Alat untuk Berkomunikasi

Alat komunikasi itu ada dua, yakni komunikasi dari hati dan komunikasi minta maaf. Keduanya mampu membuat komunikasi jadi lebih terbuka.

Alat untuk Berkomunikasi

 

"Tumben lu bersih?" tanya ibu saya di hari Minggu pagi.

Ketika itu saya baru selesai mandi. Kemudian mengenakan kaus putih dan kacamata. Tidak lupa saya juga menggunakan sedikit parfum yang baru saja dibeli. Hari itu saya tidak berencana untuk pergi ke mana-mana. Hanya ingin di rumah sambil menulis saja. Tapi sapaan pagi hari dari ibu saya menyiratkan bahwa saya ingin pergi. Saya belum tahu harus menjawab seperti apa. Inginnya sih menjawab "Ya emang habis mandi mak, makanya bersih."

Jawaban tersebut memang yang paling tepat dan akurat. Tapi saya tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya ketika jawaban tersebut mendarat ke telinganya.

Hubungan saya dengan ibu cukup santai. Kami sering bercanda bareng, komunikasi kami juga baik. Namun tak jarang kami kerap selisih paham, berbeda pendapat, hingga bertengkar hebat. Ibu memang orang yang cukup sensitif, salah bicara sedikit bisa jadi masalah nantinya.

Saya pun jadi kepikiran, tidak pernah rasanya mendapat kata-kata bersih dari ibu setiap habis mandi. Kemudian saya mengatakan ‘oh’ dalam hati. Pasti karena kaos putih ini.

Bagi saya tubuh menjadi salah satu bentuk komunikasi. Apapun yang dikenakan akan menimbulkan suatu kesan pada orang lain yang melihatnya. Mereka yang rapi akan dipuji, mereka yang agak berantakan mungkin mendapat cercaan, dan saya yang memakai kaus putih pagi ini mendapat pujian bersih.

Hal ini semakin meyakinkan saya bahwa komunikasi itu tidak hanya soal kata yang keluar. Tapi ada cara-cara tertentu yang lebih baik sehingga pesan lebih cepat dan utuh saat diterima. Jika caranya salah maka komunikasi justru menjadi sumber konflik.

Tidak banyak orang yang memahami hal ini. Pesan yang ingin disampaikan justru tidak sampai pada orang yang diharap dapat menerimanya. Ujung-ujungnya jadi berantem deh karena salah paham akibat komunikasi yang tidak baik.

Di Tik-Tok saya pernah melihat sebuah video yang lumayan lucu namun terasa cukup miris. Niatnya memang baik, tapi karena salah menyampaikan pesan urusan hati juga yang kena. Kira-kira begini dialog pada video tersebut:

"Halo sayang, nanti aku jemput ya depan rumah kamu."

"Oke sayang, nanti tunggu aku sebentar ya!"

"Tapi kamu jangan lupa dandan ya biar cantik!"

"Lho, emang biasanya gimana?"

"Ya gitu deh."

Tiba-tiba video diakhiri dengan kencan yang ternyata batal terjadi. Si pria berharap pesannya bisa sampai dan dituruti kekasihnya, sementara yang wanita malah menanggapi harapan pria tersebut dengan kecut. Ya, siapa juga yang mau menerima permintaan penuh menyindir begitu. Kalau saya ada di posisi si wanita, paling ada umpatan yang saya lempar ke wajahnya.

Proses komunikasi memang tidak serta-merta akan baik walau memiliki hubungan yang lama. Hubungan sepasang kekasih tadi bisa jadi permasalahan komunikasi yang pelik dan berujung pada sebuah konflik. Sayangnya ini banyak terjadi pada sebagain orang.

Hubungan keluarga yang renggang, pasangan yang suka marah, hingga pekerjaan yang kurang produktif bisa muncul karena proses komunikasi yang buruk. Bagi saya, hubungan komunikasi yang baik bisa terjadi jika masing-masing subjek komunikasi memiliki keterbukaan.

Mengapa saya beranggapan keterbukaan adalah hal yang terbaik? Begini, suatu hubungan akan bermasalah jika masing-masing subjek tidak mau terbuka akan apa yang ingin disampaikan. Hal ini pernah saya alami dulu ketika kuliah.

"Mak, beliin motor dong buat kuliah."

"Apalah kau ini, kuliah kau aja udah mahal!" bentak ibu saya.

Saya cuma diam penuh kesal karena membeli motor saja tak sanggup. Hingga suatu hari saya menyadari uang kuliah saya dan kakak saja sudah mepet. Belum buat makan, belum buat bayar kosan saya, belum bayar SPP, belum bayar rumah, dan banyak kebutuhan lainnya. Mungkin jika waktu itu ibu saya menjelaskan masalah tidak ada uang tersebut, saya akan paham. Tapi untuk urusan uang ibu saya cukup tertutup, maklum beliau ingin saya fokus belajar.

