Menikmati Sensasi Nyasar

Menikmati Sensasi Nyasar
Lentog Tanjung (foto: rase)

"Waaah, tebih sanget!"

Begitu jawab seorang ibu yang kutanyai. Ia memandangiku dengan takjub -seakan aku tuh alien dari Merkuri yang baru mendarat- sebelum menjawab, pakai bahasa Jawa. Mungkin dia sebenarnya enggak habis pikir ada mbak-mbak yang nyasarnya tuh sejauh perjalanan Merkuri ke bumi bolak-balik. Hahaha.

Pagi-pagi, ibu ini kutemui sedang menarik-narik tali, yang ternyata sambung menyambung, melintang di atas sawahnya. Kalau di negara lain burung-burung ditakut-takutin pakai scarecrow, burung-burung di sini dipersulit menclok (hinggap) di tanaman padi pakai tali. Para burung harus belajar tap dance kali, ya, kalau mau selamat dari tali-tali perintang itu.

Aku, usai ngojek ngantar anak sekolah, memutuskan untuk menjelajahi Kudus.

Ya, sudah seminggu lebih aku menetap di kota ini. Aku merasa masih jetlag. Bayangkan, 10 tahun tinggal di kota kecil nan dingin, lalu pindah ke kota lebih besar nan puanas. Belum lagi radius kotanya, dari cuma 15 menit, sekarang ... entahlah ... 1 jam?

Kan ada Google map? Iya, sih. Sayangnya ponselku pernah restart berkali-kali dan sembuhnya pakai ramuan mujarab: Setelan lokasi dimatikan!

Jadi, jika aku bepergian sendirian, aku ngandalin mental mapku dan orang-orang sekitar yang bisa kutanyain.

Ibu pengusir burung tadi bilang kalau aku nyasar terlalu jauh. Aku bertemu ibu itu di Jati Kulon. Padahal aku maunya ke GOR, yang harusnya lebih ke timur. Hahaha. Jauuuh sekaliiii ... Pantas ibu itu nyaris melongo ketika kutanya. Hihihi.

Baiklah. Aku santai saja berpamitan kepada ibu itu, dan melanjutkan perjalanan.

Yang namanya tersesat itu memang sudah sering kualami. Aku pernah tersesat di daerah persawahan luas menjelang magrib, tanpa bawa ponsel dan tidak menemukan orang untuk ditanya. Aku pernah naik motor berputar-putar di daerah Renon, awal pindah ke Bali -tahun belum ada Google Map. Nyasar di Solo, juga pernah, gara-gara (menurutku) ruwet baca Google Map.

Menurutku, Google Map itu ruwet. Mungkin aku aja yang enggak pinter makainya, sih. Hehehe. Aku justru lebih cerdas pakai peta kertas, atau tanya orang. Kalau tanya orang, biasanya diberi beberapa landmark sebagai penanda, misalnya traffic light, tugu, pasar atau bangunan tertentu.

"Lampu merah nganan, lampu merah lagi, nganan," jelas pak parkir. Dia orang kedua yang kutanyain.

Setelah gagal nemuin GOR yang kucari, aku berhenti di simpang tujuh. Sekilas kulihat stan susu Menara di sisi dekat deretan penjual makanan. Sekumpulan pesepeda berkerumun entah menunggu apa di depan kantor bupati.

Memang, niatanku nyari GOR, tuh, mau beli susu Menara. Hasil googling kemaren menunjukkan bahwa susu ini dijual di sekitaran GOR. Nah, ketika di simpang tujuh ada stan susu tersebut, enggak perlulah aku ke GOR.

"Habis, Mbak," jawab kakak penjual di stan itu, ketika yang kucari adalah susu segar tawar, bukan susu dengan perasa dan pewarna.

"Coba ke deket sana," lanjutnya sambil menyebutkan sebuah nama hotel besar di kota ini.

Dua hari lalu, tak sengaja aku melewati jalan di depan hotel ini. Perjalanan sepulang dari Pasar Kliwon balik ke rumah.

"Jalan Tanjung," begitu aku melengkapi peta di pikiranku, dengan ikon-ikon makanan karena di jalan ini ternyata ada banyak penjual makanan: bubur, lentog tanjung, apa lagi, ya ....

