Hari Ibu atau Hari Perempuan?

Tanggal 22 Desember adalah hari yang spesial untuk kaum ibu di Indonesia. Tanggal tersebut diresmikan sebagai Hari Ibu Nasional karena menandai awal mula dari Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22–25 Desember 1928. Kongres ini membicarakan beragam persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia. Oleh karena itu, hari tersebut sering disebut sebagai “hari kebangkitan perempuan Indonesia.” Lantas mengapa tanggal 22 Desember dipersembahkan kepada kaum ibu semata dan bukan kepada semua perempuan Indonesia?

Hari Ibu atau Hari Perempuan?
(Empuan.id)

 

Setiap tahunnya pada tanggal 22 Desember, foto-foto masa kecil sahabat-sahabat lama akan memenuhi media sosial saya. Senang sekali melihat foto mereka bersama ibunda tercinta. Anak-anak teman saya pun mengunggah fotonya yang sedang berdua ibundanya. Foto-foto itu tentunya disertai kata-kata kasih sayang kepada sang bunda. So sweet.

Pada hari tersebut pun anak laki-laki sulung saya yang biasanya sibuk dengan dunianya sendiri, menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada saya.

 

Si Buyung, [22.12.20 22:06]

Selamat Hari Ibu, Mama

Liza Hadiz, [22.12.20 22:20]

[ heart Sticker ]

Si Buyung, [22.12.20 22:20]

So sorry aku suka nggak ada buat Mama

Si Buyung, [22.12.20 22:20]

I’m still trying my best, Ma  

 

Balasan saya selanjutnya tidak usah ditulis di sini karena kurang mesra… saya mengimbaunya soal pandemi dengan agak ketus. Begitulah emak-emak, sayang dan khawatir selalu bercampur aduk. Namun, hati ini tersenyum haru, sambil menanti si sulung tercinta pulang.

Saat itu, saya juga jadi berpikir, mengapa tanggal 22 Desember dipersembahkan untuk ibu semata? Mengapa tidak dipersembahkan untuk semua perempuan, mengingat hari tersebut adalah hasil kerja kaum perempuan pejuang di Kongres Perempuan Indonesia? Sampai sudah tengah malam pun saya merasa perlu menulis ini di cerita IG smiley

 

 

Kalau membaca di Wikipedia, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional oleh Sukarno selaku Presiden RI saat itu melalui Dekret Presiden RI No. 316 Tahun 1953. Tanggal 22 Desember 1928 adalah hari pertama Kongres Perempuan I Indonesia diselenggarakan. Kongres yang berlangsung hingga 25 Desember 1928 di Yogyakarta ini membahas berbagai isu terkait kondisi perempuan di Indonesia pada masa tersebut. Selain mendiskusikan hak-hak perempuan sebagai istri dan peran mereka di dalam rumah tangga, kongres tersebut juga membicarakan masalah pendidikan, peran, dan masa depan remaja perempuan, serta masalah perkawinan anak.

Pembahasan pada kongres tersebut mencakup isu-isu yang bukan saja terbatas pada kehidupan kaum perempuan yang menjadi istri atau ibu, tetapi secara lebih luas melihat kehidupan perempuan di tengah-tengah kondisi sosial dan budaya saat itu. Kongres pertama ini juga menjadi inisiator bagi isu-isu terkait politik dan penjajahan yang kemudian menjadi topik rangkaian Kongres Perempuan yang diadakan pada tahun-tahun berikutnya.

 

 

Selain memperingati 22 Desember sebagai peristiwa sejarah yang lazim disebut-sebut oleh media massa sebagai sejarah “kebangkitan kaum perempuan Indonesia”, kita perlu juga melihat relevansinya dengan saat ini.

 

Diperkirakan sekitar 100.000 anak dan perempuan menjadi korban perdagangan manusia setiap tahun di Indonesia.

 

Misalnya, terkait perkawinan anak, menurut UNICEF (2019), Indonesia memiliki angka perkawinan anak tertinggi kedelapan di dunia. Data menunjukkan bahwa satu dari sembilan perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Terkait perlindungan perempuan, Indonesia termasuk negara yang memiliki kasus perdagangan manusia tertinggi di dunia di mana perempuan dan anak perempuan diperdagangkan untuk tujuan kerja paksa, eksploitasi seksual, dan untuk kerja rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi (Kontinentalist, 2019). Diperkirakan sekitar 100.000 anak dan perempuan menjadi korban perdagangan manusia setiap tahun di Indonesia. Sebanyak 30 persen dari mereka berusia di bawah 18 tahun (The Asean Post, 2020).

