Narasi dan Deskripsi Oleh Budiman Hakim

omjay

Narasi dan Deskripsi Oleh Budiman Hakim
Narasi dan Deskripsi Oleh Budiman Hakim

Asssalamu alaikum warhmatullahi wabarakatuh.
Selamat malam teman-teman The Writers.

WhatsApp Image 2020-02-12 at 20.03.18

Malam ini, Om Budiman Hakim akan membawakan topik asik: "Deskripsi dan Narasi". Sangat menarik tentunya buat kita simak. Jangan lupa teman-teman siapkan pertanyaan untuk saya sampaikan di Sesi Tanya Jawab. Kirim pertanyaan via WA saya di 087778031272. Baiklah, mari kita langsung saja sambut pemateri kita Om Buuudiiimaaan Haaaakiiiim...

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Gak terasa malam ini udah sesi kelima aja ya. Sesuai dengan janji saya kemarin, malam ini saya akan membawakan materi yang berjudul deskripsi Dan Narasi.

Kemarin kita telah belajar beberapa hal, antara lain 3P, karakterisasi dan theater of mind. Kita juga sudah membahas bahwa seringkali karakter dalam sebuah novel sangat berbeda ketika difilmkan.

Adapun penyebabnya adalah Sang penulis sering tidak detil dalam menulis karakterisasi tokoh-tokoh yang ada di bukunya. Akibatnya sehingga sang sutradara mereka-reka sendiri bagaimana menciptakan tokoh sesuai dengan theater of mindnya.

Seperti yg saya bilang kemarin, karakter dalam novel memang PASTI AKAN BERBEDA dengan yang ada di film. Kita gak mungkin bisa mencegahnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisasi perbedaan itu. Tetep akan berbeda sih tapi setidak-tidaknya akan banyak juga kemiripannya. Dan caranya adalah memberi porsi yang seimbang pada DESKRIPSI dan NARASI.

WhatsApp Image 2020-02-12 at 20.08.16

Berikut saya akan kasih contoh sebuah tulisan NARASI TANPA DESKRIPSI. Saya kasih garis pemisah dulu ya, biar jelas mana yg contoh dan mana yang bukan.

_____________________

Anton murka bukan main. Dia masuk ke ruangan bossnya dan membanting pintu dengan keras sehingga bossnya yang sedang berdiskusi dengan sekretarisnya kaget bukan main.

Anton menghampiri bossnya dan memaki-maki dengan suara keras. Dia memprotes keputusan atasannya yang tidak jadi mengangkatnya sebagai marketing director, tapi malah merekrut orang luar untuk menduduki jabatan itu.

Sang Boss sangat murka melihat kelakuan Anton. Sambil menunjuk wajahnya dia balas membentak dan mengusir anak buahnya untuk segera pergi meninggalkan kantornya.

Bukannya menuruti omongan Sang Boss, Anton meraih stick golf yang terdapat di pojok ruangan. Dengan ganas dia menyabetkan golf tersebut ke cangkir kopi yang berada di atas meja.

Belum puas dengan perbuatannya, Anton kembali menghantamkan stick golf tersebut ke sebuah lemari di sudut ruangan sampai copot salah satu pintunya.

Si Boss ketakutan bukan main. Dia langsung bersembunyi di bawah meja dengan wajah panik. Sementara Sang Sekretaris berteriak histeris sambil menghambur ke luar ruangan untuk menyelamatkan diri.

________________

Okay coba dibaca dulu cerita di atas baik-baik. Kemudian gambarkan tentang Anton.

Anton itu orang suku apa? Kulitnya putih atau item? Pakeannya gimana? Rambutnya lurus atau keriting? Umurnya berapa kira2? Dan lain-lain.

Saya kasih waktu 3 menit untuk menggambarkan tokoh Anton. Yak silakan dipikirin dulu ya....

OK kita lanjut ya?

Di batch sebelumnya, saya nanya kepada dua orang peserta, dan kedua jawaban tersebut sama sekali bertolak belakang.....