Ketika kedua subjek mampu saling terbuka, maka kemungkinan besar mereka bisa saling mengerti terhadap permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu saya merasa sikap saling terbuka adalah kunci komunikasi yang baik.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana untuk mencapai keterbukaan dalam komunikasi? Ada 2 alat komunikasi yang saya gunakan saat berinteraksi dengan orang lain sehingga bisa saling terbuka saat berkomunikasi. Alat-alat ini menjadi pilihan yang paling aman dan mampu meminimalisir terjadinya konflik. Setidaknya itu yang terjadi dan saya alami.

Alat komunikasi ini saya dapatkan referensinya dari seorang penulis bernama Oh Su Hyang. Dia menuliskannya dalam buku “Komunikasi Itu Ada Seninya.” Ada 2 teori yang saya rasa tepat menjadi alat untuk berkomunikasi dengan baik.

  1. Komunikasi dari hati

"Kamu tuh ya sukanya bolos sekolah saja!" bentak seorang ayah pada anaknya.

Ketika itu ayahnya dipanggil ke sekolah karena dia bermasalah. Dalam 2 bulan dia membolos sebanyak 14 hari. Jumlah yang cukup untuk membuatnya bisa-bisa tidak naik kelas. Hal ini tentu akan membuat malu sang ayah. Apa kata keluarga dan rekan-rekannya nanti kalau memiliki anak yang tidak naik kelas.

Tapi ayahnya tidak bertanya mengapa si anak membolos. Yang mau ayahnya tahu adalah si anak harus merasa bersalah dan tidak mengulanginya lagi. Ia kemudian terus menceramahi anak dengan membentak, tak peduli anaknya menangis atau takut.

Ayahnya tidak mau tahu apakah si anak bermasalah dengan murid lain, terkena bullying, tidak suka dengan suasana sekolahnya, dan banyak lagi kemungkinan yang bisa terjadi.

Membentak sang anak dan memaksa dia untuk berubah bukan bentuk komunikasi yang efektif. Hal tersebut kemungkinan memperparah ketidaksukaan si anak pada sekolah. Permasalahan yang terjadi akan semakin kompleks dan rumit. Ujungnya si anak akan gagal menyelesaikan pendidikan di sekolahnya tersebut.

Maka komunikasi dari hati itu sangat penting. Tujuannya memicu si anak untuk terbuka pada permasalahan yang dihadapi. Komunikasi dari hati akan membuat anak merasa ada yang peduli pada permasalahan yang dia hadapi.

"Kamu ada masalah di sekolah? Kenapa sampai membolos?" pertanyaan tersebut akan membuat anak menjadi terbuka. Ia akan dengan senang hati untuk bercerita permasalahan yang dihadapi. Lalu ayah dan anak tersebut bisa memecahkan permasalahan tanpa ada yang harus tersakiti.

  1. Komunikasi Minta Maaf

Meminta maaf dengan baik bisa menjadi alat yang powerful dalam membuat seseorang menjadi terbuka. Minta maaf bukan pertanda kalah, namun sebagai upaya membuka diri pada sebuah rekonsiliasi. Daripada berlama-lama dalam konflik yang membuat capek, lebih baik minta maaf kan?

Ketika saya minta maaf maka akan ada keterbukaan dari mereka yang akan memaafkan. Ini memicu interaksi lain yang saling terbuka. Hubungan interaksi yang baik membuat satu sama lain saling memaafkan dan berusaha mencari jalan terbaik dalam memecahkan masalah.'

"Maaf ya, kemarin gue lupa matiin air, kosan kita jadi kebanjiran deh."

"Gak masalah kok, gue juga yang salah karena lupa ngingetin."

Cara minta maaf di atas menjadi contoh yang baik agar saling terbuka. Mengakui kesalahan artinya membuka pintu rekonsiliasi. Mereka yang dimintai maafnya pun akan meluruh egonya, sehingga ada tindakan saling terbuka.

Sejauh yang saya rasakan, komunikasi minta maaf adalah alat yang paling efektif dalam sebuah rekonsiliasi. Alat komunikasi ini mampu membuat subjek-subjek yang terlibat menjadi saling terbuka. Namun dengan catatan, saat meminta maaf harus dengan cara yang baik. 

Bukan malah mengatakan: "Maaf ya kemarin lupa matikan air, lo sih ga ngingetin gue!"

Kalimat tadi hanya akan memunculkan konflik lain dan hubungan akan semakin rumit. Bukannya menyelesaikan masalah, cara minta maaf tersebut cenderung arogan dan terkesan setengah hati. Lebih baik meminta maaf secara tulus sehingga membuat seseorang menjadi terbuka dan masalah bisa diselesaikan.

Dua alat komunikasi di atas bagi saya adalah cara yang tepat dan terbaik dalam memunculkan komunikasi yang terbuka. Dengan keterbukaan saya bisa mencegah diri merasa benar, arogan, atau hal-hal lain yang menutup pintu komunikasi.

Jika kita mau rendah hati dan mengakui kesalahan, maka pintu hati seseorang juga akan ikut terbuka. Komunikasi dua arah yang saling membuka diri bisa meredakan dan menghilangkan semua masalah.

Saat saya ditanya "Tumben lu bersih?" oleh ibu saya.

Jawaban saya adalah "Iya dong kan mama sukanya yang bersih."

Senyum pun muncul di wajahnya dan percakapan berakhir dengan pelukan hangat kami berdua.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.