Keping Kedelapan: Buku-Buku, Memori, dan Semua yang Usang

Keping Kedelapan: Buku-Buku, Memori, dan Semua yang Usang
: :

Kindly play the music while reading.

Sore itu, matahari berada pada tempatnya yang tepat. Kota Bandung dan segala riuhnya di jalanan membuat Luna tersadar, itu merupakan pertama kalinya ia pergi dengan lelaki selain pamannya dan Gara. Di jok belakang motor Kala, gadis itu mengagumi keberaniannya sendiri.

“Kita mau ke mana, Kala?”

Dari kaca spion dapat dilihatnya lelaki itu mengemudi dengan serius. Untunglah dia menyiapkan helm lebih, meski itu membuat Luna harus sedikit berteriak ketika bicara.

“Ada, deh! Masa lo nggak bisa nebak, dari rute yang kita tempuh?”

Sedikit melirik ke belakang, Kala mendapati Luna menggeleng lucu. “Aku jarang ke luar rumah.”

Kala terkekeh kecil di balik kaca helmnya. “Berarti mulai sekarang, lo harus sering-sering nih, keluar sama gue.”

Tujuan akhir mereka adalah Perpustakaan Asia Afrika, yang biasa juga disebut Perpustakaan Gedung Merdeka. Luna tidak menyangka bahwa alasan yang dikatakannya pada Gara di telepon tadi ternyata tak sepenuhnya kebohongan.

“Lo udah pernah ke sini?” tanya Kala ketika mereka masuk ke dalam gedung.

Luna memandang berkeliling. “Museumnya tentu saja pernah, tapi perpustakaan ini aku belum pernah masuk.”

Kala menggelengkan kepalanya. “Buset, serius? Ini perpus pertama yang gue kunjungi, lho.”

“Oh, ya?” Luna tertarik. “Umur berapa?”

Kala mengingat-ingat hari ketika Mama mengajaknya ke sana. “Eh, kayaknya umur delapan, deh.”

Luna kagum. Pada usia delapan tahun, segala hal yang ia ketahui tentang perpustakaan hanya melalui cerita Ibu. Gedung besar yang dipenuhi buku-buku. Suasananya tenang, tanpa berisik anak-anak bermain petasan atau bola sepak yang bisa ia dengar dari gang-gang sempit di belakang rumah kecilnya dahulu. Luna yang menyukai buku pada umur delapan tahun hanya bisa membaca apa yang Ibu berikan padanya, bukan apa yang bisa ia pilih sendiri dari rak-rak tinggi di perpustakaan.

“Omong-omong, apa tujuan sebenarnya kamu mengajakku ke sini?”

Kala menarik tangan Luna. “Lo tahu? Selain ini adalah perpustakaan pertama gue, ini juga tempat paling lengkap buat menemukan Zeus, Hera, dan yang lain.”

Luna menangkap kedipan mata jail lelaki itu. Dalam perpustakaan yang sepi itu, keduanya berjalan gaduh menuju sebuah sudut, di mana rak besar yang mereka lihat dilengkapi dengan tangga untuk megambil buku di bagian atas. Berbeda dengan rak-rak lain di ruangan itu, buku-buku di rak itu tampak sudah usang dan menguning lembarannya.

Luna mengamati lebih lanjut, menemukan sebuah pelat berukir yang terbuat dari bahan kuningan di atap rak, tertempel di rak bermaterial kayu tebal berwarna cokelat.

 

Η Ελλάδα και όλα τα θαύματα της

‘I Elláda kai óla ta thávmata tis’

 

Kala melihat apa yang dilihat Luna. “Yunani dan segala keajaibannya.”

“Apa?” Luna menoleh padanya. Kala tersenyum.

“Itu artinya, tulisan yang lo lihat.”

Perlahan-lahan, Luna mendekati rak besar itu dan menyentuh punggung-punggung buku dengan jemarinya. Ada sebuah perasaan aneh dalam hatinya, seperti kasihan, karena tiba-tiba ia merasa yakin tak banyak orang yang menghampiri rak ini dan membaca buku-buku di dalamnya.

Kala ikut berdiri di sebelahnya. Luna melihatnya menarik sebuah buku tipis. “Ini juga satu-satunya tempat selain kafe, di mana lo bisa menemukan buku-buku ini.”