Kenapa bisa berbeda? Karena saya tidak mendeskripsikan sama sekali tentang Anton. Sehingga kedua orang itu mereka-reka sendiri tentang tokoh Anton tersebut...

Keduanya mereka-reka sesuai dengan latar belakang pendidikannya, dengan tata nilainya, dengan pengalaman yg pernah dialaminya....

Jadi kedua orang tersebut tidak salah. Yang salah adalah penulisnya. Seharusnya sang Penulis harus menulis deskripsi tentang Anton dengan jelas.

DESKRIPSI

OK kalo tadi kita ngomongin narasi, sekarang kita masuk ke deskripsi. Deskripsi biasa diterjemahkan dengan penggambaran. Kalo komunitas saya biasanya lebih suka menyebutnya dengan melukis dengan huruf.

Baik deskripsi maupun narasi adalah dua elemen yang sangat penting. Kerjasama keduanya akan membuat tulisan kita jadi punya nyawa.

Masalahnya adalah banyak penulis baru sering terfokus hanya pada narasi saja. Mereka menganggap deskripsi adalah bagian yang membosankan. Benarkah deskripsi itu membosankan dan tidak menarik? Coba kita test ya.

_____________saya kasih garis lagi.

“Anton adalah seorang staff di sebuah perusahaan multinasional. Usianya sudah hampir 40 tahun Meskipun demikian badannya sangat atletis karena sering melakukan fitness. Kumis dan jenggotnya nampak keren karena baru dirapikan tadi pagi. Tingginya sekitar 174 cm. Saat itu dia memakai celana hitam yang kontras dipadukan dengan baju putih dan dasi merah yang melilit lehernya….”

____________

Coba perhatikan deskripsi tentang Anton di atas. Menurut kalian membosankan atau tidak? Pasti ada yang menjawab membosankan dan sebagain menjawab tidak membosankan.

Okay kita anggap aja deskripsi tersebut membosankan, deh...Sayangnya membosankan atau tidak, deskripsi itu harus dilakukan. Penggambaran 2 peserta di atas tentang tokoh Anton sangat berbeda dan kita tidak mau itu terjadi. Coba gimana kalo cerita tentang Anton difilmkan? Makin parah kan? Jadi bagaimana menyiasatinya?

Coba SELIPKAN DESKRIPSI TERSEBUT DALAM NARASI. Dengan cara ini deskripsinya bisa menjadi menarik dan seharusnya akan membuat tulisan kita jadi semakin berbobot. Dalam konteks cerita di atas, kita bisa menggambarkan tokoh Anton lebih detil sekaligus kita masukkan dalam narasi.

___________ Saya kasih garis lagi contohnya

Anton murka bukan main. Giginya menggeretak sehingga membuat KUMIS DAN JENGGOTNYA nampak bergerak-gerak. Kulitnya yang putih kini nampak merah padam karena menahan murka. KAKINYA YANG KUKUH karena sering fitness melangkah memboyong TUBUHNYA YANG BERTINGGI 174 CM masuk kedalam ruangan Bossnya.

Anton meraih stick golf yang terdapat di pojok ruangan. Dengan ganas dia menyabetkan golf tersebut ke cangkir kopi yang berada di atas meja. Cangkir kopi tersebut pecah berantakan sementara isinya membasahi BAJU PUTIH DAN DASI MERAH yang melingkar di lehernya.

____________

Silahkan dibaca dulu. Tolong lihat bagaimana deskripsi sudah saya selipkan dalam narasinya...Saya kasih waktu 3 menit. Okay, udah?

Dari tulisan di atas, kita bisa melihat bahwa deskripsi yang tadi terasa membosankan sekarang menjadi menyenangkan. Begitulah cara menyiaati deskripsi supaya tidak membosankan. Kita selipkan dalam narasi. Sebetulnya kalo kita sudah piawai dalam penulisan, kita bisa menulis deskripsi dengan gaya narasi.

