PANLEUKOPENIA SURVIVOR

PANLEUKOPENIA SURVIVOR

          Selepas Isya aku dan anakku, Dara,  berboncengan sepeda motor membawa Jelly ke Klinik Hewan Jogja. Sudah dua hari kucing   tuxedo , yang bulunya berwarna hitam dan putih seperti setelan tuxedo kecil ini , menolak makan.  Setiap kali kusodori makanan, dia melengos lalu berjalan menjauh. Semakin gencar aku memaksanya makan, semakin sulit kuraih dari persembunyian. Awalnya di bawah meja tulis di ruang kerjaku lalu diam-diam bersembunyi di samping kloset kamar mandi. Setelah itu aku kehilangan dia.  Tapi tak  ada kata menyerah bagiku .

Aku terus mencarinya hingga menemukannya di bawah kolong tempat tidur.  Itu sungguh menyulitkan. Sampai-sampai aku merangkak mencoba  menggapainya namun dia semakin tak kelihatan karena diam-diam bergerak semakin masuk ke dalam .  Kugunakan sapu untuk menariknya tapi gagang sapu tak mampu menjangkaunya.  Untunglah kucing-kucing yang  lain seperti tahu kesulitanku. Jhuan mencoba masuk ke kolong. Kulihat yang dilakukan adalah menjilati kepala saudaranya.  Tindakan itu  memang menenangkan Jelly  tetapi  tidak membuatnya keluar.  Setelah Jelly kelihatan nyaman, Jhuan pun ke luar dengan puas.  Kini  harapanku tertuju pada Jenifer yang mengikuti jejak Jhuan.  Kutunggu beberapa saat hingga kuihat Jelly ke luar diikuti Jenifer.  Segera saja aku menyiapkan  pet cargo sambil menunggunya selesai minum. Ya, hanya minum saja yang dilakukan dalam dua hari ini.

                Di ruang pemeriksaan kujelaskan kondisi Jelly kepada dokter hewan  perempuan yang berperawakan kecil tapi  senyumnya manis dan sangat piawai menangani kucing. Dia mencurigai Jelly terkena virus setelah mengetahui nafsu makannya hilang, badannya lemah lalu ada sedikit bekas kotoran dari diare yang tidak kuketahui sebelumnya.  Untuk memastikan dia menyarankan cek darah yang hasilnya akan keluar dalam 10 menit.  Biayanya seratus ribu. Aku harap-harap cemas menunggu hasilnya. 

                “Jelly kena virus  Panleukopenia,” katanya sambil menunjukkan  selembar kertas berisi hasil tes darah. “Ini lihat leukositnya sangat rendah.  Hanya 900 padahal  batas normal paling bawah 5500. Memang virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh. Musim hujan merupakan puncak penyebaran virus ini dan sayangnya  ini termasuk salah satu jenis virus yang mematikan.”

                Dadaku mulai berdegup kencang, melihat Jelly  dengan iba dan kekhawatiranku memuncak ketika kudengar lagi suara dokter itu.  “Hanya  tiga puluh persen yang bertahan hidup dari virus ini. Terutama kucing yang belum divaksin.”

                Kata tiga puluh persen mengingatkanku pada Lily, kucingku yang tewas keracunan Agustus tahun lalu. Kubawa ke klinik ini sekitar jam 9 setelah sebelumnya mencoba mencari pertolongan pertama dari dokter hewan yang dekat dari rumahku. Dokter mengatakan harapan hidupnya hanya tiga puluh persen karena racun sudah menyerang sistem syarafnya. Lily dimasukkan ruang gawat darurat satu malam sebelum paginya usai Subuh nyawanya tak tertolong lagi.  Aku menjemputnya sudah menjadi jenazah yang dikafani dalam sebuah kardus.  Membawanya pulang sambil berurai air mata. Semoga Jelly tidak mengalami nasib serupa.

            “Mau dirawat inap atau dirawat di rumah ?” tanya dokter kemudian.

            “Rawat inap saja Dok,” jawabku mantap. Kubayangkan betapa sulitnya memberikan obat untuk kucing. Belum lagi memberinya makan ketika dia terus menerus menolaknya. 