Luna memandang rak tingkat ketiga, tempat khusus disimpannya dongeng lain karya Eriera. Ia tak tahu latar belakang pasti buku-buku dongeng itu ataupun tentang penulisnya, tapi ia selalu merasa ada ikatan batin yang kuat di antara buku-buku itu dan dirinya. Belakangan ini Luna menyadari, mungkin karena buku-buku itu adalah bukti kuat hubungannya dengan Ibu yang bahkan sempat diragukannya.

Luna memandang Kala dengan senyum tipis di bibirnya. “Sepertinya kamu tahu banyak, ya.”

Kala tertawa. “Ah, come on … buku-buku ini bahkan udah gue kenal semenjak masih di perut Mama.”

Luna mendengus, sedikit banyak merasa iri. “Buku-buku dongeng ini adalah buku-buku pertamaku,” ucapnya. “Sayang sekali, aku kehilangan buku-buku ini sewaktu pindah ke mari.”

“Oh, ya? Lo dulu koleksi buku-buku serial ini?” Sebenarnya Kala juga penasaran, sebelum tinggal di Bandung Luna tinggal di mana. Tapi ia merasa lebih baik menyambung topik utama.

“Iya. Aku senang sekali menemukan kembali mereka di kafe.” Luna tersenyum ke arah Kala.

“Aku bahkan ingin sekali bertemu penulisnya. Kurasa dia hebat sekali, berhasil membuat masa kecilku dipenuhi pikiran-pikiran indah tentang dunia tempat dewa-dewi itu tinggal.”

Kala terdiam mendengar itu. Ia rasa hanya beberapa orang yang akan setuju dengan pemikiran itu, termasuk dirinya. Ia cukup tahu, buku-buku lama itu bahkan tak bisa lagi ditemukan di toko manapun. Yang Kala tahu, selain pada dirinya, buku-buku itu hanya bisa ditemukan di perpustakaan ini. Tentu saja sulit bagi Luna menemukan kembali buku-buku itu setelah ia kehilangan mereka bertahun-tahun lalu.

“Menurut lo, lo bakal ketemu sama penulisnya?” tanya Kala tiba-tiba, membuat Luna ikut berpikir.

“Kalau dipikir-pikir, buku-buku ini edisi pertamanya terbit beberapa tahun sebelum aku lahir. Setelah itu, kurasa ia tak pernah menulis lagi sampai sekarang, hingga buku-buku ini menjadi sangat langka,” ujarnya mengingat buku-buku ini baru ia temukan pada koleksi pribadi Kala dan di perpustakaan ini. “Kurasa, kalau tidak tua sekali, penulisnya pasti sudah meninggal.”

Kala lagi-lagi terdiam. Namun dalam hati menyangkal perkataan Luna.

Sementara gadis itu, masih meraba buku-buku itu dengan jemarinya, ia berkata, “Aku penasaran, siapa yang merawat buku-buku ini dari debu dan lapuk.”

Kala menoleh ke belakang, ke arah seorang lelaki setengah baya yang entah sejak kapan, berjalan menuju mereka. “Sebentar lagi lo bakal kenal.”

“Halo, Kala. Tumben sekali lihat kamu di sini.”

Kala menjabat tangan lelaki itu, diikuti pandangan bingung gadis di sebelahnya. “Apa kabar, Prof? Hehe, belakangan ini agak sibuk, jadi Kala jarang mampir.”

Lelaki yang dipanggil Profesor oleh Kala itu tertawa. Luna bisa melihat wibawanya bahkan hanya dari suara tawa.

“Saya baik, tapi saya pikir kamu lebih baik,” ujarnya sambil menepuk bahu Kala. “Siapa ini yang cantik-cantik?”

Luna menyadari bahwa lelaki itu memandangnya. Kala dengan segera memperkenalkannya. “Prof Akbar, ini Luna.”

Luna mengulurkan tangannya untuk dijabat Profesor Akbar. “Luna, Prof,” ujarnya sambil tersenyum.

“Prof Akbar ini, Lun, salah satu pengelola perpustakaan. Dia yang mewakili langsung perpustakaan buat bermitra dengan komunitas, yayasan, bahkan Kedubes Yunani langsung untuk semua buku-buku ini.”