Nah loh? Deskripsi dengan gaya narasi? Apalagi itu? Saya akan kasih contohnya ya....Di bawah ini saya mengutip sebuah deskripsi yang saya ambil dari salah satu puisinya WS Rendra yang berjudul 'Balada terbunuhnya Atmo Karpo.'Saya cuma mengutip satu kalimat saja biar gak bingug. Kata-katanya begini:

"Rembulan menggosok-gosokkan tubuhnya ke pucuk-pucuk para."

WhatsApp Image 2020-02-12 at 20.53.59

Buat yang belom tau, 'Para' itu artinya cemara. Jadi maksudnya Pohon Cemara". Jadi persisnya kalimat itu berbunyi "Rembulan menggosok-gosokkan tubuhnya ke pucuk-pucuk cemara."

Pertanyaannya adalah Apakah benar rembulan bisa menggosok-gosokkan tubuhnya ke pucuk-pucuk para? Ga gitu kan maksudnya. Dari kalimat di atas, kita bisa menebak bahwa sesungguhnya bukan Si Rembulan yang bergerak tapi pucuk-pucuk paranya yang bergerak.

Kenapa bisa bergerak? Oh, rupanya pucuk paranya bergoyang ke sana kemari karena tiupan angin. Coba perhatikan sekali lagi kalimat Rendra tersebut di atas baik-baik.

DIA MEMBUAT DESKRIPSI DENGAN GAYA NARASI.

Seharusnya kan deskripsi yg umum begini,

"Saat itu malam hari, rembulan nampak bersinar. Angin bertiup sehingga membuat pucuk-pucuk cemara bergoyang."

Begitu, kan? Namanya juga deskripsi ya begitu biasanya. Tapi Rendra dengan cerdas menuliskan deskripsi tersebut dengan gaya narasi, "REMBULAN MENGGOSOK-GOSOKKAN TUBUHNYA KE PUCUK-PUCUK PARA." Warbiyasak!!!!!

Kita bisa menangkap bahwa peristiwa itu terjadi di malam hari karena ada kata 'rembulan' di sana. Perhatikan sekali lagi kalimat di atas. Kita bisa menagkap ada angin di sana karena pucuk cematanya bergoyang.

Bukan main! Rendra bisa menghadirkan 'angin' dan 'malam' tanpa menulis kedua kata tersebut. Indah sekali, bukan?

Deskripsi yang ditulis Rendra di atas memang bagus tapi sama sekali bukan barang baru. Kalimat itu sebenernya adalah yang biasa kita sebut dengan PERSONIFIKASI.

Masih inget, kan, pelajaran gaya bahasa? Gaya bahasa adalah bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia yang kita pelajari sejak SD.

Cuma entah gurunya yang salah atau murid-muridnya yang blo'on, kita selalu menganggap contoh personifikasi sebagai definisinya.

Misalnya, saya pernah mengajar di sebuah SMA. Dalam suatu kesempatan saya bertanya, "Ada yang tau personifikasi?"

Semua pada berebutan menjawab, "Tau dong. Nyiur melambai-lambai!!!!"

Lain waktu, saya lagi jadi pembicara seminar yang dihadiri oleh audiens yang usianya semua di atas 40.

Saya melempar pertanyaan yang sama, "Siapa yang tau personifikasi?”

Believe it or not! Crowd banyak yang ngangkat tangan dan semuanya menjawab,"Saya tau. Nyiur melambai-lambai."

Maaf, hujan di sini membuat wifi tersendat-sendat.

Aneh banget! Generasi yang bedanya 20 tahun ternyata mempunyai pemahaman yang sama dangkalnya soal personifikasi.

'Nyiur melambai-lambai' kan contohnya. Bukan definisinya. Apakah ini indikasi bahwa orang indonesia malas berpikir?

Kan, seharusnya kita bisa mencari contoh sendiri seperti yang dilakukan oleh Rendra. Sudah terbukti kalimat Rendra di atas terasa sangat bagus dan cerdas.