           “Baiklah, kita akan siapkan infusnya,” lanjut dokter yang kemudian  meminta bantuan perawat memasang jarum infus ke kaki Jelly. Kucing jantan berusia delapan bulan itu hanya pasrah.

           Sebelum pulang, dokter itu memberikan penjelasan tambahan. “Masa kritisnya lima hari. Kalau dia berhasil melewati masa kritis, kemungkinan sembuhnya besar.  Berdoa saja ya!”

Kata terakhir itulah yang kupegang. Berdoa. Aku pun tak henti  berdoa  ketika dulu Lily dirawat di sini, tetapi Allah menghendakinya kembali pada usia 3 tahun.  Barangkali sudah dianggap  cukup menemaniku.  Kali ini aku tak ingin kehilangan kucing lagi.

Kutemani Jelly ke ruang rawat inap.  Dia ditaruh di kandang warna ungu lalu ditempatkan di ruangan besar bersama kucing-kucing lain yang juga sedang sakit. Mereka menempati kandangnya masing-masing dengan tambahan tiang infus di sampingnya.  Ada seekor kucing yang sangat cerewet di ujung ruangan. Kucing persia berwarna coklat yang nampaknya lebih muda dari Jelly. Barangkali dia ingin menyapa Jelly yang baru datang.

            Aku mengelus kepala Jelly sebelum meninggalkannya.  Kubisikkan padanya kata-kata semangat dan berpesan agar mau makan. Kuharap dia mengerti apa yang kukatakan.  Setidaknya vibrasi suaraku mengisyaratkan harapanku yang besar untuk kesembuhannya. Dia berjalan pelan-pelan di dalam kandangya yang sempit. Pengalaman pertama baginya dimasukkan kandang. Di rumah dia bebas berjalan ke sana ke mari,   bermain bola dengan saudara-saudaranya dan sering melompat ke atas printer ketika aku mengeprint sesuatu. Melihat kertas keluar dari printer adalah kesenangannya.  Wajahnya nampak keheranan  dan kadang-kadang dua kaki depannya mencoba masuk ke arah keluarnya kertas.

                Setiap jam tujuh pagi aku akan mendapat informasi perkembangan kondisi Jelly dan sorenya akan mendapatkan perincian biaya perawatannya. Saat-saat menjelang jam tujuh pagi itu sangat menegangkan. Di hari pertama, hingga jam tujuh lewat  belum ada WA masuk. Kondisi ini membuatku sangat  cemas.  Sejam kemudian WA baru masuk.

             Selamat pagi, Jelly masih lesu, ada muntah disertai cacing beberapa kali, suhu normal, belum mau makan. Kondisi masih dipantau sangat intensif.  Terima kasih.

          Begitulah setiap pagi, selama  sepuluh hari, aku  menunggu jam tujuh dengan harap-harap cemas.  Seringkali aku merasa pusing dan mual  disertai dada berdebar-debar. Seekor kucing telah mengaduk-aduk perasaanku. Bahkan dia juga membuatku semakin rajin beribadah.  Setiap Subuh dan Maghrib aku akan sholat berjamaah di masjid. Aku berkeyakinan, doaku akan cepat sampai dan dikabulkan Allah jika aku berdoa di rumahNya.   Sesudah sholat wajib yang lima waktu itu aku selalu memohon kepada Allah  Sang Maha Penyembuh untuk menyembuhkan Jelly. Aku juga memintaNya mengijinkanku memelihara Jelly dalam waktu lama. Ibadah lain yang kugiatkan adalah sholat tahajud, membaca Alquran dan sholat Dhuha. Tak pernah putus doa kupanjatkan ke haribaanNya.  Hanya Dara yang tahu apa yang kulakukan. Bagi orang lain mungkin aku dinilai terlalu berlebihan dalam menyayangi binatang. Mereka tidak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti apa yang kudapatkan dari  hidup bersama kucing-kucing ini.