Luna memandang lelaki tinggi di depannya dengan takjub. Sepertinya Profesor Akbar betul-betul baik dalam hal yang dilakukannya. Namun lelaki dengan rambut yang sudah setengah putih itu tetap merendah. “Ah, kamu berlebihan, Kala,” katanya.

“Luna, sepertinya minat juga, baca-baca tentang Yunani?”

Luna kembali dari dunia lamunannya. “Ah, betul Prof.”

“Dia ini sampai kuliah di Astronomi lho, Prof. Biar deket-deket sama rasi bintang dan legenda-legendanya,” sambar Kala. Luna yang malu menyenggol lengan lelaki itu.

“Wah, kenapa nggak ambil Sejarah aja, tuh? Berat, ya? Hahaha.”

Luna benar-benar merasa pendingin ruangan tak lagi berfungsi. Dengan orang-orang ini, dia merasakan kehangatan. “Prof sendiri, bisa terjun ke Yunani dasarnya dari mana?” tanyanya penasaran.

Menerawang sejenak, Profesor Akbar menjentikkan jarinya. “Saya rasa mulai tertariknya sih, pas baca dongeng Herkules waktu kecil, hehehe. Lanjutnya, saya kuliah ambil Sastra, kemudian lanjut S2 Sejarah.”

Sepertinya Profesor Akbar dapat melihat binar kagum pada matanya ketika Luna tanpa sadar berkata, “Hebat sekali, Prof.”

Itu mengundang tawa renyah dari Kala dan lelaki itu. Bagaimanapun, Luna seketika ingat bahwa Ibu pernah bercerita padanya bahwa beliau juga ingin sekali kuliah Sejarah. Dalam ingatannya seketika muncul raut sedih Ibu ketika menjelaskan bahwa mimpi itu hancur karena kurangnya biaya kuliah.

Ketika benaknya mulai dipenuhi bayangan-bayangan yang kian liar, tepukan Profesor Akbar pada bahunya membuatnya tersadar.

“Nah, silakan baca-baca, ya. Perpustakaan buka sampai pukul enam.”

Kala menyenggol lengannya. “Lo baca aja duluan, gue ngobrol bentar sama Profesor,” ujarnya. Luna yang paham langsung melempar senyum hormat sebelum ia berbalik mendekati rak buku di belakang mereka.

Gadis itu kembali memandang rak yang menjulang itu dengan kagum yang tak habis-habisnya. Tangannya menarik keluar sebuah ensiklopedia berbahasa Inggris yang memuat segala fakta tentang Yunani. Gambar-gambar di dalamnya membuatnya makin ingin mengunjungi negara kuno itu.

Suatu hal yang tak pernah dibagikannya dengan orang lain adalah kemampuan anehnya yang bisa ‘melihat’ warna sebuah tempat atau suasana tertentu. Bukan benar-benar melihat, tapi lebih seperti membayangkannya dalam kepalanya. Untuk Yunani sendiri Luna bisa melihat warna cokelat muda, krem yang sedikit buram, putih, biru muda, dan oranye yang lembut. Suatu perpaduan aneh tapi indah dalam imajinasinya.

Buku di tangannya dikembalikan pada tempatnya. Ia segera menemukan buku lain untuk dibaca. Ketika ia hampir berbalik untuk mengambil tempat duduk di meja-kursi baca di belakangnya, sayup-sayup terdengar obrolan Kala dan Profesor Akbar.

“Gimana kabar Mamamu, Kala?”

“Mama baik, Prof. Seperti biasa.”

“Yah, saya nggak bisa bohong kalau saya merindukan dia. Saya merindukan tulisan-tulisannya.”

“Kala juga, Prof.”

“Kamu kuat, Kala.”

“Terima kasih, Prof Akbar.”

“Sampaikan salamku pada Mamamu ketika kalian ketemu, ya?”

“Baik, Prof. Mama akan senang.”

Luna berusaha mengehentikan ledakan rasa penasaran dalam dirinya. Ia menyadari satu hal; hampir satu bulan mengenal Kala tidak membuatnya mengetahui segala hal tentang lelaki itu. Terlebih lagi, rasanya dialah yang tidak pernah berusaha mengenal lelaki itu lebih dalam, sementara Kala bahkan sudah hapal minuman kesukaannya.