Kenapa, sih, tiap ditanya personifikasi selalu nyautnya kalo ga 'Nyiur melambai-lambai' pasti 'Ombak berkejar-kejaran'.

Ayo kita ubek-ubek gudang, kita cari lagi buku tentang Gaya Bahasa.

Yang paling lengkap keterangannya adalah buku Bahasa Indonesia karangan Gorys Keraf.

Di sana kita bisa memperkaya tulisan kita dengan bermacam-macam gaya bahasa seperti, paradoks, sinisme, sarkasme, metafora, eufimisme dan masih banyak lagi.

Coba kita praktekin satu persatu supaya tulisan kita keliatan cerdas.

NARASI

Kalo deskripsi adalah penggambaran maka Narasi gampangnya adalah penceritaan.

Suatu hari, saya mau menghadiri Launching buku ‘Cat Rambut Orang Yahudi’ karya Chappy Hakim yang diadakan di Gamedia Grand Indonesia.

Saya udah punya bukunya dan udah saya lalap sampe habis.

Di mobil, dalam perjalanan menuju ke sana, saya sengaja mendengarkan radio Sonora karena sebelom acara launchingnya, Chappy hakim diwawancara soal buku barunya di radio itu.

Di sana Chappy menceritakan salah satu artikelnya yang berjudul Asal Bapak Senang. Saya ngakak abis mendengar ceritanya.

Aneh, deh. Padahal saya udah baca artikel itu tapi waktu saya baca, saya gak ketawa.

Lucu, sih tapi gak cukup bikin saya ngakak.

Setelah saya tela'ah rupanya ketika diceritakan secara verbal, cerita itu jadi lucu banget. Jauh lebih lucu dibandingin kalo kita baca sendiri.

Kenapa bisa begitu? Ternyata ketika di adegan Chappy memarahi anak buahnya, dia MENGGUNAKAN KALIMAT LANGSUNG pada mereka.

Sementara artikel di buku CROY, saya ga menemukan satu pun sebuah kalimat langsung.

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari sana?

Ternyata ketika kita menggunakan narasi, ada beberapa bagian yang memang LEBIH TERASA EMOSINYA ketika kita menggunakan KALIMAT LANGSUNG.

Jadi, ketika seseorang SEDANG MARAH lebih baik menceritakannya dengan KALIMAT LANGSUNG.

Biarkan Si Tokoh mengatakannya sendiri dan gunakan tanda seru agar kemarahan tersebut lebih terasa di hati pembaca.

Sekali lagi bukan cuma pada saat sedang marah tapi di SEMUA PERISTIWA EMOSIONAL akan lebih baik kita menggunakan kalimat langsung.

Satu hal yang perlu dicatat adalah kalimat langsung lebih terasa emosinya karena secara psikologis pembaca kita bawa ke REAL TIME sehingga dia merasa terlibat dalam situasi itu.

Kembali ke cerita Anton di atas. Bukankah peristiwa tersebut juga adalah peristiwa emosional?

Untuk memaksimalkan emotional moment itu, mari kita bisa mencoba memakai kalimat langsung di berbagai tempat. Misalnya kemarahan Anton dan ketakutan Sang Boss:

___________Saya kasih garis lagi buat contoh

Anton murka bukan main. Giginya menggeretak sehingga membuat kumis dan jenggotnya nampak bergerak-gerak. Kulitnya yang putih kini nampak merah padam karena menahan murka. Kakinya yang kukuh karena sering fitness melangkah memboyong tubuhnya yang bertinggi 174 cm menuju ruangan Bossnya.
Dia masuk ke ruangan bossnya dan membanting pintu dengan keras.
BRAK! Boss yang sedang berdiskusi dengan sekretarisnya kaget bukan main.

Anton menghampiri bossnya dan membentak dengan suara menggelegar, “Kenapa, Bapak tidak jadi mengangkat saya jadi Marketing Director? Hah??!!! Bapak sudah janji!!!”