          Dua hari sekali aku dan Dara menengok Jelly di klinik. Memberinya semangat agar tak menyerah. “Ayo jagoanku, kalahkan Panleukopenia. Be strong. Be survive,” kalimat itu yang sering kuucapkan meskipun dia hanya terduduk lesu di ujung kandang sambil sesekali mengeong lirih.

            Setelah lewat lima hari dan Jelly masih bertahan, harapanku melambung.  Bukankah masa kritisnya sudah terlampaui? Sayangnya dia masih saja lesu dan tidak mau makan.  Kadang-kadang masih muntah dan diare. Kekuatannya hanya berasal dari cairan infus.  Kekahawatiranku kembali datang.  Tetapi doaku semakin kencang, dzikirku semakin panjang. “Berdoalah  kepadaku maka akan kuperkenakan bagimu.”  Allah telah berjanji seperti itu.  Aku  sangat percaya Dia tak akan pernah mengingkari janji.

                Pada hari kedelapan  perkembangan Jelly menunjukkan harapan kesembuhan.  Kubaca WA dari Klinik dengan penuh sukacita. Kecemasanku sirna yang artinya kepalaku tidak pusing lagi dan mual yang kurasakan di perutku pun hilang seketika.

             Selamat pagi, menginfokan kondisi kucing Jelly pagi ini nampak sesekali aktif, mau makan, tidak ada muntah atau diare. Hari ini observasi tanpa infus. Jika besok stabil bisa rawat jalan. Terima kasih.

         Sebenarnya hari ini jadwal mengunjungi Jelly, tetapi kucing-kucing di rumah menunjukkan gejala sakit. Chillo kucing tertua yang berusia 4 tahun sudah beberapa hari kelihatan lesu karena nafsu makannya menurun. Jhuan sudah dua hari muntah sehari dua  kali meskipun masih makan dengan lahap. Jennifer juga tidak bersemangat, makan harus dipaksa dan badannya agak hangat. Ojan, ibu mereka, tidak aktif seperti biasanya. Lebih banyak tidur di tangga dan makan hanya sedikit. Karena itu, aku melewatkan jadwal berkunjung ke klinik. Apalagi sore itu hujan cukup deras. Tidak apa-apa, pikirku. Mungkin besok Jelly sudah bisa pulang.

         Sayangnya kenyataan tidak seperti harapanku. Keesokan harinya WA dari klinik justru membuatku kembali cemas. Harapan untuk menjemput Jelly pulang hari ini seketika pudar.

                Selamat pagi, menginfokan kondisi kucing Jelly pagi ini nampak lesu, tidak mau makan, akan kami infus kembali, tidak ada muntah, tidak ada diare. Pengobatan dan perawatan masih kami lanjutkan.

                Jangan-jangan kemarin Jelly menunggu aku dan Dara datang ke sana. Berbicara kepadanya sambil mengelus lembut kepalanya. Memberinya semangat bahwa dia bisa kembali sehat. Meyakinkan dia kalau kami menyayanginya dan menginginkan dia bisa segera pulang. Aku pun menanyakan apakah boleh kubawakan makanan. Perawat mempersilakan aku datang pada jam makan siang. Jam dua. Meskipun langit mendung, aku tetap memenuhi janjiku menemui Jelly. 

                Jarum infus sekarang dipindah ke kaki kanan.  Dia menyambutku riang ketika kudekatkan creamy treat, camilan berbentuk krim rasa salmon, ke mulutnya. Segera saja dia menjilatinya merasakan gurihnya camilan itu. Kutambahkan juga ke makanan kering di wadah makanannya.  Begitu nikmat dia melahapnya. Perawat yang kebetulan lewat menyarankan aku meninggalkan makanan basah untuk Jelly supaya dia mau makan.

                “Jelly makannya mood-mood-an,” kata perawat perempuan bertubuh pendek agak gemuk itu ketika kuberikan sebungkus Whiskas rasa tuna  untuk Jelly.