Menjelang habis potongan jalan ini, aku menepi. Stan susu tak terlihat, aku malah tergoda lihat warung lentog tanjung. Mampirlah aku, dengan niatan tanya soal susu Menara.

Pak parkir di depan warung ini menggeleng ketika kutanyain. Ya, wis. Aku masuk ke warung. Pesan lentog satu.

Mas penjual mengambil piring kecil yang telah berisi potongan lontong. Ia membuka termos besar berwarna biru, mengambil sayur nangka muda, menuangkan ke atas potongan lontong. Ia membuka termos kedua, mengambil beberapa potong tahu. Akhirnya, ia mengambil kuah dari panci besar, menuangkannya ke piring. Lengkaplah yang namanya lentog tanjung.

Kaget juga ketika lidahku bertemu lentog tanjung. Aku tak berharap nemuin rasa manis di daerah sini. Ini kekagetan ketiga kalinya. Pertama, waktu menyantap tahu telur di sebelah timur simpang tujuh. Kedua, tahu telur (lagi) di warung yang terkenal dengan garang asemnya. Ketiga, ya tadi itu. Rasa manis di menu tahu telur berasal dari kecap, sedangkan di lentog berasal dari sayur nangka muda.

"Bumbunya sama atau berbeda, Mas?" aku kepo dengan sayur nangka dan tahu yang dipisahkan di termos berbeda.

Ternyata, memang berbeda. Lentog itu isinya lontong, dituangi sayur nangka muda (manis gurih) dan sayur tahu (gurih), dengan ekstra kuah dari sayur tahu itu.

Meskipun terkaget-kaget nemuin rasa manis, tetapi bumbu lentog ini manteeep. Harga sepiring lentog hanya limaribu rupiah. Wah, bakalan jadi menu sarapan favorit, nih ... Apalagi di warung ini juga jual kerupuk puli, yang rasanya familiar tetapi aku lupa kenal pertama makan di mana.

"Sepertinya di dekat yang jual bubur, Mbak," jelas mas penjual lentog ketika kutanya lokasi stan susu Menara.

Jengjeng! Akhirnya aku dapat deh beli susu sapi segar tawar. Susu Menara.

Trus pulang? Beluuumlaaah .... Hahaha ....

Berhubung masih penasaran, aku nerusin perjalanan nyari GOR. Di deket situ ada perpustakaan kota, soalnya. Semacam wajib buatku untuk nyamperin perpustakaan di manapun aku berada. Syukur-syukur kalau bisa jadi anggota trus bisa minjem buku. Hehe.

Malas bertanya, sesat di jalan.

Begitulah. Karena aku males nanya lagi, aku enggak nemuin GOR. Padahal feelingku bilang aku sudah deket. Biarin, deh. Aku sudah kepikiran checklist kerjaanku berikutnya hari ini.

Perjalanan pulang sebenarnya mudah. Hanya saja, seperti biasa, aku memilih yang rumit. Wkwkwk. Sensasi nyasarnya masih kurang. Belum manteeep.

Jengjeng! Aku sok tahu dan ngikutin motor-motor di depanku yang blusukan di gang-gang kecil. Tiba-tiba di depanku ada gang dengan jalan istimewa karena jalannya bukan aspal, melainkan keramik. Lho? Aku masuk Jalan Menara. Masjid Al-Aqsha Menara Kudus berlokasi di jalan ini.

Masjid Menara, sering orang menyebutnya demikian, selalu ramai dipadati peziarah. Aku memang berkeinginan untuk mengunjunginya. One day, batinku. Aku ingin melihat masjid terkenal ini, juga rumah-rumah kayu di dekat situ, yang konon umurnya sudah ratusan tahun. Pasti keren dan menakjubkan.

Aku mengendarai motorku perlahan, menyusuri jalanan berkeramik yang masih sepi. Para peziarah belum mulai berdatangan.

Aku menikmati sensasi yang kurasakan. Sensasi nyasar, yang tak perlu ditakutkan. Justru aku pagi ini menghapal banyak tempat dan jalan, sehingga perjalanan berikutnya bakalan lebih mudah dan cepat. (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.