Melihat kelakuan Anton tentu saja Sang Boss murka bukan main, “Anton!!! Jangan kurang ajar! Keluar kamu dari sini!!!”

Bukannya menuruti omongan Sang Boss, Anton meraih stick golf yang terdapat di pojok ruangan. Dengan ganas dia menyabetkan stick golf tersebut ke cangkir kopi yang berada di atas meja.

BRAAAK!!!!

Belum puas dengan perbuatannya, Anton kembali menghantamkan stick golf tersebut ke seluruh ruangan sampai porak poranda.

“Sekuriti!! Panggil sekuritiiii!!!!” Si Boss ketakutan bukan main.

BRAAAK!!! Sekali lagi stick golf dipukulkan ke lemari sehingga pintunya copot.

“Anton!!! Kamu jangan gila!!!!” Kali ini Pak Boss tidak berani mengambil risiko. Dia langsung bersembunyi di bawah meja dengan wajah panik.

“Whooooooaaaa!!!!” Anton terus mengamuk seperti orang gila.

BRAAAK!!! Sekali lagi stick golf dipukulkan ke meja sampai membuat retak permukaannya. Cangkir kopi yang terdapat di sana pecah berantakan sementara isinya membasahi baju putih dan dasi merah yang melingkar di lehernya.

“Waaaaaaaa.. Toloooong! Toloooong!!!!!” Si Sekretaris berteriak histeris sambil menghambur ke luar ruangan untuk menyelamatkan diri.

__________

Coba dibaca dulu. Terasa gak setelah dikasih kalimat langsung, emosinya jadi lebih terasa? Saya kasih waktu 4 menit.

Gimana, guys? Lebih terasa kan emosinya? Begitulah kita seharusnya memperlakukan narasi.

Setiap bagian percakapan yang ada faktor emosinya, usahakan untuk menggunakan kalimat langsung.

Sekian dulu supaya masih ada waktu buat sesi tanya jawab.

Baiklah, kita masuk ke sesi Tanya Jawab. Pertanyaan 1 dari @wijayalabs​:

Bagaimana caranya membuat cerita deskripsi yg menarik? Apakah contoh cerita ini sdh sesuai dgn deskripsi yg baik?

-----------

Kisah nyata ini saya dapat dari grup WA. entah siapa penulisnya.

BOLU PISANG DAN ES KRIM

"Ma, kakak ranking satu, mana janji mama mau beliin es krim," rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.

"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu," janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis menyicil hutang pengobatan ketika almarhum suami sakit dulu.

Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal.

Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian, ia pasti tak sekecewa ini.

Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap Minggu harus bolak balik kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan biaya hingga hutang pun menumpuk.

Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan meminta haknya untuk dilunasi.

Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran dengan mencicil.

Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita.

Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.

(Mbak, bisa buatin bolu pisang?) Sebuah pesan masuk.

Aku bersorak. Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA ku. Ada pesanan masuk.

(Bisa Mbak, mau berapa loyang?)

(2 loyang, ngambilnya habis Zuhur bisa?)

(Bisa Mbak.) Aku menyanggupi.

(Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula.)

(Siap, Mbak. Otw dibuat.)

(Berapa harganya?)

(50.000 Mbak.)

(40.000 saja ya, kan gak pakai gula.)

Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 20.000.

(Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.)

(Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.)

(Oke siap.)

Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar.

Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang.

Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.

Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.

Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.

Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang.

Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.

Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca.

Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti.

Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan.

Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.

(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke kampung.)

Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.

Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata.

Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya?

Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.

Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.

"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis." Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.

"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.

Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia.

Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.

Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata.

Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan ketika Bu Tia tetanggaku kulihat telah menunggu.

"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang."

"Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap sedia. Aku kembali membuang anganku.

"Gini, ibu jangan tersinggung ya." Bu Tia menatapku.

Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama lenyap dalam kamus hidupku.

"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang baik. "

Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.

"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, daripada buat rusuh, mau ya Bu nerima es krim ini, untuk Dika dan adiknya." Bu Tia menyerahkan plastik putih berisi es krim padaku.