                Jelly mendekat ke bagian depan kandangnya. Mencondongkan kepalanya ke arahku untuk kuusap seperti biasa.  Ketika Dara mendekatkan jemarinya dia menjilatinya seperti yang biasa dilakukannya di rumah.  Kukeluarkan dia dari kandang untuk kuelus dan kupeluk.  Dara melakukan hal yang sama sambil memanggil namanya berkali-kali. Dia merespon dengan mengeong berkali-kali juga. Sementara kucing di kandang sebelahnya ikut mengeong keras seolah meminta perhatian kami.  Jelly nampak tidak menyukainya.  Waktu kumasukkan kembali ke kandang, dia mendekati  kucing itu  lalu salah satu kaki dimasukkan di antara jeruji kandangnya seperti ingin memukul untuk menghentikan keberisikan yang mengganggunya.         Paginya adalah hari kesepuluh, tetapi pasti klinik menghitungnya sebelas hari karena Jelly masuknya Minggu malam.  Harapanku untuk membawa Jelly  pulang  akhirnya terwujud.  Tak sabar ingin segera melesat ke sana tetapi ada beberapa aktivitas yang harus kulakukan dari pagi hingga sore. Menjelang Ashar barulah aku dan Dara  bisa menjemputnya.  Tak peduli pada mendung tebal yang menyelimuti langit. Kami berkejaran dengan hujan tetapi harus menyerah kalah.  Pada dua kilo meter sisa perjalanan kami harus melindungi tubuh dengan jas hujan karena derasnya cucuran hujan yang tumpah dari langit.

              “Nanti Mama pulangnya naik Grab Car saja ya bareng Jelly.”

              “Jangan. Kita naik motor aja. Jelly kan bisa ditaruh tengah. Dia nggak basah. Kan ketutupan jas hujan,” Dara tidak setuju dengan rencanaku. Terpaksalah aku menurutinya.

             Sampai di klinik, kami menunggu sebentar sebelum kucing tuxedo itu diserahkan perawat kepada kami.  Dokter memberikan vitamin untuk diberikan kepada Jelly kalau tidak mau makan. Jadwal kontrol berikutnya ditetapkan akhir bulan. Jelly akan diberikan obat cacing yang ke dua.

             Perjalanan pulang ke rumah pun menyenangkan meskipun sesekali Jelly mengeong dari dalam tas tempatnya berdiam sesaat. Hujan tak menghalangi kami untuk terus melaju. Tiba-tiba Dara mulai berisik.

                “Ini kenapa bagian belakang jaketku  basah? Hangat rasanya, “ keluhnya  sambil badannya bergerak naik turun. “Jelly pipis, Ma!” serunya kemudian  di antara suara hujan. 

                “Nggak apa-apa, nanti bisa dicuci,” aku menenangkan sambil menahan senyum. Salahku juga kenapa tidak membawa pet cargo yang berbentuk keranjang. Kalaupun Jelly pipis tidak akan merembes ke luar seperti ini. Ya sudahlah, anggap saja hadiah kecil dari Jelly yang rindu pulang.

            Aku sangat bersyukur karena Jelly bisa  mengalahkan  Panleukopenia. Sebelumnya aku banyak membaca di blog-blog pecinta kucing tentang kesedihan mereka yang kehilangan kucingnya karena virus mematikan itu.  Perasaanku seperti diaduk-aduk. Harapan kesembuhan Jelly  timbul tenggelam di antara  memori tentang kematian Lily di klinik yang sama.   Jelly berhasil menjadi Panleukopenia survivor  meskipun ketika sampai di rumah dia tak lagi mengenali Ibu dan saudara-saudaranya.   Dia marah ketika  mereka mendekatinya.   Aku sadar memorinya yang kecil membuatnya mudah lupa.  Semoga saja kondisi  ini tidak berlangsung lama. Aku ingin mereka kembali bermain bersama seperti dulu.  Berlari mengejar bola lalu bergantian menendangnya. Permainan baru akan berakhir ketika bola menghilang dari pandangan mereka. Padahal bola itu sebenarnya  menggelinding ke bawah kulkas atau  berhenti di kolong tempat tidur.

 

 

                                                                                                                              Yogyakarta, 19 Februari 2020

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.