pak, ini kami menemukannya di dalam kardus di taman.” Seorang perawat wanita langsung mengambil bayi dari tangan mbak Tumi. Beberapa petugas sigap memeriksa dan membersihkannya sambil tak henti-hentinya menyesali perbuatan ibu si bayi. Beberapa bagian kulitnya mengelupas. Tapi mereka bilang itu kondisi yang wajar untuk bayi yang baru lahir. Diperkirakan umurnya belum lagi seminggu.

Rupanya ia sangat kelaparan. Sebotol susu habis dilahapnya dengan cepat. Ia mulai terlihat segar. Tersenyum dan memelet-meletkan lidahnya. Membuat semua orang yang mengelilinginya kontan jatuh hati. Beberapa bahkan menyeletuk ingin sekali mengadopsinya. Semua ingin menggendong dan memeluk untuk menghangatkannya. Miris membayangkan sampai hati ibunya membiarkannya teronggok kedingingan dan kelaparan di udara dingin berembun entah sudah berapa jam lamanya. Aku bersyukur tak ada binatang yang mengganggunya. Selain anjing, di kompleks kami sering muncul biawak besar yang bersarang di selokan.

Tak berapa lama, Direktur Rumah Sakit datang, disusul beberapa orang Polisi dari Polsek. Kami dimintai keterangan sebentar. Lalu pak Direktur yang ramah mengajakku berbincang. “Pak, bayi ini akan kami rawat sesuai standar penanganan bayi di sini, sampai kami pastikan kondisinya sehat. Mengenai biaya tak perlu dipikirkan. Ini menjadi salah satu tanggung jawab sosial kami.”

Polisi pun mengatakan bahwa sementara proses penyelidikan untuk mencari keberadaan orang tuanya, status bayi adalah tanggung jawab panti asuhan di bawah Dinas Sosial DKI yang dititipkan di rumah sakit. Polisi melakukan penyelidikan di TKP. Rekaman CCTV di pintu gerbang kompleks dan di rumah warga diputar ulang. Tapi belum menemukan titik terang.

 Secara rutin aku dan pak RT menengok ke rumah sakit. Bersama para perawat, kami sepakat menamakannya Vida. Singkatan dari nama perumahan kami, Vila Delima. Dalam beberapa minggu pertumbuhan Vida membesarkan hati. Berat badannya naik dengan cepat. Vida bayi yang tenang. Iapun menjadi pusat perhatian dan kesayangan dokter dan para perawat ruang bayi.

Suatu hari pak RT menyatakan keinginannya untuk merawat Vida. Kami berkonsultasi dengan Polisi dan pak Lurah, lalu membawa rekomendasi mereka ke Dinas Sosial. Polisi mendukung keinginan pak RT karena Polisi menduga ibu kandung Vida adalah pekerja rumah tangga atau orang yang tidak asing lagi dengan lingkungan kompleks kami. Maka kemungkinan besar suatu saat si ibu akan mencari tahu keberadaan dan nasib anak yang dibuangnya.

Tak mudah mendapatkan izin adopsi. Berbagai prosedur harus dijalani dan membutuhkan waktu. Terlebih lagi harus ada kepastian lebih dulu mengenai keberadaan orang tua Vida. Tetapi untuk sementara Dinas Sosial mengizinkan Vida dirawat dan diasuh pak RT.

Waktu terus berjalan tanpa ada perkembangan mengenai status Vida. Tetapi Vida dibesarkan dengan limpahan kasih sayang oleh keluarga pak RT, dan juga oleh kami semua. Pak RT pun kerap mengajak Vida ke rumah sakit, mengunjungi para “orang tua asuh”nya. Tapi masa depan Vida masih menjadi masalah besar. Sebentar lagi ia masuk usia sekolah. Tak mungkin ia bersekolah tanpa punya status hukum yang jelas. Vida pun punya hak untuk mengetahui asal usulnya.

Tiba-tiba terdengar sapaan Vida; “Bapak lagi apa?” Wajah polosnya menyembul dari balik pagar.

“Lagi nyiram tanaman Vida,” jawabku.

“Aku punya coklat dikasih eyang Hadi. Dikasih dua,” katanya sambil menunjukkan coklatnya. “Bapak mau satu?”

“Emangnya Vida nggak apa-apa kalo coklatnya bapak makan?”

“Nggak apa-apa. Paling-paling besok eyang Hadi kasih Vida lagi. Tadi Vida liat di kulkas eyang masih banyaaak…”

Ah Vida, meleleh hatiku nak. Seandainya orang tuamu tahu. Aku hampiri Vida, merengkuh dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Membuatnya riuh tergelak-gelak.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.