Aku terdiam tak sanggup berkata-kata.

"Asikkk." Dika bersorak, aku masih bergeming.

"Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Tia melirik kantong hitam berisi dua kotak bolu pisangku.

"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal. "

"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan manis. Saya beli ya untuk cemilan."

"Benar Bu?" Aku bertanya tak percaya.

"Iya, berapa harganya?"

"Berapa saja, Bu. Terserah, asal jadi uang."

"Ya sudah." Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam genggamanku.

"Ya Allah Bu ini kebanyakan ," ucapku.

"Sudah, gak apa. Ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang mahal kok Bu." Bu Tia langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan bergegas pergi.

Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.

*

Bu Tia meletakkan bolu pisang yang baru ia beli di atas meja makan.

Ia duduk dan memandang dua kotak bolu pisang itu dengan tatapan berkaca.

Sungguh zolim sebagai tetangga, bahkan ada seorang janda yang kesusahan pun ia tak tahu. Sementara baru saja ia membeli tas branded seharga jutaan dan tak jauh dari rumahnya ada seorang anak yatim merengek pada ibunya hanya demi sebuah es krim.

Untung saja Fahri putranya bercerita, bila tidak pastilah kezoliman ini akan terus berlangsung.

"Ma, tadi yang juara 1 Dika, tetangga kita yang di ujung itu." lapor putra sulungnya.

"Bagus dong, les dimana dia?"

"Gak les kok, Ma. Orang dia miskin kok."

"Hey, gak boleh menghina orang lain." Bu Tia melotot pada putranya.

"Gak menghina kok. Kenyataan emang dia miskin. Kasihan deh Ma, masa kan ibunya janji mau beliin dia es krim kalau ranking satu eh pas dia ranking malah ibunya bilang tunggu ada uang. Kasihan banget Dika ya , Ma. Mana kalau di sekolah dia suka mandang jajanan temannya kayak ngeiler gitu tapi pas dikasih dia nolak. Malu mungkin ya, Ma." Fahri bercerita panjang lebar.

Bu Tia terdiam.

Ya Allah mengapa ia tak tahu? Selama ini, ia aktiv ikut kegiatan sosial, mengunjungi panti asuhan ini dan itu. Namun ia abai akan keadaan di sekitar.

"Ma, bolunya gak ada rasa, kurang enak," ucap Fachri membuyarkan lamunannya.

"Sengaja, makannya bukan gitu. Tapi kamu oles mentega dan taburi meses atau kamu oles selai buah."

"Ohhh, gitu ya. Tumben mama pesan bolu tawar."

"Lagi pengen aja."

Bu Tia menghela napas panjang. Tak akan terulang lagi, jangan sampai ada tangis anak yatim yang kelaparan di sekitarnya.

Anak yatim itu bukan tanggung jawab ibunya saja tapi keluarga dan orang sekitar.

*

Sepele bagi kita namun berarti bagi mereka.

Ada kala sisa nasi kemarin sore yang tak tersentuh di atas meja makan kita adalah mimpi dari anak-anak yang telah berhari-hari terpaksa hanya berteman dengan ubi rebus saja.

Jangan heran menatap binar seseorang yang begitu terharu ketika gaun pesta yang menurut kita sudah ketinggalan jaman itu kita berikan pada mereka.

Uang lima puluh ribu yang sangat mudah lenyap ketika dibawa ke mini market bertukar dengan kinderj*y dan beraneka jajanan yang habis dalam sekejap itu adalah setara dengan hasil kerja keras seorang buruh dari subuh hingga menjelang Magrib.

Bersedekah itu gak perlu banyak, sedikit saja dari yang kita punya. Memberi itu jangan menunggu kaya, saat kekurangan lah justru diri harus lebih bermurah hati.

Beruntunglah bila di sekitar begitu banyak ladang sedekah dimana kita dapat menukar rupiah menjadi pahala. Kaya itu bukan pada jumlah harta tapi bagaimana kita membelanjakannya. Akherat itu ada dan sudah kah kita menyiapkan hunian di sana?