“Hei, baca apa?”

Luna sedikit terkejut mendapati Kala melongok dari balik bahunya, mencoba mencari tahu apa yang sedang dibacanya. “Ah, ini .…”

Kala memilih bukunya sendiri kemudian menarik Luna untuk duduk. “Sayang banget, ya … di perpus nggak boleh makan-minum.”

Luna menertawakan bibir Kala yang maju dan mencibir tak jelas. “Bisa kotor kalau boleh makan-minum.”

Kala mengedikkan bahu dan membuka bukunya untuk dibaca. Tapi Luna masih penasaran.

“Jadi, kamu mengajakku ke sini untuk baca buku? Hanya untuk baca buku?”

Kala menatapnya jail, mengulum senyumnya. Yang ia lakukan justru membuat Luna terpaku pada sebuah lesung di pipi kirinya, yang baru saja gadis itu sadari.

“Kenapa? Berharap lebih, ya?” godanya.

“Hei!” tukas Luna dengan pipi memerah. “Maksudku kenapa pakai dirahasiakan segala? Kan, kamu bisa bilang sejak awal kalau kita mau ke sini.”

Kala menangkupkan kedua tangannya di atas meja. Buku yang sebelumnya dia baca seolah terlupakan begitu saja. “Bukan buat baca doang, sih. Gue mau lo tahu aja, ini tempat yang bisa bikin gue nyaman banget, selain apartemen sendiri sama kafe.”

“Kamu tinggal di apartemen?” Luna penasaran.

Kala menggeleng. “Ada rumah, sih. Tapi sepi karena gue sendiri,” ujarnya menjelaskan. “Mending gue beli apart yang kecilan dikit, buat gue sendiri.”

Luna menghitung tujuh detakan jantungnya sebelum memberanikan diri untuk bertanya. “Kamu sendiri?”

Kala memandangnya dengan tatapan yang tak dapat dibacanya. Pada akhirnya lelaki itu mengalihkan pandangan sambil tersenyum kecut. “Iya. Mama tidur di rumah sakit, Papa nggak tahu ke mana.”

Luna terkejut. “Ah, maaf.”

Kala menggeleng, berusaha membuat senyumnya tampak lebih nyata. “Nggak apa-apa. Gue seneng bisa berbagi dengan orang lain.”

Luna menatapnya dalam diam. Sebelumnya ia yakin bahwa Kala secerah mentari di siang hari, tapi kali ini lelaki itu seperti tertutupi oleh awan mendung. Keinginan Luna untuk keluar dari situasi canggung itu sama besarnya dengan keinginannya menghapus kelabu pada wajah Kala.

Pada akhirnya, Luna mengulurkan tangannya untuk menggenggam satu tangan Kala. Lelaki itu tampak terkejut akibat sentuhan yang tiba-tiba. Luna tersenyum kecil. “Kamu tahu?” ujarnya memulai. “Cara terbaik menghilangkan rasa sakit adalah dengan membiarkan sakitnya menjadi-jadi sebelum akhirnya perlahan mereda.”

Kala mengangguk, membalas senyuman Luna. “Gue pernah denger itu dari seseorang,” ujarnya.

Luna bingung bagaimana mengatakan apa yang ingin ia katakan, bahwa Kala dapat melepaskan bebannya pada dirinya. Ia tidak tahu apakah dirinya cukup berhak untuk itu.

Sejenak, yang mereka berdua lakukan hanya saling bertukar pandang dan mendengarkan tarikan napas masing-masing. Perpustakaan sore itu cukup sepi bagi mereka berdua untuk menikmati kecanggungan.

Keheningan dipecah oleh Kala, yang tiba-tiba menjentikkan jarinya. Gadis itu sedikit terkejut, meski kemudian lega karena Kala memberi respons.

“Lo mau kenal penulis itu, kan?” katanya tiba-tiba. Luna tentu saja semakin bingung. Mengapa pula lelaki itu mengubah topik obrolan seajuh ini?

