Tentang Senyuman Ibu

Sungguh. Aku tidak ingin merasa kehilangan, seperti senyuman yang tak pernah engkau tanggalkan.

Tentang Senyuman Ibu

 

Beberapa hari ini, ku lihat senyuman ibu melemparku pada kenangan ayah.

__________

Umurku mungkin baru masuk bilangan empat atau lima saat sebuah delman atau becak berhenti di jalan dekat rumah dan pergi membawa lambaian tangan ayah. Ibu mengenakan senyuman. Pasti dia sedang bahagia, maka kukenakan juga senyuman.

Aku ingin selalu bahagia bersama ibu.

Saat aku telah jauh meninggalkan usia balita. Delman itu tidak pernah kembali, juga ayah dan seluruh buah tangan yang pernah dijanjikan. Aku telah menanggalkan senyuman, namun ibu masih mengenakan senyuman yang sama.

Apakah Ibu tetap bahagia?

“Aku selalu menanti. Dia pasti akan kembali. Aku tidak ingin berhenti yakin,” tukasnya sambil membetulkan letak senyumnya.

Hingga kemudian datanglah masa, di mana ibu mulai kelelahan.

Aku mencoba mendekapnya, menciumnya, sekadar memberi kehangatan pada bibirnya yang mulai membeku, meski senyumnya tak jua lepas dari bibir yang tak lagi ranum itu.

Ia balas menciumiku, menangis tersedu. Entah apa yang membuatnya menangis. Ia terus menangis.

Saat aku mencoba menghapusnya, senyumnya kembali menyapa, meski ada sesuatu tersembunyi di balik senyuman itu.

“Jangan kau tanya kenapa ibu tersenyum, nak. Sebentar lagi ayahmu datang menjemput Ibu. Ibu masih nampak cantik, kan? Ayahmu pasti pangling melihat istrinya masih seperti dulu...”, hiburnya sambil memelukku erat. Lama sekali, seperti enggan lepas dariku. Perlahan kemudian ia lepaskan.

Aku hanya tertegun, membiarkan airmata membasuh mukaku. Hal yang kemudian menyadarkanku tentang sesuatu. Sesuatu yang selalu terlambat kusadari. Firasat kematian yang selalu meninabobokkan.

Beberapa hari sebelum wafat, kau bisikkan sesuatu lewat telpon di pagi buta.

Aku hanya bisa mengiyakan meski tak memahami apa yang kau katakan. Dua hari aku coba berpikir keras mengingat pesan-pesanmu lewat bisikan nan lembut penuh cinta.

Tak juga kutemukan jawaban, sampai akhirnya kuangkat dering telpon berikut yang mengabarkan kematianmu. Sekujur tubuh terasa kelu, lemas tak bertenaga. Tapi aku harus kuat, sebagaimana caramu bertahan hidup sepeninggal ayah.

“Ayah benar-benar datang menjemputmu, seperti yang pernah kau katakan pada anakmu ini.”

Malam ini, setelah lebih dari 4 tahun kepergianmu, aku hanya bisa berdoa dan membayangkanmu mengenakan senyuman kembali, seperta kala menjemput ayah turun dari delman dengan buah tangan.

“Semoga damai di sana. Bahagia selalu bersama ayah ”

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.