Pengingat diri agar lebih peka.


Deskripsi itu bukan cerita. Tapi penggambaran. Jadi gak mungkin kita bisa bikin cerita hanya dengan deskripsi.

OK sekarang saya tanya, di cerita di atas, mana bagian deskripsinya?

Saya buka deh tuh timelinenya....Silakan dijawab Om Jay, Mana nih Si Om Jay?

Yang lain kalo mau jawab juga boleh ya. Kita langsung diskusi aja di sini.

Deskripsinya yg paragraf: keterpurukan hidupku bermulai...

Sulungku berhenti merengek.

Cerita ini bagus. Tapi kelemahannya pada deskripsi. Saya susah ngebayangin Si Ibu umur berapa? Kulitnya putih atau item, pakeannya gimana, cantik atau nggak.

Banyak sih kayaknya, Om ????Bentar, Om. Berarti deskripsi itu fokus ke fisik ya?

Begitu juga anaknya. Cuma dikasih tau bahwa dia kelas dua SD. Jadi saya bisa mengira2 umurnya. Tapi penampilannya? Karakternya? Gak ketangkep sama sekali.

Kalo difilm-in, pasti sutradaranya bingung. Dan dia akhirnya mengambil tokohnya sesuai dengan yg ada dipikirannya. Begitu kita liat, kita langsung protes, "Kok gitu anaknya? Kok gitu ibunya?"

Kemaren kan saya udah bilang. Karakter itu ada yg tangible (Bisa dipegang), misalnya fisik. Kedua intangible, misalnya kebiasaan atau sifat. 99% cerita di atas adalah narasi.

Dan saya juga udah bilang di atas bahwa penulis baru kebanyakan terlalu fokus pada narasi. Mereka gak gitu suka sama deskripsi karena buat mereka membosankan.

Saya seneng banget Om Jay ngasih contoh ini, karena betul2 merpresentasikan apa yang saya omongin barusan di atas.

Kalo di film, deskripsi itu istilahnya sinematografi. OK ada lagi pertanyaan? Kalo gak ada kita tutup aja ya. Udah jam 10. Silakan, Sep.

Baik Om, sudah tidak ada lagi pertanyaan sepertinya. Silakan untuk closing speechnya Om.

Thank you, Sep

Teman-teman sekalian. Perlu dipahami bahwa deskrips dan narasi itu seperti tuts piano. Yang putih adalah narasi. Dan yang hitam adalah deskripsi. Banyak pemain piano yang baru belajar suka sebel kalo mainin lagu yang banyak tuts itemnya. Buat mereka tuts hitam itu susah dan bikin jari keriting. Tapi setelah banyak berlatih, mereka menyadari tuts yang hitam sangat diperlukan agar keindahan musik mencapai kesempurnaan.

Dan banyak penulis yang suka alergi sama deskripsi. Padahal deskripsi itu penting seperti tuts piano yang berwarna hitam itu yang membuat sebuah lagu makin enak.
Saran saya berlatihlah terus tentang narasi dan deskripsi. Keduanya seperti sekeping uang logam dengan dua sisi. Salah satu sisi gak ada maka uang koin tersebut gak laku jadinya.

Sekian dulu teman-teman. Wabillahi taufik wal hidayah. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh....

Waalaikum salam wrb.
Usai sudah sesi kita teman-teman. Terima kasih Om Budiman Hakim dan teman-teman semua. Semoga sesi ini bermanfaat.

Sementara sesi saya tutup. Kita bertemu lagi besok di waktu yang sama.
Mari kita ucapkan terima kasih untuk Om Budiman Hakin, seiring applause meriah.

Salam.

Alhamdulillah..bisa baca dengan fokus materinya.

Kalau baru tahu ilmunya, biar di baca pelan-pelan, tetep masih meraba-raba untuk paham.

Terimakasih om Bud.
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. ????????????

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.