“Kala ….” ujar Luna lirih. “Kamu tidak perlu—“

Kala menggeleng, berusaha menahan getaran pada suaranya. “Nggak apa-apa. Lo bakal paham, nanti.”

Kala bangkit dari kursinya. Dengan senyuman terakhir sebelum memunggungi Luna setelahnya, Kala menarik gadis itu untuk turut berdiri, meninggalkan perpustakaan dengan banyak tanya.

[*****]

Sepanjang perjalanan dari perpustakaan menuju entah-ke-mana, Luna berusaha kuat untuk tidak mengajukan pertanyaan. Sesekali, ia melirik Kala dari kaca spion, memastikan lelaki itu baik-baik saja. Lelaki itu tersenyum kecil sebagai respons, membuat Luna memberanikan diri melepaskan pegangannya dari tas ransel Kala, berpindah ke bahu lelaki itu.

Sedikit banyak ia menyesal telah membawa topik pembicaraan mereka menuju hal yang sepertinya dihindari lelaki itu. Tapi pergi dengan aneh seperti ini adalah kemauan Kala. Ia bisa apa?

“Kala … kamu—kita, kita mau apa di sini?”

Luna kaget ketika mereka berhenti di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Hari yang menjelang malam membuat lampu-lampu serempak dinyalakan, tepat ketika mereka turun dari motor.

“Ssst.” Kala menempelkan telunjuknya pada bibir gadis itu. “Gue mau nunjukin lo satu hal lagi.”

Luna mendapati dirinya pasrah ketika ditarik oleh Kala memasuki rumah sakit. Diam-diam benaknya merangkai sesuatu yang berulang kali disangkalnya sendiri. Namun ketika keduanya sampai di depan pintu ruang ICU, Luna tahu bahwa kemungkinan besar yang dia pikirkan pasti benar.

Kala terus menariknya menuju pojok ruangan. Sementara Luna mengeratkan genggamannya pada tangan lelaki itu, berusaha memberi kekuatan. Pada akhirnya, Luna merasa justru dirinyalah yang butuh kekuatan. Kakinya melemas ketika kelambu berwarna cokelat itu dibuka, menampakkan sosok ringkih yang terbaring di atas ranjang pasien.

Kala tersenyum melihat Luna yang tampaknya tak bisa berkata-kata. Lelaki itu merasa sedikit bangga. Ia akhirnya bisa terbuka soal kondisi sang Mama, setidaknya walau hanya pada satu orang.

“Luna, kenalin, ini Mama gue.”

Luna memandang Kala dan wanita itu bergantian. Ia bisa merasakan kesedihan yang Kala rasakan menjalari dirinya, dimulai dari ujung jemarinya, sampai ke pelupuk matanya yang mulai terasa lembap.

“Kalian … mirip sekali,” bisiknya.

Kala menggeser kursi dan mempersilakan Luna untuk duduk. “Ini pertama kalinya Mama bertemu orang lain selain gue, dalam kurun waktu setahun, mungkin?”

Luna memandang Kala dengan nanar sementara lelaki itu menggenggam erat tangan mamanya. Ia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menyayangi seorang wanita yang dipanggil Ibu, tapi ia dapat melihat bagaimana rasa itu tumbuh dalam diri Kala untuk sang Mama.

Luna iri, iri sekali. Kala masih bisa melihat sang Mama, sementara dirinya sama sekali tidak punya kepastian. Apakah Ibu benar-benar masih bisa ditemuinya, ataukah wanita itu sudah tenang bersama mimpi-mimpi dan dongeng-dongengnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat rasa sakit yang Luna rasakan semakin menjadi. Itu membuat keberadaannya semakin jelas terlihat di tengah lautan kebimbangan, entah kapan berlabuh di dermaga yang tepat, atau justru semakin jauh hingga akhirnya terdampar di suatu pulau.

Kala mengelus punggung tangan Mama yang bebas dari selang infus. Ia mendekatkan dirinya untuk berbisik di telinga wanita itu. “Ma, Kala bawa temen. Namanya Luna.”

Luna melihat itu semua. Tak pernah ia rasakan iba dan cemburu pada waktu bersamaan.