Tentunya persoalan di atas bertumpu pada masalah budaya, keadilan sosial, dan kemiskinan yang masih dihadapi negara kita. Oleh karena itu, peringatan tanggal 22 Desember itu sebenarnya mengingatkan kita terhadap masalah-masalah yang belum terselesaikan atau selama ini diabaikan.

 

 

Bukan berarti bahwa kita harus bermuram setiap tanggal 22 Desember. Tentunya hari tersebut adalah sebuah perayaan—perayaan untuk capaian semua perempuan Indonesia. Kita bisa bergembira untuk capaian-capaian yang telah berhasil diraih Indonesia untuk memenuhi hak-hak perempuan, misalnya di bidang pendidikan, politik, ataupun ekonomi, sambil mengingat PR-PR yang belum diselesaikan. Secara pribadi, perempuan-perempuan Indonesia juga dapat merayakan hari tersebut dan berbangga terhadap apa yang mereka sebagai individu telah berhasil capai, apakah dalam pendidikan, keluarga, pekerjaan, dan cita-cita lainnya.

Adalah hal yang sangat baik bahwa dengan adanya peringatan 22 Desember kita mendapat kesempatan untuk mengucapkan terima kasih kepada ibu. Dengan beban berlipat ganda, yakni menjalankan fungsi biologisnya, peran sosialnya, serta melakukan kerja domestik maupun di luar rumah, ibu telah membesarkan kita dengan kasihnya. Namun, pada hakekatnya, Hari Ibu Nasional bukanlah hari yang bisa disepadankan dengan Mother’s Day yang dirayakan di AS atau kebanyakan negara Eropa karena konteksnya memang berbeda.

 

Entah apakah ada semacam upaya pelunakan terhadap suara perempuan dengan cara-cara mereduksi peran perempuan ...

 

Sebenernya Hari Ibu Nasional lebih tepat disebut Hari Perempuan Nasional atau Hari Pergerakan Perempuan Indonesia karena merupakan peringatan terhadap Kongres Perempuan Indonesia I yang membahas isu-isu terkait semua perempuan Indonesia, termasuk yang muda dan lajang. Kongres itu pun menjadi cikal bakal kongres-kongres perempuan berikutnya yang memperjuangkan hak-hak politik perempuan dan hak-hak perempuan sebagai pekerja. Entah apakah ada semacam upaya pelunakan terhadap suara perempuan dengan cara-cara mereduksi peran perempuan, yang pasti, meski rezim telah silih berganti, belum ada yang mau mengubah nama hari tersebut.

Kalau disebut Hari Ibu Nasional artinya hari itu mengeksklusikan perempuan yang bukan ibu dan perempuan yang secara sosial dianggap belum pantas dipanggil ibu. Pada hakekatnya, tanggal 22 Desember bukan hari ibu saja, tapi hari perempuan, dari kaum perempuan pejuang di Kongres Perempuan untuk semua perempuan Indonesia.

 

Sumber

Danang, Martinus (2020) ‘Akar Sejarah Hari Ibu dalam Kongres Perempuan Indonesia.’ Kompaspedia. https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/akar-sejarah-hari-ibu-dalam-kongres-perempuan-indonesia [Diakses 23 Desember 2020].

Kruglinski, Jimmy (2019) ‘Menolak Perkawinan Anak di Indonesia.’ Unicef Indonesia. https://www.unicef.org/indonesia/id/stories/menolak-perkawinan-anak-di-indonesia [Diakses 23 Desember 2020].

Moore, Lisa (2020) ‘Indonesia’s child prostitution problem.’ The ASEAN Post. https://theaseanpost.com/article/indonesias-child-prostitution-problem [Diakses 23 Desember 2020].

Wikipedia (2020) Kongres Perempuan Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Kongres_Perempuan_Indonesia [Diakses 23 Desember 2020].

Zein, Zafirah Mohamed (2020) ‘The hidden scourge of sex trafficking in Asia.’ Kontinentalist. https://kontinentalist.com/stories/how-does-sex-trafficking-happen-to-women-and-girls-in-southeast-asia [Diakses 23 Desember 2020].

Sumber Gambar

Photo 1: DisasterChannel.co
Photo 2: Manado Tribunenews.com

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.