Kala berbalik untuk memandang Luna. Ia senang, Luna tidak melontarkan kalimat-kalimat keprihatinan yang membuat dirinya merasa dikasihani, seperti yang dahulu ia dengar dari kerabat-kerabat jauhnya. Ia senang, ia tak merasa sia-sia telah berterus terang pada gadis itu. Itu membuatnya ingin membuka sebuah rahasia lagi, untuk Luna.

“Lun, dia ini, penulis yang lo pengin temuin.”

Detik pertama setelah kalimat itu keluar dari mulut Kala, Luna sama sekali tidak memperhatikan. Memutarnya ulang dalam kepalanya sendiri, ia kemudian tidak percaya apa yang ia dengar langsung barusan.

“A-apa kamu bilang?” Gadis itu menatap Kala bingung.

Kala tersenyum. Reaksi itu sudah ia prediksi sebelumnya. “Mama, Kalisa Eriera. Dia yang menulis buku-buku itu.”

Lelaki itu tertawa  melihat Luna yang bergantian memandang ia dan Mama. “Iya, gue serius,” ujarnya meyakinkan.

Untuk beberapa saat, yang ingin Luna katakan adalah kamu bohong, kamu bohong, dan kamu bohong. Namun benaknya menghubungkan semua hal yang sudah dia alami sendiri. Buku-buku itu, bagaimana Luna mencarinya ke setiap toko buku di pelosok Bandung, ia tetap tidak menemukannya. Bahkan di toko-toko lawas, pemiliknya bilang tidak mengenal penulis bernama Eriera seperti yang ia sebutkan.

Luna mengerti, Kala memilikinya—buku-buku itu—dari mamanya.

Dengan tubuh yang seketika melemas, Luna menoleh ke arah Kala. “Aku-aku tidak mengerti. Ini terlalu tiba-tiba.”

Kala tertawa. Ini pertama kalinya lelaki itu tertawa di dalam ruang ICU, di depan Mama yang terbaring lelap. Dia menarik tangan Luna untuk menggenggam tangan mamanya.

Dingin adalah yang pertama kali Luna rasakan ketika jemarinya menyentuh punggung tangan wanita itu. Telunjuknya bergerak ke pergelangan tangan, merasakan denyut nadi lemah wanita itu. Setidaknya, masih ada kehidupan di sana.

Seiring terbenamnya matahari yang mereka lihat dari jendela ruang ICU, Luna bertubi-tubi dihantam perasaan yang campur aduk, namun yang paling jelas ia rasakan hanyalah cemburu.

[*****]

Tuntas sudah semua yang ingin Kala tunjukkan pada Luna. Hari itu ia akhiri dengan mengantar pulang gadis itu ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan sunyi sampai akhirnya motor Kala berhenti di depan pagar sebuah rumah yang Kala bisa lihat, menguarkan suasana yang hangat.

Rumah yang tidak seperti rumahnya.

“Terima kasih, Kala,” ujar Luna saat gadis itu turun dan melepas helmnya, memberikannya pada lelaki itu.

Masih duduk di atas motornya, Kala menaikkan kaca helmnya dan tersenyum. “Sama-sama. Gue juga berterima kasih, beban gue sedikit keangkat berkat lo.”

Luna mengangguk dan balas tersenyum, meski hatinya bertanya-tanya dengan cara apa dirinya membantu. Mungkin bagi Kala hari ini mengurai bebannya, tapi bagi Luna, apa yang terjadi hari ini justru menambah lelahnya.

“Hati-hati,” ucap Luna pada lelaki itu, yang memberinya anggukan singkat sebelum memacu motornya meninggalkan gadis itu berdiri sendiri di luar pagar.

Tidak ada orang di rumah dan ada pesan di pintu kulkas yang mengatakan bahwa Om dan Tantenya pergi dari sore hari ke acara pernikahan teman kuliah mereka. Luna bisa memaklumi itu. Tanpa adanya anak kecil atau orang tua yang harus mereka rawat di rumah, keduanya masih membiarkan jiwa muda mereka terus tumbuh.

Merebahkan tubuh di atas kasur, Luna memandang langit-langit dengan gamang yang bersarang di hatinya. Ia baru saja bertemu Eriera, sosok tangan dan pikiran di balik indahnya untaian kalimat dalam buku dongeng yang ia baca semenjak masih kecil. Luna akhirnya mengenalnya, dengan cara yang paling tak terduga, yang tak pernah sekalipun diimpikannya.

Dulu, dia selalu berangan-angan dapat berbincang seru tentang topik kesukaan mereka jika ia bisa bertemu dengan Eriera. Semua itu hilang dalam sekejap ketika melihat bahwa Eriera adalah ibu Kala, yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Seperti semua orang, masa kejayaan penulis itu sudah lama lewat.

Memikirkan sosok yang dipanggil Mama oleh Kala itu, ia jadi mereka-reka bagaimana masa kecil Kala. Dengan Mama yang seorang penulis dongeng—yang pada saat itu mungkin terkenal—, tidurnya pasti diantar oleh cerita-cerita indah yang dikemas dengan cara khas wanita itu menulis.

Luna sekali lagi tersadar, ia dan Kala memiliki banyak kesamaan. Ibu mereka sama-sama menyukai Yunani, yang kemudian diwariskan pula pada anak-anaknya. Luna tak memiliki ayah, dan saat ini Kala bilang papanya juga entah ke mana. Masa kecil mereka dilingkupi oleh dongeng-dongeng kuno yang sama sekali tak biasa. Satu-satunya perbedaan hanyalah Kala masih bersama sang Mama.

Sementara Luna tidak.

Luna meremas rambutnya dengan kuat. Lagi-lagi ada kecemburuan yang tak dapat ia tahan. Rasa marah kemudian menyusul. Ia seharusnya merasa kasihan pada Kala, yang mamanya mengalami koma dalam waktu yang lama. Namun tetap saja, ia iri karena Kala masih dapat melihat sang Mama, sementara dirinya tidak.

Ia bahkan tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Ibu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana dirinya dapat bertahan selama ini. Setidaknya, kenangan-kenangan itu adalah satu-satunya yang ia jaga agar tidak turut hilang.

Malam semakin larut, Luna berakhir membasahi bantalnya dengan air mata. Pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia memutuskan untuk membiarkan perasaan campur aduk itu terus berkecamuk. 

24520, ©ranmay.

 

[Bonus Spesial Lebaran]

Ranmay : “Heh, ayo cepetan berdiri situ. Aku mau foto kalian, terus ayo dong, ucapin minal aidin buat pembaca!”

Kala : *ribet sama sarung dan peci* “Eh, iya-iya bentar.”

Luna : *tarik Kala* “Cepat, aku keburu lapar.”

Kala : “Oke, siap nih!”

Ranmay : “Siap, ya? Ini video. 3 … 2 … 1!”

Kala : “Assalamu’alaikum semuanya! Gue Praba Kalandra, dan Luna di sini, mau mengucapkan minal aidin wal faidzin untuk semua pembaca yang sudah bertahan sejauh ini mengikuti kisah kami.”

Luna : “Mohon maaf lahir dan batin, dan selamat merayakan idul fitri bersama keluarga dan teman di rumah saja.”

Kala : “Kami selaku para cast dan mewakili Ranmay selaku penulis, mohon maaf apabila selama cerita berjalan kami secara sengaja atau tidak sengaja membuat kalian penasaran, marah-marah sendiri, ikutan sedih—“

Luna : “Dan marah karena update dan alurnya lambat dan para cast belum menunjukkan adanya kejelasan.”

Kala : “Ah, ya itu tadi. *bisik* Gue sendiri juga sebenarnya nggak betah lama-lama digantung.”

Luna : *lirik Kala* “Hei!”

Kala : “Yah, pokoknya mari kita sama-sama berkontribusi menyemangati penulis dengan rajin lihat update keping terbaru, dan merespons dengan like dan komen yang banyak.”

Luna : “Ranmay tadi juga bilang, dia sebenarnya suka kalau ada yang mengajukan pendapat, teori, bahkan marah di kolom komentar tentang isi keping cerita. Sungguh selera yang aneh.”

Ranmay : *melotot dari balik kamera*

Kala : “Nah, kalau begitu sekian dulu dari kami berdua. Sekali lagi, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.”

Luna : “Selamat hari raya idul fitri untuk kita semua.”

Luna dan Kala : “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh!”

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.